Penulis : Azman Asgar
COVID-19 kembali menggila, laporan terakhir yang disampaikan langsung oleh Presiden RI, kasus positif Covid-19 bertambah 21.807 menjadi 2.178.272 kasus. Pasien sembuh bertambah 10.807 menjadi 1.880.413 orang. Pasien meninggal bertambah 467 menjadi 58.491 orang (30/06).
Laporan ini menandakan bahwa bangsa ini sedang berjuang keras untuk selamat dari ganasnya penularan Covid-19, Baru-baru ini saja putri dari mendiang Sukarno ibu Rahmawati dan Legenda dalang Indonesia dikabarkan meninggal dunia akibat terjangkit Covid-19.
Jika melihat tren kenaikan populasi yang terjangkit dan minimnya deteksi dini secara massal, besar kemungkinan angka yang disuguhkan merupakan angka mereka yang sudah terpapar, dan menimbulkan gejala sedang maupun kritis, di luar itu masih banyak yang terinfeksi tanpa gejala sedang berkeliaran dan menularkan kepada orang lain, bahkan bisa jadi ada di sekeliling kita semua, itu berarti angkanya bisa lebih banyak dari yang ada.
Kita tentunya sangat prihatin dengan banyaknya jumlah yang terpapar dan meninggal dunia akibat virus corona. Tapi yang paling menyedihkan adalah rendahnya kepercayaan publik terhadap ganasnya Covid-19 itu sendiri.
Mengapa demikian?
Rendahnya kepercayaan publik terhadap corona virus tentunya tidak timbul begitu saja, ada kondisi-kondisi materil yang melanggengkan itu semua menjadi sebuah Collective Turth. Rendahnya kepercayaan ini bisa menjadi kendala serius di tengah beragam kebijakan pemerintah menekan angka penularan Covid-19.
Membangun kepercayaan publik dalam sebuah relasi negara dan warga negara, bukan perkara mudah di era post-modernisme dan Post-truth saat ini. Apalagi ketidakpercayaan itu lahir dari kebijakan yang seringkali menyimpang dari kesepakatan sosial.
Maju dan mundurnya peradaban sebuah bangsa, tidak lepas dari tingginya kepercayaan publik pada sesuatu hal yang rasional dan ilmiah. Termasuk kepercayaan publik pada setiap kebijakan yang dihasilkan oleh kekuasaan.
Di tengah keganasan corona virus, membangun kepercayaan publik terhadap semua sumber informasi yang otoritatif, amatlah penting untuk mempermudah usaha menekan laju penularan covid-19.
Sebelum melacak latar belakang rendahnya kepercayaan publik, ada baiknya kita berselancar pada sebuah konsep teori kepercayaan terlebih dahulu.
Carnevale dan Wechler berpendapat “bahwa kepercayaan merupakan suatu sikap yang menganggap bahwa individu atau kelompok bermaksud baik, adil dan atau sesuai dengan moral etika”. Sementara menurut Francis Fukuyama, “kepercayaan adalah harapan yang timbul dari masyarakat di mana semua anggota harus bertindak dalam batas norma, keteraturan, kejujuran dan kerjasama”.
Job dan Putnam (tranter dan skribs, 2009) membagi dua faktor yang mempengaruhi kepercayaan.
Pertama, Faktor rasional, faktor ini bersifat strategis dan kalkulatif, orang dapat di percaya karena keahlian khusus atau jabatan profesional, sementara yang kedua, faktor relasional. Faktor relasional bersifat efektif dan moralistis, kepercayaan ini berakar dari etika, teori ini terkondisi dari dari budaya dan pengalaman, baik pengalaman individu maupun kelompok.
Dari teori dan faktor yang mempengaruhi sebuah kepercayaan itu, kita kemudian sampai pada bagaimana relasi masyarakat sebagai pemberi kepercayaan (trustor) dan pemerintah sebagai penerima kepercayaan (trustee).
Relasi Trustor dan trustee ini seringkali timpang, tidak jujur, tidak adil, bahkan jauh dari kesepakatan yang sudah di bangun berdasarkan konsitusi, maupun kesepakatan-kesepakatan sosial lainnya. Akibatnya, ketidakpercayaan pada sebuah informasi, maupun kebijakan, sering kali dianggap lelucon dan sekedar lips service belaka.
Sialnya, dalam kasus corona virus di Indonesia, ketidakpercayaan itu semakin berada pada titik yang menghawatirkan keselamatan kita semua. Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap semua informasi yang dikeluarkan otoritas pemerintah, bisa disebabkan oleh dua faktor yang disebutkan Job dan Putnam.
Dalam penanganan corona virus, pemerintah cenderung gagap dan gugup. Itu bisa kita lacak dari awal kemunculan corona virus di Indonesia, yang paling irasional yakni menunjuk Menko Luhut Binsar Panjaitan sebagai “panglima” penanganan corona virus di Indonesia plus dengan jajaran pejabat tinggi militer, bagi saya ini kurang tepat.
Harusnya dalam menangani pandemi, pemerintah lebih menempatkan orang yang tepat pada tempat yang tepat, punya keahlian khusus dan profesional. Sehingga segala kebijakan yang berhubungan dengan penekanan angka penularan corona virus, bisa terukur dan bisa lebih konsisten. Kita tidak kekurangan ahli epidemiologi, mereka yang seharusnya di tunjuk memimpin “perang” melawan pandemi, tidak justru menko kemaritiman, ini semakin memperparah penanganan pendemi di tanah air.
Ketidakpercayaan publik terhadap corona virus, juga bisa dipengaruhi oleh budaya dan pengalaman masyarakat. Coba cek kembali, sudah berapa banyak masyarakat kita mendapat ketidakadilan dari kebijakan, ketidakjujuran, hingga kebijakan yang sering tidak konsisten. Ini semua membekas dalam ingatan masyarakat. Pada akhirnya segala informasi yang bersumber dari otoritas pemerintah, cenderung dianggap sebagai ketidak seriusan pemerintah, terhadap kesepakatan yang sudah dibangun.
Tidak sedikit kebijakan pemerintah yang inkonsiten di tengah mengganasnya corona virus di tanah air. Bahkan cenderung diskriminatif. Ambil saja contoh soal pembatasan aktifitas warga, tapi di sisi lain pariwisata bagi warga asing terus dibuka, pelarangan mudik bagi masyarakat, sementara di saat bersamaan aktifitas bandara internasional dibiarkan melayani pengangkutan orang dari satu negara ke negara lainnya, di saat larangan hajatan pernikahan di masyarakat dilakukan, pejabat sekelas presiden dan mentrinya justru sibuk hadiri pernikahan Aurel dan Atta Halilintar.
Saya tidak sedang membela kerumunan warga atau aktifitas yang mempercepat penularan covid 19. Bagi saya itu juga berbahaya bagi keselamatan kita bersama, wajib untuk di tentang. Tapi titik penekanan kritik saya tertuju pada sikap dan kebijakan pemerintah yang justru menjadi akar rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap covid 19. Padahal covid 19 itu nyata dan sudah banyak menelan korban jiwa.
Saat ini kita butuh solidaritas dan soliditas bersama untuk memutus rantai penularan covid 19, itu semua bisa dikerjakan atas dasar kepercayaan yang kuat. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan, harus lebih serius menyelamatkan warganya, fokus pada penanganan pandemi, bukan yang lain-lain. Berkacalah dari pemerintahan Selandia Baru, Fiji dan Taiwan.
Tiga negara itu memperlihatkan kita tentang bagaimana kepercayaan itu dibangun, dan bagaimana kepercayaan itu menjadi penting dalam memutus rantai penularan Covid-19. Mereka fokus pada keselamatan warganya. Semua tempat yang menimbulkan keramaian dan berpotensi mempercepat penularan corona virus, sementara harus ditutup oleh pemerintah. Baik tempat layanan publik, maupun jenis usaha swasta, semua demi keselamatan warganya.
Kita mungkin sudah terlambat, tapi tidak boleh berhenti berusaha. Bangun kembali kepercayaan publik, dengan kebijakan yang memberi rasa adil dan lebih jujur. Mulailah dengan konsisten dan serius, agar kita semua bisa cepat keluar dari ganasnya pandemi ini.
Penulis adalah Juru Bicara Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) Sulawesi Tengah (Sulteng)
PROSESNEWS.ID - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Gorontalo memetakan potensi kerawanan di Tempat Pemungutan…
PROSESNEWS.ID – Hasil survei terbaru mengenai preferensi pemilih dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Gorontalo 2024 menunjukkan bahwa…
PROSESNEWS.ID - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pohuwato menggandeng Aparatur Sipil Negara (ASN), termasuk para camat…
PROSESNEWS.ID - Seleksi terbuka untuk pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Gorontalo…
PROSESNEWS.ID, BOALEMO - Ketua Komisi 1 DPRD Kabupaten Boalemo Helmi Rasid, mengaku kecewa dan merasa…
PROSESNEWS.ID - Polresta Gorontalo Kota meluncurkan Gugus Tugas Ketahanan Pangan Nasional Polri, Rabu (20/11/2024). Program…