Sasando adalah satu dari sedikit sekali alat musik petik berdawai tradisional asli Indonesia selain kecapi dari tanah Pasundan serta sape’ milik suku Dayak.
Menceritakan ragam budaya Indonesia tidak akan pernah ada habisnya. Dimulai dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas hingga ke Pulau Rote, sepanjang itu pula kekayaan budaya Nusantara mengalir tak ada hentinya.
Pulau Rote, misalnya, kita tak hanya mengenal tempat ini sebagai awal lahirnya topi ti’i langga. Sejenis tutup kepala bertepi lebar beranyaman daun lontar dengan cula atau antena di bagian depannya dan menjadi kebanggaan kaum adam paling autentik dari pulau ini.
Tetapi di pulau ini pula, sejak abad tujuh, masyarakatnya telah terbiasa dengan sejenis alat musik berdawai yang dimainkan dengan cara dipetik, mirip sekali dengan gitar atau harpa. Ketika jari jemari memetikkan dawai-dawai berkawat halus justru mampu melepaskan senandung nada-nada merdu. Mirip gabungan dari suara gitar, harpa, biola, atau bahkan piano, luar biasa.
Alat musik itu adalah sasando atau biasa disebut sebagai sasandu oleh masyarakat di pulau seluas 97.854 hektare. Pulau paling selatan dari Indonesia tersebut masuk gugus Kepulauan Rote, bagian dari wilayah administrasi Kabupaten Rote Ndao, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Sasando adalah satu dari sedikit sekali alat musik petik berdawai tradisional asli Indonesia selain kecapi dari tanah Pasundan serta sape’ milik suku Dayak. Alat itu mampu menghasilkan beragam jenis nada yang khas.
Sasando atau sanu memiliki arti bunyi-bunyian yang bergetar. Ada beberapa versi cerita bagaimana asal mula diciptakannya alat musik kebanggaan masyarakat Rote ini. Cerita yang banyak berkembang di masyarakat adalah kisah seorang pemuda bernama Sangguana saat terdampar di Pulau Ndana dan ditemukan penduduk sekitar untuk kemudian dibawa ke hadapan Raja Takalaa sebagai penguasa pulau.
Sangguana rupanya jatuh hati kepada putri raja. Namun raja tidak mau begitu saja merelakan buah hatinya dipersunting orang lain. Agar bisa menjadi menantunya, Raja Takalaa memberi satu tantangan kepada Sangguana yaitu menciptakan sebuah alat musik yang berbeda dari yang sudah ada.
Sambil memikirkan tantangan calon mertuanya, Sangguana rupanya tertidur dan dalam lelapnya ia bermimpi memainkan alat musik indah dengan suara merdu. Hal yang rupanya mengilhami Sangguana untuk menciptakan sasandu, nama yang ia sematkan untuk alat musik ciptaannya.
Sasandu itu pun ia pamerkan dan perdengarkan di hadapan raja sekaligus ia persembahkan bagi pujaan hati. Putri raja saat menerima sasandu menyebutnya sebagai hitu atau tujuh karena jumlah dawainya. Raja pun senang dengan alat musik tadi dan mengizinkan putrinya dipersunting oleh Sangguana.
Di kemudian hari, hitu ini dikenal juga sebagai sasando gong tak hanya berdawai tujuh, namun berkembang 11 dawai dan hanya dimainkan secara terbatas. Nada pentatoniknya bagi masyarakat Rote mampu mengiringi tarian saat pesta atau menghibur keluarga yang sedang dirundung duka.
Harmonisasi Perasaan
Bentuk sasando sangat unik dan berbeda dengan alat musik berdawai lainnya. Bagian utama sasando berbentuk tabung bambu sepanjang 7-80 sentimeter. Pada bagian bawah juga atas bambu terdapat tempat untuk memasang dan mengatur kencangnya dawai. Lalu pada bagian tengah, melingkar dari atas ke bawah diberi ganjalan-ganjalan atau senda, di mana dawai senar yang direntangkan di tabung, bersusun dari atas ke bawah. Senda ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap petikan dawai.
Tabung sasando ini ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari semacam anyaman daun lontar dibentuk seperti kipas atau disebut haik dan menjadi tempat resonansi sasando. Sekilas wadah berdaun lontar ini mirip seperti penampung air berlekuk-lekuk. Lontar merupakan tanaman yang paling mudah ditemukan di Pulau Rote sehingga banyak dipilih masyarakat sebagai bahan bagi sejumlah produk budaya setempat seperti ti’i langga dan sasando.
Alat musik sasando dimainkan dengan kedua tangan dari arah berlawanan, kiri ke kanan dan kanan ke kiri. Tangan kiri berfungsi memainkan melodi dan bas, sedangkan tangan kanan bertugas memainkan accord. Susunan notasinya bukan beraturan seperti alat musik pada umumnya, melainkan sebaliknya, mempunyai notasi tak beraturan namun tetap menghasilkan lantunan nada merdu karena adanya resonator haik tadi.
