Penulis : Man Abubakar
WABAH pandemi memang belum benar-benar berakhir di Ramadan kali ini. Sama artinya, dua kali sudah Ramadan yang akan kita lalui masih dalam bayang-bayang cengkraman Covid-19. Namun, berbeda dengan tahun kemarin, bayang-bayang ‘ketakutan’ kali ini lebih bisa diajak kompromi.
Entah itu dengan cara menerapkan protokol kesehatan dengan sangat baik, atau dikarenakan ‘kejenuhan’ masyarakat dengan tekanan keadaan yang kemudian melakukan ‘pemberontakan’, atau bisa juga disebabkan arus informasi yang tidak lagi memadai, meskipun informasi tersebut benar adanya, terkadang tercampur dengan berita-berita yang tidak pasti sumbernya dari mana.
Namun, di balik semua itu, lihatlah Ramadan kali ini. Masjid-masjid kembali penuh, pasar-pasar mulai ramai, ngabuburit menunggu buka puasa bagi sebagian kalangan, menyiratkan rona wajah bahagia karena bisa kembali berkumpul dan bertegur sapa.
Ya, New Normal Life adalah gambaran keadaan kita saat ini. Awalnya memang berat dilalui, kemudian mulai terbiasa, dan akhirnya biasa. Misal, memakai masker saat keluar rumah tidak lagi jadi sebuah perintah melainkan sebuah kewajiban yang timbul dari alam bawah sadar kita. Begitu pula dengan hal-hal lain yang berkaitan dengan protokol kesehatan. Meski belum semua dari kita dapat menerapkan secara sempurna, paling tidak hal tersebut juga tidak diabaikan seutuhnya.
Jika kita melihat jauh ke belakang ketika Islam datang dibawa oleh Rasulullah Saaw dan mulai dikenalkan kepada masyarakat Makkah, ada perubahan yang sangat terlihat jelas dalam realitas kehidupan masayarakat di sana. Saat Nabi menyamaratakan status kemanusiaan setiap orang, di mana seorang budak memiliki status yang sama dengan majikan, status si miskin sama dengan status si kaya, yang berpangkat dan rakyat jelata semua sama, manusia.
Berbeda hanya pada masalah ketakwaan, dan yang berhak memutuskan siapa yang paling bertakwa hanyalah Tuhan semata. Itu pun mendapatkan tantangan, bahkan dari sebagian kalangan yang baru memeluk Islam.
Begitu pula perihal minuman keras yang awalnya menjadi konsumsi harian masyarakat muslim awal dan dikatakan bermanfaat, diubah secara perlahan-lahan oleh Nabi Saaw lewat perantaraan wahyu. Tidak terlewatkan juga perihal hijrah dari kehidupan Nabi di Makkah menuju kehidupan baru di Madinah, lalu mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar, sampai kepada memutuskan tradisi bangsa Arab, saat itu dengan mengawini banyak perempuan dengan ditetapkan hanya empat saja. Bahkan wajib hanya satu saja jika tidak ada keadilan dalam pelaksanaanya.
Kehidupan baru yang awalnya tidak pernah ada dalam realitas kehidupan masyarakat di masa-masa awal Islam. Semua itu dapat dikatakan New Normal Life atau tatanan kehidupan baru di zaman Nabi. Artinya, perihal New Normal Life, sebenarnya hanyalah istilah bahasa. Padahal, jauh sebelumnya dalam perkembangan Islam, hal ini pernah terjadi. Hanya saja berbeda nama, atau belum memiliki nama.
Di antara semua itu, Ramadan kali ini kembali mengingatkan kita, bahwa ada sesuatu yang benar dan pasti, yang kadang kala masih kita ragukan kebenarannya.
Apa berita yang benar dan pasti itu? Itulah Alquran yang diturunkan dari Allah Swt ” ” تنزيل من حكيم حميد diturunkan dari dzat yang Mahabijaksana lagi Mahaterpuji. Dibawa oleh malaikat Jibril yang sangat terpercaya kepada Nabi Muhammad Saaw, diriwayatkan dengan jalur yang sangat mutawatir, dari orang-orang yang terpercaya, hingga akhirnya sampai kepada kita.
Ramadan sebagai bulan di mana Alquran diturunkan, maka sudah seyogianya ada hal-hal yang harus kita lakukan untuk Alquran di bulan yang penuh kemulian ini.
Pertama, tentunya kita mesti memperbanyak tilawah, banyak untuk membacanya, banyak mengulanginya, dan berusaha untuk menghapalnya. Tetapi, tidak cukup sampai di situ. Sebab, tilawah Alquran, menghapal Alquran, itu sifatnya kognitif. Pemikiran.
Bagaimana bisa diwujudkan kepada amal? Sarana penyambungnya adalah tadabbur. Yaitu sarana yang menyambungkan antara keyakinan dan tindakan, antara iman dan amal shaleh. Maka di sinilah menjadi hal penting bagi kita semuanya agar tidak sekedar mencukupkan diri untuk baca Alquran, untuk menghapal Alquran, tetapi kita berusaha lebih lanjut untuk mengkaji makna-makna dalam Alquran, mengkaji ayat-ayat yang Allah Swt turunkan kepada kita semuanya.
Surat al Ashr misalnya; demi waktu, demi masa. Demi waktu Ashar, demi kehidupan ini, “Innal Insaana lafi khusr” sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi, “illal ladzina amanu” kecuali orang yang beriman, “wa amilusshalihat” orang yang beramal shaleh, “wa tawashau bil haq” orang yang berwasiat dalam kebenaran, “wa tawashau bis shabr” orang yang berwasiat dalam kesabaran.
Empat golongan ini saja yang tidak akan pernah merugi dalam kehidupan. Ketika kita paham ini, kita berusaha untuk menerapkan itu pada diri kita, berusaha menjadikan diri kita memiliki ke empat hal ini.
Ketika Allah Swt menerangkan tentang sifat-sifat orang beriman; “qanitun ana allaili sajidan wa qa’iman yakhdzarul akhirata wa yarju rahmata rabbih” mereka menghabiskan malam-malam mereka dengan sujud dan tahajjud kepada Allah Swt karena menghindari azab akhirat, maka kita berusaha untuk memantaskan diri kita seperti itu.
Ketika Allah Swt menerangkan tentang “ulul albab” orang-orang yang berakal dan berfikir, kita baca itu kita berusaha untuk pahami, lalu kita berusaha untuk menjadikan diri kita bisa memiliki sifat-sifat itu, itulah yang akan menjadikan hidup kita menjadi beruntung.
Akhirnya, ketika kita dapat memadukan tilawah, tadabbur, dan amal saleh yang diawali dengan keyakinan kita atas kebenaran Alquran yang mulia ini, maka dengan saat bersamaan kebenaran Alquran akan tertanam hingga ke dasar terdalam relung hati kita. Maka, ketika ada imam yang mengatakan “Luruskan Shaf dan perhatikan jarak” bukan lagi masalah yang harus diperdebatkan.