
PROSESNEWS.ID – Meningkatnya kasus kekerasan seksual yang melibatkan oknum pendidik dan peserta didik di lingkungan satuan pendidikan di Gorontalo memantik reaksi keras dari organisasi masyarakat sipil SALAMPUAN Gorontalo.
Direktur Sahabat Anak, Perempuan, dan Keluarga (SALAMPUAN), Asriyati Nadjamuddin, menilai pemerintah kabupaten/kota hingga provinsi masih abai dan belum menunjukkan keseriusan dalam menjalankan amanah pencegahan kekerasan di sekolah.
“Tuntutannya kepada seluruh pemangku kebijakan pendidikan agar aware terhadap agenda pencegahan kekerasan di lingkungan pendidikan sebagaimana amanah aturan perundang-undangan,” jelas Asri saat dimintai keterangan via WhatsApp, Sabtu (6/12/2025).
Kritik ini muncul lantaran penanganan sejumlah kasus di sekolah kerap berakhir pada mediasi tertutup, sementara kewajiban pencegahan yang telah diatur dalam regulasi masih minim implementasi.
Normalisasi Kekerasan Melalui “Jalan Damai”
Asriyati menyoroti praktik penyelesaian kasus pelecehan seksual melalui mediasi tertutup dengan dalih menjaga nama baik sekolah. Menurutnya, pendekatan seperti ini justru membahayakan karena memberi ruang normalisasi terhadap tindakan kriminal di lingkungan pendidikan.
“Kami ingatkan dengan tegas, jangan ada mediasi tertutup terhadap kasus pelecehan seksual. Praktik ini menormalisasi perlakuan keji tersebut secara simultan. Hal yang abnormal dan kriminal, malah jadi dianggap normal di lingkungan pendidikan kita,” tegas Asriyati.
Ia menambahkan bahwa relasi kuasa di sekolah kerap disalahgunakan, baik oleh oknum guru maupun senior yang memanfaatkan otoritasnya untuk menekan korban agar bungkam.
Status Sekolah Ramah Anak Dipertanyakan
Sorotan berikutnya ditujukan kepada sekolah-sekolah di Gorontalo yang telah mengantongi lisensi sebagai “Sekolah Ramah Anak”. SALAMPUAN menilai label tersebut tidak boleh hanya menjadi simbol semata.
“Banyak sekolah sudah berlisensi Ramah Anak, tapi di mana wujud SOP-nya? Seharusnya sudah ada spanduk yang terpasang jelas: jika siswa mengalami perundungan atau pelecehan, mereka harus lapor ke mana. Keamanan ruang publik seperti toilet, kantin, dan laboratorium harus dijamin. Jangan nanti sudah kejadian baru sibuk,” kritik Asriyati.
Ia menekankan bahwa keberadaan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) tidak boleh sekadar formalitas di atas kertas, melainkan harus menyediakan mekanisme pelaporan yang aman serta ruang pemeriksaan yang menjaga privasi korban.
Pemda Dinilai Gagal Jalankan 7 Tugas Utama Pencegahan Kekerasan
Kritik paling substansial diarahkan kepada pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. SALAMPUAN menilai maraknya kasus adalah bukti lemahnya pengawasan dan fasilitasi Pemda dalam menjalankan mandat pencegahan kekerasan.
Asriyati menjelaskan tujuh tugas mutlak Pemda berdasarkan regulasi yang dinilai belum berjalan optimal di Gorontalo:
-
Regulasi belum jelas: Belum terlihat peraturan kepala daerah yang secara spesifik mendukung pencegahan kekerasan di sekolah.
-
Minim anggaran: Komitmen pengalokasian anggaran khusus untuk pencegahan kekerasan masih dipertanyakan.
-
Fasilitasi setengah hati: Pembinaan satuan pendidikan masih bersifat seremonial dan belum menyentuh aspek pengawasan substansial.
-
Satgas tidak efektif: Kinerja Satuan Tugas daerah dinilai tidak optimal dalam koordinasi lintas sektor.
-
Evaluasi tidak rutin: Pemantauan dan evaluasi yang seharusnya dilakukan minimal setahun sekali diduga tidak berjalan.
-
Koordinasi lemah: Koordinasi lintas sektoral belum maksimal.
-
Laporan tidak transparan: Pelaporan hasil pemantauan dan evaluasi belum dilakukan secara berkala dan melibatkan masyarakat.
Menutup kritiknya, Asriyati kembali menegaskan pentingnya implementasi optimal kebijakan pencegahan kekerasan.
“maka, sebenarnya kita Salampuan bersyukur sudah ada regulasi dan organ di internal sekolah, sudah ada bimteknya. Maka mari dioptimalkan, kita kawal bersama dan laksanakan sesuai prosedur yg ada,” harapnya.
Pihak Sekolah Klaim TPPK Sudah Bekerja
Di waktu berbeda, pihak sekolah yang dikonfirmasi terkait kasus pelecehan seksual oleh guru terhadap muridnya menyatakan bahwa TPPK telah menjalankan tugas sesuai prosedur.
“Satgas ini sudah menjalankan tugasnya, bahkan yang menjadi terduga pelaku ini termasuk beliau ketuanya,” jelas kepala sekolah saat dikonfirmasi Prosesnews.id, Senin pagi di ruangannya (8/12/2025).
Terkait wadah atau tempat aduan bagi siswa, kepala sekolah menjelaskan bahwa pihaknya telah menyediakan sejumlah layanan.
“Kalau untuk laporan-laporan itu, ada ruang Bimbingan Konseling (BK), PMR yang ada di sekolah, bahkan setiap minggunya saya rapatkan evaluasi khusus dengan guru untuk masalah yang terjadi di sekolah,” terangnya.
Reporter: Sandri Mooduto