Tak sekadar asal petik, diperlukan harmonisasi perasaan dan teknik untuk menaklukkan sasando agar senandung melodi yang dihasilkan mampu memanjakan telinga pendengarnya. Keterampilan jari dalam memetik dawai-dawai sasando sangat diperlukan. Hampir sama dengan alat musik kecapi dan harpa, petikan jari pada dawai sasando akan sangat mempengaruhi suara yang dihasilkan. Makin cepat tempo nada yang akan dimainkan sasando, maka akan semakin lentur tangan menari memetik dawai-dawainya.
Ketika dimainkan di tangan ahlinya, maka sasando bak sebuah tongkat sulap, mampu menyihir pendengar dengan berbagai ragam alunan nada indah mirip sebuah orkestra, meski hanya dari satu alat musik. Memainkan Bo Lele Bo, lagu asal NTT dengan mendendangkan Heal The World dari mendiang raja musik pop Michael Jackson, bukanlah hal sulit bagi sasando.
Seiring perkembangan zaman, sasando pun ikut mengalami sejumlah perubahan. Ketika selama berabad-abad hanya dikenal sebagai alat petik berdawai 7 atau 11 senar saja, maka sejak awal abad 19 hingga hari ini ada beragam model dan bentuk sasando tercipta disesuaikan dengan kebutuhan bermusiknya.
Inovasi Sasando
Seperti dikutip dari laman www.rotendaokab.go.id, ada beberapa model sasando seperti sasando engkel, sasando dobel, dan sasando biola di samping sasando gong yang telah lebih dulu dikenal masyarakat Rote. Sasando engkel mempunyai 28 dawai dan jenis dobel memakai dawai lebih banyak, antara 56 hingga 84 dawai.
Ada lagi sasando biola karena mampu menghasilkan suara seperti biola. Alat musik jenis sasando biola ini diciptakan pada akhir abad 18 dan banyak berkembang di Kupang, ibu kota NTT. Sasando biola menghasilkan nada diatonis dan bentuknya mirip sasando gong. Jumlah dawai pada sasando biola lebih banyak, antara 30-36 senar atau dawai.
Ada dua tipe ruang resonansi sasando biola, yaitu berbahan daun lontar dan satu lagi dari kayu atau multipleks. Belakangan, sasando biola dengan ruang resonansi lontar lebih disukai karena suara yang dihasilkan lebih baik dari multipleks. Sasando berbahan lontar ini pernah diabadikan dalam uang kertas nominal Rp5.000 tahun emisi 1992.
Makin hari inovasi untuk menghasilkan sasando dengan nada-nada lebih baik terus dilakukan. Contohnya sasando elektrik yang ditemukan pada 1960 silam oleh pemain sasando asal Kupang, Arnoldus Edon. Sasando elektrik ini mampu memproduksi suara petikan dawai yang lebih besar karena selain berdawai 30 senar, suaranya bisa dinikmati dari kejauhan.
Ada juga sasando bariton yang dibuat dari jenis senar yang berbeda ketebalannya dan mempunyai bunyi yang lebih bulat dan lebih terasa bassnya serta dilengkapi dengan 32 senar berwarna.
Saat ini di sejumlah tempat di NTT telah bermunculan sanggar kursus sasando, termasuk yang dimiliki keluarga mendiang Arnoldus Edon di Kupang. Tak sedikit juga pemain sasando profesional asal NTT bereksperimen memainkan sasando dengan beragam jenis musik seperti jazz, pop, rock, dan lainnya.
Tengok saja bagaimana kepiawaian jari jemari Natalina Mella memainkan nada-nada indah Say Somethingmilik grup A Great Big World dan Christina Aguilera dan Gazpar Araja dengan All Of Me milik John Legend. Atau dengarkan saat grup Sasando And Sape’ (SAS) membawakan Indonesia Pusaka karya Ismail Marzuki disisipi suara Proklamator Ir Sukarno membacakan teks proklamasi, begitu syahdu.
Jangan lupa juga melihat aksi pemain sasando nan jelita Yuliana Edon bersama Sasando Edon memainkan Indonesia Jaya. Aksi mereka bisa dilihat di platform media sosial Youtube, ketik saja kata-kata “sasando elektrik” di kolom pencarian, maka akan muncul beragam video klip mereka. Mari kita lestarikan keberagaman budaya Nusantara di mana salah satunya adalah alat-alat musik tradisional Indonesia seperti halnya sasando. Selamat Hari Musik Nasional 9 Maret.
Penulis : Anton Setiawan Redaktur : Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari