Tahun ini menjadi tahun yang bersemangat bagi ekosistem berbasis teknologi Asia Tenggara, termasuk Indonesia, untuk melantai di bursa.
Presiden Joko Widodo dalam sebuah kunjungan ke Silicon Valley Amerika Serikat awal 2016 pernah melontarkan sebuah mimpi menjadikan Indonesia sebagai ‘The Digital Energy of Asia’.
Mimpi itu adalah menciptakan 200 start up digital setiap tahunnya demi bisa melahirkan entrepreneur digital baru sebanyak 1.000 start up. Program yang diinisiasi pada 2016 itu, bisa jadi, kini sudah lebih dari yang ditargetkan.
Bahkan dari program perusahaan rintisan itu, kita menyaksikan, kini bukan hanya lahirnya start up. Namun, kita menyaksikan transformasi perusahaan skala unicorn menjadi perusahaan yang lebih akseleratif lagi, yakni decacorn.
Istilah unicorn adalah perusahaan rintisan yang sudah bernilai di atas USD1 miliar, atau setara Rp14,2 miliar (kurs Rp14.427). Bila dilihat valuasinya, di Indonesia minimal sudah ada empat perusahaan rintisan yang menjadi unicorn, dan satu unicorn yang naik kelas menjadi decacorn, perusahaan dengan valuasi minimal USD10 miliar.
Decacorn baru itu adalah GoTo, nama baru dari hasil megamerger Gojek dan Tokopedia. Tidak berhenti dengan merger, perusahaan baru itu disebut-sebut berencana untuk melantai Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam waktu dekat.
Selain GoTo, sejumlah perusahaan rintisan berbasis teknologi lainnnya pun sudah siap-siap untuk melantai (initial public offering/IPO) di bursa efek Indonesia. Sebut saja, Grab, Traveloka, Tiket.com, dan beberapa perusahaan lainnya juga siap untuk go public tahun ini.
Di tengah mewabahnya Covid-19, perusahaan teknologi memandang tahun ini sebagai tahun yang bersemangat. Bagi ekosistem berbasis tekonologi di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, melantai di bursa alias go public dinilai layak menjadi solusi pendanaan.
Mungkin saja mereka juga ingin sukses seperti Ant Group, perusahaan raksasa pembayaraan dunia milik Alibaba. IPO mereka di bursa Shanghai dan Hong Kong berpotensi meraih pendanaan USD34 miliar dan akan tercatat dalam sejarah pencatatan saham di dunia. Sayangnya, IPO Ant Group itu masih tertunda hingga kini.
Terlepas dari cerita di atas, bagi PT Bursa Efek Indonesia terus berbenah diri agar bisa menjadi wadah bagi perusahaan untuk melakukan penawaran umum perdana, termasuk perusahaan rintisan. Agar kian memungkinkan dan memudahkan aktivitas bisnis itu, mereka juga terus mematangkan peraturan terkait penawaran umum perdana saham atau IPO untuk perusahaan rintisan.
Sebagaimana disampaikan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Inarno Djajadi dalam pernyataannya di acara ETFest 2021, Jumat (11/6/2021). “Kami tengah mematangkan aturan yang memudahkan perusahaan start up melakukan penawaran umum perdana saham,” katanya.
Segera Rampung
Pembahasan materi regulasi itu dilakukan bersama regulator terkait seperti Ootoritas Jasa Keuangan (OJK). Dia mengharapkan, peraturan tersebut dapat dirampungkan dengan segera. “Mudah-mudahan satu atau dua start up dapat melantai, setelah peraturan ini selesai,” jelasnya.
Sebelumnya, BEI mengonfirmasi bahwa telah ada satu perusahaan e-commerce Indonesia yang mendaftarkan diri untuk melakukan penawaran umum perdana saham. “Terkait dengan e-commerce dalam pipeline, terdapat e-commerce yang telah menyampaikan dokumen,” sebut BEI.
Seiring dengan makin kencangnya keinginan GoTo untuk menjadi perusahaan publik, BEI pun berupaya mengimbanginya dengan rambu-rambu baru. Otoritas bursa pun tengah mematangkan beberapa prosedur dan aturan baru untuk meyakinkan unicorn-unicorn dan perusahaan besar lain bahwa ke depan, melantai di bursa tidak akan menghambat keberlangsungan visi dan inovasi mereka.
Kini, OJK tengah merampungkan aturan yang memungkinkan penyesuaian minimal saham beredar atau free float. Mengacu ke Peraturan Bursa I-A, emiten yang melantai di bursa wajib mengedarkan sahamnya ke publik minimal 7,5 persen dari porsi total. Rencananya, batas minimal tersebut bakal disesuaikan guna mengakomodasi startup yang telah memiliki valuasi di atas USD1 miliar.
Berkaitan dengan rencana sejumlah perusahaan rintisan berbasis teknologi untuk melantai di bursa, Indonesia Fintech Society (IFSoc)—organisasi masyarakat fintceh Indonesia–menyambut baik langkah berbagai perusahaan teknologi Indonesia itu untuk melakukan IPO demi penguatan modal.
Perlu diketahui, saat ini dari 11 unicorn Asia Tenggara, tujuh di antaranya dari Indonesia dengan total valuasi mencapai USD38 miliar. Hal ini membuat IPO perusahaan teknologi nasional memiliki peran strategis.
Ketua Steering Committee IFSoc Mirza Adityaswara menjelaskan, perusahaan teknologi telah memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat dan juga mengakselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia. “IFSoc melihat perusahaan teknologi telah melakukan berbagai inovasi melalui aplikasi transportasi, fintech, e-commerce, layanan pesan antar, edutech, hingga pendanaan UMKM [P2P Lending] sehingga roda ekonomi dapat terus berjalan di tengah pandemi Covid-19,” ujarnya dalam siaran pers, Jumat (11/6/2021).
Dalam dua tahun terakhir, IFSoc menilai, saham perusahaan teknologi berperan positif dalam menggerakkan pasar modal, di negara seperti Amerika Serikat dan Tiongkok.
Mirza menambahkan, IPO perusahaan teknologi nasional memiliki arti strategis bagi arah ekonomi digital Indonesia, termasuk membuka akses lebih luas dan likuid bagi investor yang ingin ambil bagian dalam perkembangan industri ekonomi digital.
“IFSoc memandang perlunya kebijakan yang tepat untuk memfasilitasi tercapainya potensi pertumbuhan dengan tetap mempertimbangkan kaidah perlindungan terhadap investor minoritas,” papar Mirza.
Steering Committee IFSoc Rudiantara menambahkan, IFSoc mendukung langkah BEI dalam merancang penyesuaian kebijakan yang mengakomodasi perusahaan teknologi berskala unicorn dan decacorn untuk melakukan IPO di Indonesia. Selain itu, IFSoc menyoroti banyaknya perusahaan teknologi dengan bottom line yang belum mencatatkan laba dan tanpa tangible assets bernilai besar seperti perusahaan konvensional.
Namun, dia menyebutkan, perusahaan itu memiliki pertumbuhan bisnis yang tinggi. “Semua penyesuaian kebijakan terkait start up yang hendak IPO harus selalu mengedepankan prinsip-prinsip perlindungan investor minoritas dan publik. Tapi, tetap pula memberikan insentif yang menarik bagi potensi masuknya pendanaan dari investor global ke Indonesia,” tambah mantan Menkominfo tersebut.
Rencana sejumlah perusahaan rintisan untuk go public tentu menjadi angin segar bagi pelaku ekonomi digital di Indonesia. Pasalnya, dengan gencarnya pemain start up Indonesia menawarkan saham perdana alias IPO telah menjadi opsi pendanaan bagi keberlangsungan usaha mereka. Artinya, langkah start up tersebut harus dijawab oleh pemodal agar lebih jeli melihat tren ekonomi dan sektor mana yang paling menjanjikan untuk ladang investasi, dan perusahaan berbasis teknologi, terutama yang bergerak di ekonomi digital, layak dan manis untuk digenggam sebagai investasi.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari
PROSESNEWS.ID – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Gorontalo telah menyelesaikan proses rekapitulasi hasil perhitungan suara…
PROSESNEWS.ID – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Gorontalo kembali mencatatkan prestasi gemilang dengan meraih peringkat…
PROSESNEWS.ID – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Gorontalo kembali menorehkan prestasi gemilang dengan meraih peringkat…
PROSESNEWS.ID — Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Gorontalo, Irwan Hunawa, menyampaikan harapannya agar…
PROSESNEWS.ID – Pemerintah Kota Gorontalo menerima kunjungan dari Ombudsman RI perwakilan Gorontalo, Jumat (20/12/2024). Kunjungan…
PROSESNEWS.ID – Dana Insentif Fiskal (DIF) yang diterima Pemerintah Kota Gorontalo dari pemerintah pusat terbukti…