Dalam perjalanannya menuju tanah rempah Maluku, para pelaut dan pedagang asal Portugis menyinggahi Pulau Siompu, Sulawesi Tenggara. Saat singgah, beberapa dari mereka menikahi perempuan Siompu dan menghasilkan keturunan bermata biru.
Pulau satu ini letaknya di barat daya dari Kabupaten Buton Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Siompu, itulah nama pulau seluas 41,5 kilometer persegi (km2) yang dihuni 10.742 jiwa berdasarkan data Badan Pusat Statisik Buton Selatan pada 2018.
Secara administratif, Pulau Siompu dibagi menjadi dua kecamatan, yakni Siompu Timur dan Siompu Barat. Pulau Siompu bisa dijangkau lewat perjalanan laut dari Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara, dengan tujuan ke Kota Baubau, Pulau Buton. Perjalanan itu butuh waktu enam jam dengan menumpang feri.
Untuk melanjutkan perjalanan ke Siompu dapat dicapai dengan perahu cepat (speed boat) dari Pelabuhan Topa, Kota Baubau. Tarifnya Rp35.000 per orang dengan lama perjalanan 40 menit.
Siompu dikelilingi oleh laut biru yang masih terjaga kelestariannya. Pasir pantainya putih bersih dan terumbu karangnya pun masih alami. Bukan itu saja, pulau ini mempunyai ikon flora endemik berupa jeruk siompu.
Selain itu, ada satu lagi pesona tersimpan di pulau dengan vegetasi alam berupa perbukitan batu karang dan tebing. Di Kaimbulawa, sebuah desa seluas 9,6 km2 di Kecamatan Siompu Timur terdapat sekelompok warga dengan ciri tubuh unik. Mereka berbola mata biru atau berambut pirang mirip bangsa Kaukasia atau orang Eropa.
Desa Kaimbulawa jaraknya sekitar 10 kilometer dari Lapara, ibu kota Siompu Timur. Untuk bisa bertemu dengan para pemilik mata biru harus menaklukkan jalanan terjal hingga ke perbukitan Kaimbulawa. Di kawasan perbukitan inilah kelompok mata biru bermukim dan menjadi bagian dari populasi 1.010 jiwa masyarakat Kaimbulawa.
Fenomena masyarakat bermata biru ini pertama kali diungkapkan oleh La Ode Yusrie. Saat itu peneliti budaya dan sejarah tersebut, bersama lembaga Summer Institute Linguistic (SIL), sedang melakukan riset mengenai dialek lokal unik di Siompu Timur di awal 2016. Yusrie tertarik dengan ragam tutur berbeda yang dipakai oleh tiga komunitas masyarakat Siompu. Ia meneliti selama enam bulan.
Menjelang akhir kegiatan Yusrie mendapat informasi mengenai adanya komunitas warga dengan ciri fisik unik mirip dengan bangsa Eropa. Ia berharap informasi ini bukan hoaks, karena seingatnya komunitas mata biru hanya ada di Desa Lamno, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh.
Ditemani warga setempat, Yusrie pun akhirnya bertemu dengan warga Kaimbulawa bermata biru. Salah satunya adalah La Dala. Guru sekolah dasar berusia 55 tahun itu berciri fisik seperti diceritakan warga Siompu, yaitu bertubuh tinggi besar sekitar 180 sentimeter dan tentu saja bola matanya biru cerah. Hidung pun mancung dan kulit lebih terang dari warga Siompu kebanyakan.
Keturunan La Dala bermula dari persahabatan Raja Siompu II, La Laja atau La Sampula dengan para pelaut Portugis ketika berburu rempah ke Nusantara pada abad 16. Saking eratnya persahabatan, Raja Siompu II menikahkan putrinya Wa Ode Kambaraguna dengan seorang Portugis, konon bernama Pitter.
Dari pernikahan putri Siompu dan pria Portugis itu lahirlah beberapa anak, termasuk La Ode Raindabula, yang berpostur tinggi, berkulit putih, dan bermata biru. Raindabula merupakan generasi pertama mata biru di Siompu.
Selanjutnya, La Ode Raindabula mempersunting perempuan bangsawan dan memiliki lima anak, antara lain, La Ode Pasere yang merupakan kakek buyut La Dala dari pihak ibu. Menurut La Dala, La Ode Raindabula sudah meramalkan perihal keturunannya yang bakal mewarisi ciri fisik ala Eropa.
Dalam ramalannya, pada keturunan kelima dan keenam akan muncul lagi ciri khas orang Eropa. La Dala sendiri sempat menjadi Kepala Sekolah Dasar 2 Kaimbulawa, Siompu.
