PROSESNEWS.ID — Setelah melakukan aksi damai yang dilakukan puluhan wartawan di Mapolda Gorotalo pada Kamis (5/10/23), Kapolda Gorontalo Irjen Agnesta Romono Yoyol akhirnya angkat bicara terkait dugaan tindakan kekerasan dan intimidatif oleh oknum anggota Polri terhadap sejumlah wartawan akhir-akhir ini.
Dihadapan para wartawan, Agnesta Yoyol menyampaikan permohonan maaf atas perlakuan anggotanya. Ia menyebut hal itu tidak seharusnya terjadi, sebab kebebasan pers sudah jelas tertuang dalam Undangan-undangan no 40 tahun tahun 1999.
“Saya menyampaikan permohonan maaf kepada rekan-rekan jurnalis atas perbuatan oknum anggota kami. Kami akan mengevaluasi pihak yang bersangkutan,” ungkap Agnesta.
Selain itu, Agnesta juga akan melakukan sosialisasi kepada para anggota polri terkait UU Pers untuk meningkatkan pemahaman anggota polri terhadap kerja-kerja jurnalistik.
Sebelumnya, tindakan penghalang-halangan terjadi saat jurnalis Tribun, Antara, dan Dulohupa melakukan peliputan terkait kasus meninggalnya salah satu mahasiswa baru IAIN Sultan Amai Gorontalo yang hendak dilaporkan pihak keluarga bersama kuasa hukumnya ke Polda Gorontalo.
Saat sedang mengambil foto dan video, sejumlah jurnalis tiba-tiba dilarang mengambil gambar atau melakukan peliputan di dalam kantor SPKT Polda Gorontalo.
Karena perlakuan tersebut, para jurnalis memutuskan untuk tidak lagi merekam/mengambil gambar dan memilih keluar dari ruang SPKT dan menunggu di luar gedung.
Beberapa waktu kemudian setelah sejumlah kuasa hukum tersebut keluar dari ruang SPKT Polda Gorontalo, jurnalis kembali melakukan wawancara di depan gedung tersebut.
Saat wawancara, tiba-tiba oknum perwira Polisi tersebut, kembali melarang wartawan merekam dan meminta rekaman tersebut dihapus dan jangan ditayangkan, dengan alasan karena mengambil gambar yang bertuliskan SPKT.
Oknum tersebut mengatakan silahkan wawancara di tempat lain, dan jangan ambil tulisan atau gedung SPKT. Alasannya karena ia khawatir nanti akan terjadi kesalahpahaman publik dalam memahami berita.
Alasan yang diberikan oleh oknum polisi tersebut, yaitu laporan dari warga yang sedang diliput jurnalis itu belum jelas, sehingga tidak bisa sembarangan dalam memberitakannya, tidak relevan.
Kebebasan pers tidak dibatasi oleh kejelasan laporan. Jurnalis berhak untuk meliput suatu peristiwa, baik itu peristiwa yang jelas maupun peristiwa yang belum jelas.
Selain itu, tindakan oknum polisi tersebut juga bersifat intimidatif. Oknum polisi tersebut melarang jurnalis untuk mengambil gambar atau merekam di area SPKT dengan nada yang arogan.