Opini

Dua Tahun setelah Berucap Sumpah Janji

Ilustrasi Sumpah Janji (Foto : Mediaindonesia.com/Duta)

PROSESNEWS.ID, OPINI – DUA tahun lalu kami berucap sumpah janji sebagai wakil rakyat daerah. Agustus-September 2019 memang musim pelantikan anggota DPRD kabupaten/kota dan provinsi. Di dua bulan inilah, dengan tanggal dan hari bervariasi, ratusan gedung dewan di negeri ini menjadi saksi bergemanya sumpah janji para wakil rakyat. (Pelantikan anggota DPR-RI pada 1 Oktober dan pelantikan presiden/wakil presiden 20 Oktober).

Jujur saya bergetar, mungkin juga banyak yang lain, ketika mengucap sumpah janji itu karena baru kali ini melakukannya dalam acara kenegaraan yang formal. Diawali frasa ‘Demi Allah’, di bawah kitab suci, para wakil rakyat bersumpah akan menjalankan tugas seadil-adilnya sesuai konstitusi akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili dengan penuh kesungguhan.

Apakah sumpah itu bisa ditepati? Yang pasti kami melaksanakan tugas kedewanan dalam masa pandemi covid-19. Hingga awal September ini saja di Indonesia, 4 juta orang lebih terpapar (di dunia 219 juta orang) dan 133 ribu orang meninggal (di dunia 4,5 juta orang). Segala gerak kita pun terbatas.

Mahalnya demokrasi

Di kabupaten kami ada 50 anggota dewan yang dilantik. Total di seluruh Indonesia ada 20.392 anggota dewan yang dilantik pada 2019. Perinciannya 17.610 anggota DPRD kabupaten/kota, 2.207 anggota DPRD provinsi, dan 575 anggota DPR. Ada banyak pemekaran wilayah, maka ada penambahan 825 anggota dewan jika dibandingkan dengan Pemilu 2014 yang berjumlah 19.567 orang.

Ada sekitar 250 ribu calon legislatif (caleg) di seluruh Indonesia yang ikut berlaga pada Pemilu 2019. Ke mana mereka yang tidak terpilih? Ada yang terus berkiprah di partai. Mungkin juga ada yang kapok. Mungkin ada yang mengalami gangguan jiwa. Masyarakat boleh jadi mencibir.

Kita tahu para caleg banyak yang menghabiskan uang ratusan juta hingga puluhan miliar rupiah untuk pemilu. Di daerah terutama, tak sedikit yang menjual aset yang paling berharga. Mereka paham dengan sistem pemilihan terbuka, politik berbiaya mahal.

Para caleg menyadari, dalam pemilihan terbuka ‘episentrum’ utama ialah diri sendiri. Survei menunjukkan kedekatan masyarakat kita terhadap partai, party identifi cation (party-ID) hanya 15%-20%. Partai mesti mengirimkan caleg terbaiknya setiap pemilu. Jika ‘caleg terbaik’ ialah sosok bervisi, berintegritas, berkemampuan, berkemauan, dan berelektabilitas, jelas tak mudah.

Kita mafhum setiap musim pemilu, terutama di tingkat kabupaten/kota yang amat ketat dan keras persaingannya, caleg ialah laskar terdepan partai. Mereka kerap harus berhadapan dengan tetangga, teman, bahkan saudara sendiri. Bukan rahasia pula, lawan terberat justru kerap para caleg dari partainya sendiri. Alangkah berat dan mahal menjadi politisi hari ini!

Kepada pejabat KPK yang memberi pembekalan agar kami menghindari korupsi, saya pernah bilang para politikus sesungguhnya korban dari sistem politik yang mahal. Mohon KPK juga ikut memikirkan jalan keluarnya selain melakukan penindakan.

Masyarakat umumnya juga menganggap anggota dewan kabupaten/kota serupa ‘dewa penolong’. Pihak yang harus bisa menyelesaikan segala urusan. Kepada anggota dewanlah terutama masyarakat di dapilnya mengadu hampir seluruh problemnya. Problem kehidupan riil Indonesia.

Tentang mahalnya demokrasi kita, bacalah antara lain buku Pramono Anung, Mahalnya Demokrasi, Memudarnya Ideologi: Potret Komunikasi Politik LegislatorKonstituen (2013), buku Edward Aspinall dan Ward Berenschot, Democracy for Sale (2019), dan disertasi Burhanuddin Muhtadi dalam buku Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru (2020). Burhan lebih gamblang lagi menguak praktik klientelisme (pertukaran barang dan jasa untuk dukungan politik). Dalam soal politik uang, Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia.