Mata biru La Dala ikut menurun kepada Ariska Dala (19) yang merupakan keturunan keenam. Ariska satu-satunya dari enam anak La Dala dengan mata biru. Sepeti juga ayahnya, mata biru Ariska memiliki kemilau indah dan penuh pesona dengan sorot tajam. Raut wajah Ariska tak mirip dengan warga kebanyakan, bahkan lebih mirip gadis cantik Eropa dengan rambut sedikit pirang.
Dampak Perburuan Rempah
Perburuan rempah telah mengantarkan pelaut Portugis masuk Nusantara pada abad 16. Tujuan utama mereka adalah Kepulauan Maluku, yang merupakan rumah bagi tanaman rempah primadona yaitu cengkeh dan pala.
La Ode Yusri mengatakan, para pelaut Portugis mula-mula melintasi jalur utara, lewat Pulau Mindanao, Filipina. Namun, lantaran banyak aksi perompak, Portugis mengalihkan rute pelayaran ke selatan. Mereka pun menemukan Pulau Buton dan dijadikan persinggahan bagi pelaut Portugis saat menuju ke Maluku.
Selama berlabuh, mereka mengisi perbekalan serta menjalin hubungan dagang dengan Kesultanan Buton. Cerita itu termuat dalam naskah kuno Buton, Kanturuna Mohelana (Pelitanya Orang Berlayar).
Namun dalam naskah lawas tersebut tak mencantumkan tarikh kedatangan orang Portugis di Buton. Yusri menaksir, interaksi Buton-Portugis terjadi antara tahun 1500 sampai 1600-an, sebelum Belanda masuk. Dalam Kanturuna Mohelana diceritakan interaksi dengan Portugis berlangsung sampai datangnya orang Eropa lain (Belanda).
Bila taksiran itu betul, maka para pelaut Portugis berinteraksi dengan tiga sultan Buton, Murhum atau Sultan Kaimuddin Khalifatul Khamis (1491-1537), La Tumparasi atau Sultan Kaimuddin (1545-1552), dan La Sangaji (1566-1570).
Mata biru merupakan ciri anak-anak hasil perkawinan silang Buton-Portugis. Contohnya perkawinan antara Felengkonele, seorang pemimpin armada Portugis, dengan salah seorang putri bangsawan Buton.
Ketika Belanda menguasai Buton, mereka melancarkan propaganda dan fitnah (devide et impera) terhadap keturunan Portugis, yang mereka sebut pengkhianat. Itu sesuai kepentingan Belanda yang menganggap Portugis sebagai saingan dalam berebut pengaruh di Kesultanan Buton.
Propaganda itu berdampak kepada anak-anak hasil perkawinan Buton-Portugis. Mereka pun memilih menyingkir ke beberapa wilayah, seperti Liya di Kabupaten Wakatobi, Ambon, hingga Malaysia.
Stigma penjajah Belanda terus membekas pada komunitas bermata biru di Siompu selama berpuluh tahun. Mereka semakin menutup diri dan membatasi komunikasi dengan orang asing dan menghindari keramaian.
Para pemilik mata biru pun menjauh dan membangun tempat tinggal termasuk di wilayah perbukitan Kaimbulawa. Kondisi ini pun sempat membuat Yusrie kesulitan berinteraksi dengan warga bermata biru ketika penelitian dilakukan.
Namun, berkat hasil penelitian warga bermata biru di Siompu oleh Yusrie dan disebarluaskan di media sosial dan sempat menjadi viral, telah membuka mata warga dunia maya bahwa komunitas mata biru tak hanya ada di Lamno, tetapi juga di Siompu.
Penduduk bermata biru tersisa saat ini, tak lebih dari 10 orang, perlahan membuka diri. La Dala dan sejumlah warga Siompu bermata biru pun kini mulai sering diundang dalam acara-acara di lingkungan Kesultanan Buton. Bahkan dalam sebuah pertemuan, dengan nada bergurau Bupati Buton Selatan La Ode Arusani kepada La Dala mengatakan bahwa dirinya adalah aset yang harus dijaga karena matanya.
Tertarik untuk mengunjungi Siompu dengan pesona pantai berpasir putih dengan terumbu karang alami serta bertemu dengan warga bermata biru? Jangan lupa untuk selalu menjalankan protokol kesehatan agar mencegah penyebaran virus corona. Pakai selalu masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, jaga jarak serta hindari selalu kerumunan.
Penulis: Anton Setiawan Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari