PROSESNEWS.ID – Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menyebutkan, praktik dinasti politik dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada), dapat menghambat konsolidasi demokrasi.
“Fenomena dinasti politik tersebut, justru menghambat konsolidasi demokrasi di tingkat lokal, sekaligus melemahkan institusional partai politik dan lebih mengemukakan pendekatan personal ketimbang kelembagaan,” jelas Agus Widjojo dalam seminar Pilkada Serentak dan Konstelasi Politik di Daerah di Kantor Lemhannas, Jakarta, Kamis (11/2) seperti dikutip dari Antara.
Dikatakan Agus, Lemhannas melihat fenomena menarik dari perolehan hasil pilkada yang telah berlangsung, yakni menguatnya dinasti politik.
Hal ini bisa dilihat dari sistem informasi dan rekapitulasi KPU yang menunjukkan, 55 kandidat dari 124 kandidat (44 persen), terafiliasi dengan dinasti politik pejabat dan mantan pejabat.
Lebih lanjut kata Agus, akibat fenomena dinasti politik ini, rekrutmen politik hanya dikuasai sekelompok atau segelintir orang melalui oligarki.
Padahal, Indonesia merupakan negara demokrasi. Artinya, dalam memilih pemimpin, rakyat mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi langsung di dalam pemilihan umum, baik dalam hal memilih eksekutif maupun legislatif, baik tingkat nasional maupun tingkat daerah.
Pada tanggal 9 Desember 2020 telah dilaksanakan pilkada serentak meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota yang secara keseluruhan berlangsung dengan aman, damai, dan lancar, walaupun di tengah kondisi pandemi Covid-19.
Fenomena yang tak kalah menarik, kata Agus, masih kuatnya praktik politik uang.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menangani 104 dugaan politik uang pada Pilkada Desember 2020 yang tersebar di 19 provinsi, yaitu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, NTB, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Banten, NTT, Babel, Kalimantan Tengah, dan Riau.
“Politik uang yang dilakukan terus-menerus akan merusak budaya demokrasi di Negara ini. Karena akan mempengaruhi masyarakat untuk memilih berdasarkan transaksional dengan manfaat subjektif untuk kepentingan sesaat jangka pendek, tidak melihat kepada visi-misinya pembangunan jangka panjang,” kata Agus.
Di samping itu, pria yang juga dikenal sebagai putra dari Pahlawan Revolusi Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo ini, menilai, bahwa pilkada serentak diwarnai dengan terindikasinya 21 kasus pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN).
Dampak dari ketidaknetralan ASN ini, lanjutnya, juga bersifat jangka panjang akan memengaruhi pola manajemen abdi negara yang tidak lagi didasarkan pada profesionalisme, tetapi lebih kepada kedekatan personal terhadap pejabat. Itu, katanya, bisa pula diartikan menjadi politisasi ASN atau PNS.
Terkait kondisi demokrasi fenomena pilkada yang akan terus terulang, kata Agus, maka perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut.
“Bagaimana peran kekuatan politik yang ada dalam pilkada untuk dapat terus-menerus memperkuat peran demokrasi di Indonesia guna mencapai tujuannya. Apakah kekuatan partai politik saat ini tidak lagi mempunyai kekuatan ideologis, sehingga masyarakat tidak lagi teridentifikasi kepada warna partai politik tertentu dikaitkan dengan aspirasinya, dan lebih kepada pertimbangan pragmatis jangka pendek dengan melakukan politik uang dan mengedepankan figur serta politik oligarki karena dianggap dapat meraih kekuatan maksimal untuk pemenangan pilkada,” Tandasnya.
(Antara/kid)