Indonesia bersiap membangun angkutan kereta cepat sebagai bagian dari transportasi darat masa depan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membantu menciptakan rel berbahan paduan nikel dan siap diproduksi utuh.
Kereta api telah menjelma menjadi sarana transportasi massal penting di Indonesia. Angkutan berbasis rel ini menjadi primadona infrastruktur pengangkutan penumpang, kargo, dan barang yang strategis. Melintas di atas jalur khusus, kereta dikenal sebagai sarana transportasi antikemacetan dan lebih cepat dari moda angkutan darat lainnya.
Sebagai angkutan penumpang, setiap rangkaian kereta milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) terdiri dari 10–15 gerbong dan sanggup berjalan sejauh puluhan hingga ratusan kilometer untuk memindahkan pergerakan ribuan masyarakat hanya dalam sekali angkut. Hal itu bisa dilihat pada tiap rangkaian yang dioperasikan oleh PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), anak usaha KAI yang beroperasi di lintasan Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, hingga ke Serang, Banten.
Dalam setiap rangkaian kereta yang dioperasikan KCI, misalnya, mereka sanggup membawa lebih dari 10 ribu orang dalam sekali perjalanan kereta. Seperti dikutip dari situs resminya, sebelum pandemi terjadi atau hingga akhir 2019, KCI mencatat,rata-rata setiap harinya armada transportasi yang kerap dijuluki sebagai ular besi itu sanggup mengangkut 1,1 juta penumpang. Para penumpang itu diangkut oleh lebih dari 1.100 unit gerbong kereta menjangkau rute sejauh 418,5 kilometer.
Sebagai angkutan barang, misalnya, satu rangkaian ular besi terdiri dari 40–60 gerbong milik KAI mampu menggantikan tugas sekitar 300–400 unit truk untuk mengangkut sekitar 2.300 ton batubara dalam sekali perjalanan. Belum lagi sebagai angkutan peti kemas yang menghubungkan pusat produksi ke pelabuhan di mana sekali perjalanan, setiap rangkaian kereta mampu membawa 30 peti kemas. Itu belum termasuk kemampuan kereta untuk menggendong aneka komoditas lainnya. Seperti, produk kendaraan bermotor, semen, air minum dalam kemasan dari pabrik ke pelabuhan untuk pengiriman antarpulau atau tujuan ekspor.
Melihat berbagai keunggulan itu, termasuk kemampuan menekan biaya logistik nasional karena daya angkutnya yang besar, pemerintah memutuskan melebarkan jaringan rel kereta. Tidak hanya di Pulau Jawa dan Sumatra, jaringan rel juga telah dibangun hingga ke Sulawesi dan Kalimantan. Seiring dengan itu, maka selain diperlukan penambahan jumlah rangkaian kereta, juga harus tersedia produk rel dalam jumlah banyak.
Para peneliti di Pusat Penelitian Metalurgi dan Material Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2MM LIPI) rupanya tidak tinggal diam dan tertantang untuk ikut membantu pengembangan industri perkeretaapian. Salah satunya adalah Fatayalkadri Citrawati. Doktor lulusan New South Wales, Australia. Sejak awal dia ingin memanfaatkan potensi mineral lokal, ilmenit, yang mengandung nikel, dan banyak terdapat di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.
Itulah sebabnya, saat mendengar bahwa pemerintah meminta prioritas riset nasional dikaitkan dengan sarana transportasi untuk kebutuhan masyarakat, Fataya—begitu dia biasa disapa–berinisiatif menemui pihak KAI. Ia pun baru mengetahui bahwa komponen rel kereta masih diimpor dan hanya sebagian kecil saja dari komponen penunjang seperti baut yang diproduksi di dalam negeri.
Oleh karena itu pula ia memutuskan mengarahkan risetnya untuk menciptakan rel berbahan paduan nikel terutama bagi kebutuhan kereta cepat yang akan menjadi transportasi masa depan berbasis rel di Indonesia. Seperti dikutip dari laman situs LIPI, sarjana strata 1 dari Institut Teknologi Bandung itu pun memulai riset dasar bersama tim pada 2017. Kemudian riset itu dilanjutkan dengan pengembangan rel berbahan nikel berupa purwarupa atau prototipe pada 2019 meski dalam skala laboratorium, yaitu berupa balok rel sepanjang 10 sentimeter.
Menurut Fataya, jenis rel kereta yang dipakai di Indonesia adalah UIC 54 dengan standar per 1 meter seberat 54 kilogram. Sedangkan untuk rel kereta cepat menggunakan tipe UIC 60 dengan berat 60 kg per meter. Selain spesifikasinya berbeda, bahannya pun juga tidak sama karena rel yang di seluruh jaringan kereta terbuat dari mangan. Jenis struktur logam yang dikembangkan oleh Fataya untuk pembuatan rel adalah bainite, struktur mikro seperti pelat yang terbentuk pada baja bersuhu 125-150 derajat Celcius.
Peneliti yang melanjutkan pendidikan strata 2 di Technische Universiteit Delf, Belanda itu menyebutkan, struktur bainite bisa diketahui ketika logam dipotong dan dilihat melalui mikroskop. Rel jenis ini memiliki kekuatan lebih tinggi dan sesuai untuk kereta cepat yang umumnya melaju pada kecepatan di atas 150 kilometer per jam dengan kekuatan antara 1.100-1.200 megapascal (Mpa).
Kondisi saat ini, pada semua rel yang telah terpasang di jaringan kereta milik KAI,berjenis pearlite untuk menahan kecepatan maksimal 120 km per jam atau menahan beban 1.054 Mpa.
Fataya sendiri perlu waktu untuk mematangkan penciptaan rel berbahan nikel karena masih jarang diproduksi akibat bahan baku nikel yang tidak mudah didapat oleh produsen asing.
Polandia dan Jerman termasuk yang telah menerapkan rel berbahan nikel ini. Memanfaatkan sebuah software khusus, para peneliti ini kemudian melakukan simulasi pencampuran bahan, menentukan komposisi, temperatur, dan lamanya pemrosesan di dalam tungku. Proses produksi prototipe itu dilakukan dalam skala laboratorium.
Tak hanya menciptakan relnya, Fataya dan tim juga meriset agar mampu mengembangkan rel jarum wesel (crossing), yaitu jenis rel untuk kereta berpindah jalur dan tentu saja kebutuhan materialnya harus lebih kuat agar tidak cepat aus. Setelah uji coba skala laboratorium selesai dilakukan, maka dapat diteruskan ke pembuatan rel batangan skala utuh menggunakan proses deformasi dengan dimensi sekitar 2 meter.
LIPI, kata Fataya, menggandeng PT Pindad. Pasalnya, menurut dia, pihaknya tidak memiliki fasilitas memadai untuk keperluan itu. Pada tahapan ini, para peneliti ingin mengetahui kekerasan bahan dan kekuatannya apakah sudah sesuai dengan standar internasional.
Setelah lolos uji ini, maka dilanjutkan dengan memasangkan purwarupa rel di salah satu lintasan KAI yang sepi. Kalau dalam uji coba tidak mengalami kerusakan atau patah, maka dapat diteruskan uji coba di jalur lebih padat.
Persoalan yang dihadapi Fataya dan tim selain waktu adalah juga pendanaan riset. Jika pendanaan bagi pengembangan rel ini bisa dilakukan secara kontinyu, ia menjamin kurang dari 5 tahun Indonesia telah mampu memproduksi rel nikel untuk kereta cepat. Hal yang sama diyakininya berlaku bagi proses produksi skala utuh rel jarum wesel, meski bentuknya cukup rumit dan prosesnya lebih lama.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari