Politik

Kuasa Politik di Balik Perubahan Istilah China-Tionghoa

Penyebutan istilah China menjadi Tionghoa/Tiongkok atau sebaliknya berubah seiring keputusan politik rezim. Ilustrasi (CNN Indonesia/Safir Makki).

Penyebutan China untuk orang Tionghoa di Indonesia memiliki sejarah panjang. Begitu pula dengan perubahan sebutan China menjadi Tiongkok. Keputusan politik pemerintah memiliki andil besar dalam perubahan-perubahan tersebut.

Istilah China sendiri dicetuskan pertama kali oleh Inggris setelah Tiongkok kalah dari Perang Candu pada abad ke-19.

Perang ini dipicu oleh penyelundupan opium illegal dari Inggris ke Tiongkok. Aksi penyelundupan ini menyebabkan perekonomian Tiongkok menjadi defisit.

Tiongkok tak tinggal diam. Mereka mengirim surat kepada Ratu Victoria untuk menghentikan aksi tersebut. Namun, ketegangan Inggris dan Tiongkok tak menurun.

Pihak Tiongkok kemudian membuat pelarangan dan penyitaan opium yang datang dari luar negeri. Sementara itu pihak Inggris membalasnya dengan mengirim militer ke Tiongkok dan berhasil menundukkan mereka.

Tan Swie Ling dalam buku ‘G30S 1965, Perang Dingin dan Kehancuran Nasionalisme’, menjelaskan dalam Perang Candu, Inggris memberikan sebutan ‘China’ kepada Tiongkok dan rakyatnya. Menurutnya, penyebutan China adalah bentuk dari olok-olok orang Inggris.

“… disengaja atau tidak, niscaya pada sebutan China tersebut terkandung konotasi pelecehan,” tulis Tan Swie Ling (halaman 533).

Tan mengatakan orang Tiongkok pada masa Dinasti Han lebih senang menyebut dirinya sebagai Tionggoan.

Di Indonesia sendiri, tulis Tan, sebutan China menjadi beragam lantaran pelafalan setiap daerah berbeda-beda. Lidah melayu menyebut China menjadi Cina, Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi Cino, serta di Jakarta menjadi Cine.

Sebutan Tionghoa di Indonesia baru dikenal tahun 1900-an setelah berdirinya sebuah organisasi yang didirikan oleh tokoh-tokoh Tionghoa.

“Sejak 17 Maret 1900 memperoleh padanan sebutan dengan kata Tionghoa. Sebagaimana hal tersebut tercantum dalam Akte Pendirian Roemah Perkoempoelan Tiong Hwa Hwee Kwan,” tulis Tan (halaman 534).

Kendati demikian, Tan mencatat, penyebutan Tionghoa baru menyebar di Indonesia pada medio 1928 setelah Sumpah Pemuda. Ia melihat ada semangat yang sama dalam penyebutan ‘Tionghoa’ dan Indonesia. Semangat untuk merdeka dari terbelenggu penindasan.

Istilah Tionghoa bertahan hingga masa Presiden Sukarno. Penyebutan Tionghoa baru dihapus saat Presiden ke-2 RI Soeharto berkuasa di bawah bendera Orde Baru.

Ketika itu terbit Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pres.Kab/6/1967 tentang Masalah China.

“Maka untuk mencapai uniformitas dari efektivitas, begitu pula untuk menghindari dualisme di dalam peristilahan di segenap aparat Pemerintah, baik sipil maupun militer, ditingkat Pusat maupun Daerah kami harap agar istilah “China” tetap dipergunakan terus, sedang istilah “Tionghoa/Tiongkok ditinggalkan,” bunyi poin ke-empat dalam surat edaran tersebut.

Dalam surat edaran tersebut juga menyebut penggunaan istilah Tionghoa mengandung nilai-nilai yang memberi asosiasi-psikopolitis yang negatif bagi rakyat Indonesia. Sedangkan istilah China hanya mengandung arti nama dari suatu dinasti dari mana China tersebut datang.

Tak sampai di situ, Presiden Soeharto ketika itu mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.

Dalam aturan itu, Soeharto meminta etnis Tionghoa yang merayakan pesta agama atau ada istiadat tidak mencolok di depan umum, melainkan hanya di dalam lingkungan keluarga. Perayaan Imlek dan Cap Go Meh kemudian masuk dalam kategori tersebut.