Tetap menyalakan lilin

Apa pun motivasi kita memilih jalan politik, faktanya pesta demokrasi jadi semarak. Dari kesemarakan pemilu, salah satunya, kita mendapat predikat sebagai negara demokrasi terbesar nomor tiga di dunia. Bahkan, menjadi nomor satu untuk negara muslim. Negara muslim lain berharap Indonesia menjadi model yang bisa menyandingkan demokrasi dan Islam.

Sejak pemilu era reformasi tak sekali-dua kita dinujum bakal menghadapi masalah besar dengan sistem demokrasi ini. Tetapi, pesta demokrasi berjalan lancar meski ada riak-riak di sana sini. Berbagai sengketa bisa diselesaikan dengan penuh martabat di Mahkamah Konstitusi.

Kini partai politik ialah sumber rekrutmen utama para pemimpin di semua tingkatan.
Bayangkan, jika tak ada politisi ikut pemilu. Tak ada presiden, DPR/DPRD, gubernur, bupati, dan wali kota. Tak ada kabinet yang menjalankan roda pemerintahan. Demokrasi pun mati.

Kita mengapresiasi mereka yang tetap memilih jalan politik meski harus melalui jalan terjal daripada kapok ‘berjemaah’. Bahwa kini demokrasi-prosedural bertumbuh tapi demokrasi-substansial melisut, ini memang PR besar kita. Demokrasi memang bukan proses sekali jadi.

Di tengah masyarakat yang paternalistik, kata Surya Paloh dalam Dialog Kebangsaan yang dihelat CSIS (Centre for Strategic International Studies) beberapa hari lalu, elite politik masih menjadi salah satu penentu arah bangsa. Mereka punya peran menjadi teladan. Partai politik harus punya idealisme agar tetap berwibawa. Tanpa idealisme ujungnya malapetaka.

Agar tidak menjadi malapetaka, para elite politik dan tokoh bangsa secara bersama mesti segera meluruskan arah politik dan demokrasi kita. Saya percaya masih banyak figur yang meniti jalan politik dengan tetap ‘menyalakan lilin daripada berteriak dalam kegelapan’. Demokrasi bukan untuk menenggelamkan, melainkan untuk mengangkat tinggi-tinggi dan menerangi bangsa ini.

Saya tulis catatan ini untuk mengingatkan, terutama diri sendiri, bahwa seremoni sumpah janji setiap mengawali tugas baru sebagai anggota dewan, bukankah serupa buih-buih lautan.

Penulis : Djadjat Sudradjat Anggota DPRD Kabupaten Banyumas Periode 2019-2024

Sumber : Mediaindonesia.com

Recent Posts

Antisipasi Kerawanan Pemungutan Suara, Bawaslu Kota Gorontalo Petakan 18 Indikator TPS Rawan

PROSESNEWS.ID - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Gorontalo memetakan potensi kerawanan di Tempat Pemungutan…

10 jam ago

Paslon Gusnar – Idah Mendominasi Semua Segmen Pemilih di Gorontalo

PROSESNEWS.ID – Hasil survei terbaru mengenai preferensi pemilih dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Gorontalo 2024 menunjukkan bahwa…

10 jam ago

KPU Pohuwato Libatkan ASN dan Guru Sosialisasikan Partisipasi Pemilu 2024

PROSESNEWS.ID - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pohuwato menggandeng Aparatur Sipil Negara (ASN), termasuk para camat…

11 jam ago

Belum Ada Pendaftar dalam Seleksi Jabatan Sekda Kabupaten Gorontalo

PROSESNEWS.ID - Seleksi terbuka untuk pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Gorontalo…

11 jam ago

Helmi Rasid Sebut Sekda Boalemo sebagai Pembohong Soal Perbup Kewenangan Desa

PROSESNEWS.ID, BOALEMO - Ketua Komisi 1 DPRD Kabupaten Boalemo Helmi Rasid, mengaku kecewa dan merasa…

14 jam ago

Gugus Tugas Ketahanan Pangan Polri Disambut Positif Pemkot Gorontalo

PROSESNEWS.ID - Polresta Gorontalo Kota meluncurkan Gugus Tugas Ketahanan Pangan Nasional Polri, Rabu (20/11/2024). Program…

15 jam ago