Oleh : Man Muhammad (Penulis merupakan dosen IAIN Sultan Amai Gorontalo)
TAK ada paksaan memang, tetapi, dengan hadirnya Ramadan, alam bawah sadar kita selalu mengarahkan kita untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat. Baik itu secara pribadi, atau pun dalam lingkup sosial.
Mengutip istilahnya Gus Mus, saleh secara ritual juga saleh secara sosial. Suatu ketika, Rasulullah Saw, pernah bersabda kepada para sahabatnya, “Qad ja’akum syahrun ‘adzhimun mubarak” telah datang kepada kalian sebuah bulan yang sangat agung dan penuh berkah.
Mengapa? “Futtihat fiihi abwabul jannah” ketika pintu-pintu surga di buka oleh Allah Swt, “wa gulliqat abwabun naar” pintu-pintu neraka ditutup, “wa suffidat sayatin” dan setan-setan dibelenggu.
Sekarang, kita kembali berjumpa dengan Ramadan.
Jadi, tunggu apalagi. Inilah saatnya kita melipat gandakan setiap perbuatan kita menjadi jauh lebih berlipat ganda dibandingkan bulan-bulan lainnya. Jika melihat jauh kisah tentang para sahabat, para tabiin, para ulama, para orang tua kita terdahulu, alangkah begitu pahamnya mereka tentang kemuliaan bulan ini.
Mereka tinggalkan semua hal kecuali untuk beribadah fokus menghamba kepada Allah Swt. Atau, sebaliknya, mereka kerjakan segalanya dengan berharap ada nilai kebaikan atas apa yang mereka kerjakan.
Imam Malik bahkan meliburkan majelis ilmunya, supaya beliau fokus tilawah Alquran, fokus memanfaatkan waktu di bulan Ramadan.
Imam Syafi’i meningkatkan ibadahnya, sampai dalam satu bulan Ramadan, beliau bisa menghatamkan 60 kali khatam Alquran. Begitu pula para sahabat-sahabat yang lainnya. Begitu pula para ulama-ulama lainnya.
Kemudian kisah mereka dapat kita baca dalam kitab-kitab sejarah yang ada.
Imam Hasan al Bashri pernah mengatakan “Innallah ja’ala Ramadan mismaran li khalqih” sesungguhnya Allah Swt, telah menjadikan bulan Ramadan ini sebagai arena pertandingan bagi para hamba-hambanya.
Ya, Allah jadikan bulan Ramadan ini, hari-hari pada Ramadan, setiap waktu dalam Ramadan, adalah masa untuk bertanding, berlomba. Paling tidak, bertanding melawan keegoisan diri sendiri. Lalu siapa yang keluar menjadi pemenang?
“Yatasabaquna fiihi ila rahmatih” hamba-hambanya berlomba untuk mendapatkan rahmat Allah, “fasabaqa aqwamun fa fa’azu” mereka berlomba, mereka mencapai tujuannya, maka mereka pun menjadi orang yang beruntung, “wa takhallafa aqwamun fakhabu” sementara ada kaum, ada orang-orang yang lain, mereka bermalas-malasan pada bulan Ramadan hingga akhirnya mereka tidak mendapatkan apa-apa.
So…, mari kita berlomba. Siapa yang paling banyak tilawahnya, siapa yang paling dalam tadabburnya, siapa yang paling cepat bangun sahurnya, siapa yang paling khusyu’ tahajjudnya, siapa yang paling banyak sedekahnya, siapa yang paling banyak dzikirnya, kita berlomba.
Sebagaimana perlombaan orang-orang tua kita di Gorontalo dahulu, dengan menghidupkan malam-malam Ramadan. Sebagai malam-malam yang bergelimang dengan cahaya keilahian.
Sebagaimana kata Alquran, “Ulaa ika yusariuna fil khairat wa hum laha sabiqun” mereka itu adalah orang yang bersegera dalam kebaikan, dan mereka berlomba-lomba mendapatkan kebaikan itu.