Sejarawan JJ Rizal menjelaskan surat edaran Presidium Kabinet Ampera tersebut berawal dari Seminar Angkatan Darat (AD) di Bandung, Jawa Barat. Rizal menyebut surat edaran itu bertujuan untuk menunjukkan superioritas militer pada masa Orde Baru.

Selain lewat surat edaran, pemerintah Orba saat itu juga membuat ketakutan dan tuduhan-tuduhan terkait etnis Tionghoa.

“Zaman Orde Baru, (etnis Tionghoa) dianggap darah kotor, bukan Indonesia asli, mereka pun identik dengan komunis,” kata Rizal kepada CNNIndonesia.com, Kamis (11/1).

Rizal mengatakan pemerintah Orba juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa, seperti mengganti nama hingga melarang membuat acara terkait kebudayaan dan kepercayaan Tionghoa.

“Sebab itu diganyang dan dipaksa jadi orang Indonesia, misalnya dengan mengganti nama, meninggalkan budaya dan kepercayaan mereka, serta pemberlakuan Surat Bukti Kewarganegaraan,” ujarnya.

Terkait penyebutan Tionghoa (Tiongkok) dan China, Rizal menyebut tak ada masalah yang berarti. Ada yang suka disebut Tionghoa, ada juga yang suka disebut China. Menurutnya, konotasi negatif yang disematkan pada penyebutan China hanya konstruksi pemerintah Orba.

“Ini (China) menjadi kata yang dirasakan sebagai ungkapan menghina dan bahkan rasis karena konstruksi politik Orde Baru. Itu kesadaran akan bahaya pola pikiran kuasa militeristik fasis Orde Baru dengan kroninya yang dari beragam etnis juga termasuk di dalamnya orang Tionghoa,” ujarnya.

Setelah Soeharto lengser pada 1998 lalu, etnis Tionghoa di Indonesia terlepas dari kungkungan rezim. Mereka juga akhirnya mendapat izin untuk merayakan Imlek secara terbuka oleh Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Ketika itu, Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000. Ketika itu Imlek dan Cap Go Meh mulai dirayakan di Jakarta serta Surabaya.

Perayaan Imlek baru ditetapkan sebagai hari nasional di era Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri pada 2002. Imlek menjadi hari libur nasional baru terlaksana setahun kemudian.

Penggunaan diksi China kembali berubah pada era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor Se-06/Pres.Kab/6/1967.

Lewat keppres tersebut, SBY mengganti istilah ‘China’ dengan ‘Tionghoa’. Kemudian mengubah penyebutan negara Republik Rakyat China menjadi Republik Rakyat Tiongkok

“Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang dan atau komunitas Tjina/China/Cina diubah menjadi orang dan atau komunitas Tionghoa, dan untuk penyebutan negara Republik Rakyat China diubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok.” bunyi Keppres 12/2014.

(yla/fra/CNNIndonesia)

Recent Posts

KPU Provinsi Gorontalo Raih Peringkat Terbaik dalam Pengelolaan Rekapitulasi Suara

PROSESNEWS.ID – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Gorontalo kembali mencatatkan prestasi gemilang dengan meraih peringkat…

1 hari ago

KPU Provinsi Gorontalo Raih Peringkat Terbaik Kedua dalam Anugerah SPIP 2024

PROSESNEWS.ID – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Gorontalo kembali menorehkan prestasi gemilang dengan meraih peringkat…

1 hari ago

Ketua Dekot Gorontalo Harapkan Tahun Baru Membawa Perubahan Positif bagi Daerah

PROSESNEWS.ID — Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Gorontalo, Irwan Hunawa, menyampaikan harapannya agar…

1 hari ago

Pelayanan Publik Kota Gorontalo Masuk Zona Hijau, Ombudsman RI Apresiasi

PROSESNEWS.ID – Pemerintah Kota Gorontalo menerima kunjungan dari Ombudsman RI perwakilan Gorontalo, Jumat (20/12/2024). Kunjungan…

2 hari ago

Pemkot Gorontalo Optimalkan DIF untuk Jaga Kesejahteraan Warga di Tengah Inflasi

PROSESNEWS.ID – Dana Insentif Fiskal (DIF) yang diterima Pemerintah Kota Gorontalo dari pemerintah pusat terbukti…

2 hari ago

KPU Kabupaten Gorontalo Menggelar Bimtek Terkait SITAB

PROSESNEWS.ID – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Gorontalo menggelar Bimbingan Teknis (Bimtek) terkait Sistem Informasi…

2 hari ago