PROSESNEWS.ID – Bisnis periklanan Google yang selama ini meraup keuntungan besar bagi perusahaan, kemungkinan terancam tutup jika sebuah rancangan undang-undang (RUU) baru terkait periklanan digital disahkan.
Proposal bipartisan (disokong dua partai politik) terbaru mengincar Google dan akan memaksa raksasa teknologi itu untuk menyetop bisnis periklanan digitalnya jika disahkan.
Untuk diketahui, Kompetisi dan Transparansi dalam Undang-Undang Periklanan Digital diperkenalkan pada Kamis (19/5/2022), oleh sekelompok senator di subkomite Kehakiman tentang antimonopoli.
Mereka adalah anggota senator dan ketua, Sens. Mike Lee, R-Utah, dan Amy Klobuchar, D-Minn., serta sebagai Senator Ted Cruz, R-Texas, dan Richard Blumenthal, D-Conn.
Mengutip CNBC, Senin (23/5/2022), periklanan adalah bagian besar dari bisnis induk perusahaan Alphabet.
Pada Q1 2022, Alphabet melaporkan pendapatan US$ 68,01 miliar (sekitar Rp 997 triliun), yang mana US$ 54,66 miliar (sekitar Rp 800 triliun) di antaranya dihasilkan oleh iklan–naik dari US$ 44,68 miliar ( sekitar Rp 645 triliun) pada tahun sebelumnya dilansir Liputan6.com
RUU tersebut akan melarang perusahaan yang memproses lebih dari US$ 20 miliar (sekitar Rp 294 triliun) setiap tahun dalam transaksi iklan digital untuk berpartisipasi dalam lebih dari satu bagian dari proses iklan digital. Demikian menurut The Wall Street Journal, yang pertama kali melaporkan berita tersebut.
Google sendiri memiliki andil dalam beberapa langkah proses iklan digital, sebuah bisnis yang menjadi fokus gugatan antimonopoli yang dipimpin negara terhadap perusahaan tersebut.
Google menjalankan lelang atau pertukaran, tempat transaksi iklan dilakukan dan juga menjalankan tool untuk membantu perusahaan menjual dan membeli iklan. Jika undang-undang baru disahkan, mereka harus memilih di bagian bisnis mana yang ingin dipertahankan.
“Ketika kamu menggunakan Google yang secara bersamaan melayani sebagai penjual dan pembeli serta menjalankan pertukaran, itu memberi mereka keuntungan yang tidak adil dan tak semestinya di pasar,” kata Mike Lee kepada The Wall Street Journal dalam sebuah wawancara.
Ketika sebuah perusahaan dapat memakai semua ‘topi’ ini secara bersamaan, Lee menilai itu bisa merugikan semua orang.