Penulis : Azman Asgar
Bicara tentang Partai politik, secara tidak langsung kita sedang mempercakapkan masa depan politik Indonesia, ada banyak koreksi yang muncul setelah lebih dari dua dekade kita memilih jalan Demokrasi yang lebih terbuka dengan segala kelemahan dan kelebihan di dalamnya.
Sebagai pilar penyangga Demokrasi, Partai politik memiliki peran yang sangat strategis dalam menjaga siklus Demokrasi yang lebih substansial. Bahkan, peran Partai politik ikut mendorong kesadaran masyarakat dalam menentukan arah pembangunan Indonesia di masa mendatang.
Richard Marelmen mengatakan “dari semua alat yang pernah di desain oleh manusia untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya, barangkali tidak ada yang lebih ampuh dari Partai Politik”, olehnya, mendorong modernisasi Partai politik merupakan sebuah keniscayaan peradaban, agar lekas sampai pada esensi pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Seperti apa Partai Moderen itu?
Banyak referensi terkait ciri-ciri Partai moderen bisa kita jumpai di beberapa literatur maupun tulisan-tulisan ilmiah lainnya. Samuel P. Huntington misalnya, dalam buku ” Political Order in Changing Societies” Huntington menekankan pada kelembagaan Partai politik ( Political Civilization) yang ia sebut sebagai “Tertib Politik” ( Political order).
Bagi Huntington, ada 4 indikator transformasi pelembagaan Partai politik, mulai dari penyesuaian diri, otonom, kompleksitas dan persatuan. Huntington berkesimpulan bahwa stabilitas politik bisa terjadi ketika derajat partisipasi politik selaras dengan kelembagaan Politik.
Hal lainnya adalah penyesuaian Partai politik di era informasi seperti saat ini, suka atau tidak suka defenisi Partai moderen tidak bisa lepas dari kesesuaian terhadap perkembangan teknologi. Selain mempermudah akses keterlibatan publik, teknologi mampu menyampaikan platform perjuangan Partai ke semua lapisan masyarakat dalam bentuk aplikasi, youtube, website dll.
Selain kelembagaan tadi, sumber keuangan Partai menjadi hal serius untuk kita fikirkan, sebab, ini yang menjadi problem serius dalam mewujudkan Partai politik yang moderen di Indonesia, hampir semua Partai Politik yang ada di kita mendapat sokongan dana dari pihak ketiga baik yang bersifat individu maupun korporasi. Model pembiayaan seperti ini bisa berdampak buruk pada fungsi dan tujuan Partai Politik itu di bentuk, dengan sendirinya akan merusak kelembagaan Partai politik itu sendiri.
Model seperti itu tidak sepenuhnya kita permasalahkan, sebab negara memang tidak mengaturnya secara jelas dan tegas. Beda halnya dengan Partai politik di negara lain, katakanlah Turki, 80 sampai 90 persen pembiayaan Partai di biayai oleh negara, lain lagi dengan Korea Selatan, Inggris dan Negara Eropa lainnya, 70 persen pendanaan Partai diperoleh dari negara. Sistem di sana benar-benar mengatur sumber pendanaan Partai, 25 persen dari anggaran negara digunakan untuk administrasi dan kesektariatan Partai, sementara 75 persennya untuk kebutuhan pendidikan dan mobilisasi keder Partai, setiap tahun Negara bisa mengasistensi Partai yang menyalahgunakan anggaran negara, dampaknya, jika ditemukan penyelewengan, Partai politik tersebut akan mendapat pemotongan anggaran di tahun berikutnya.
Jika melihat mekanisme pendanaan Partai yang di buat di beberapa negara di atas, tidak heran banyak kebijakan-kebijakan progresif lahir dari setiap kader partai politik di sana, katakanlah kebijakan perpajakan bagi orang super kaya. Hebatnya lagi, dari riset LIPI, di Inggris, anggota parlemen yang punya saham di atas 2 persen dalam pertambangan misalnya, di larang menjadi bagian komisi ESDM, hal ini dilakukan untuk menghindari Conflict of interest, sebegitu tertibnya sistem mengatur itu semua.
Sistem di atas menjelaskan sebuah sistem yang ideal dalam mekanisme pendanaan Partai politik di era kontemporer.
Bagaimana dengan Indonesia?
Problem kita begitu kompleks, mulai dari sistem yang neolib, suburnya Oligarki, budaya Feodalisme yang masih kental menjadi satu kesatuan penghambat lahirnya Partai Politik yang moderen. Hampir semua Partai Politik kita di biayai oleh cukong perkebunan Sawit, Pertambangan dan pengusaha ekstraktif lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, bahkan lebih dari itu, bukan sekedar menjadi donatur tapi ikut dalam kontestasi di beberapa Partai-partai besar, hasilnya sudah bisa dipastikan bukan hanya suara yang bisa di beli, kebijakanpun mampu ditransaksikan sesuai kepentingan bisnis mereka.
Pemerintah mestinya harus memikirkan kembali sistem kepartaian kita, utamanya dalam hal pendanaan. Cara-cara yang dilakukan pemrintah Eropa, Korsel, Turki terhadap Partai Politiknya bisa menjadi preseden yang baik bagi keberlangsungan masa depan politik kita.
Jikakalaupun negara tidak sampai pada kebijakan merombak secara Radikal sistem pendanaan Partai, Satu-satunya langkah alternatif yang harus di tempuh adalah membangun alat politik sendiri. Banyak studi kasus di negara-negara berkembang maupun negara-negara maju yang melahirkan pemimpin yang berpihak pada rakyat dari Partai-partai yang terbilang mandiri, sebut saja Pedro Castillo dari Partai “Peru Libre” yang baru-baru ini menang dalam pemilu di Peru.
Keterlibatan penuh pelaku bisnis (ekstraktif dsb) dalam menejemen Partai Politik menjadikan Partai Politik kehilangan identitasnya ( thin ideology ), itu sebab banyak Partai Politik cenderung pragmatis dan mengalami pergeseran ideologi ( Ideology Shifting ), pada akhirnya Partai politik hanya mempunyai satu fungsi yakni “menjadi sekedar alat formal kontestasi elektoral”, fenomena ini yang membuat terpisahnya publik dari kebijakan publik, rakyat dan Partai Politik dan matinya politik programatik di Indonesia.
Lahirnya gagasan pembangunan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) merupakan sebuah usaha memodernisasi Partai Politik di Indonesia, bukan hanya sekedar tampilan Platform perjuangan, tapi sumber pendanaan, tokoh politik yang di usung sebagai ketua Umum, komposisi struktur yang mengedepankan anak muda, pendidikan kader Partai dan merangkul 99% segmentasi rakyat biasa sebagai tulang punggung perjuangan.
Memilih Agus Jabo Priyono sebagai ketua Umum bukan sekedar melihat dedikasi dan komitmennya terhadap Demokrasi, kesetaran dan kemanusiaan, tapi lebih pada usaha untuk melepaskan budaya politik patronase yang sudah mendarah daging dalam tradisi politik kita.
Setiap warga negara yang sepaham dengan platform perjuangan dan mau terlibat bersama PRIMA, mereka merupakan pemilik sah Partai, atas dasar kepemilikan inilah setiap kader dengan riang gembira dan kerja keras membangun struktur sampai ditingkatan kecamatan, desa dan kelurahan. Sementara dalam hal pendanaan, di samping menyediakan dana sumbangan publik, setiap kader, anggota dan simpatisan bergotong-royong mempersiapkan segala kebutuhan logistik yang berhubungan dengan ketentuan adminstrasi Partai Politik.
Penempatan anak-anak muda dalam jabatan strategis Partai merupakan usaha menghilangkan budaya feodalisme Partai politik yang sudah ada, sementara pendidikan kader baik di level kabupaten hingga di level grassroot yang kami sebut majelis rakyat merupakan usaha memajukan kesadaran kader dan mendorong Demokrasi yang partisipatoris di tubuh Partai, sehingga melahirkan kebijakan yang benar-benar pro terhadap rakyat. Kehadiran Partai PRIMA bukan sekedar menjadi “alat formal kontestasi elektoral”, melainkan usaha memodernisasi Partai Politik sekaligus memberi contoh keberadaan Partai Politik yang benar-benar moderen.
Azman Asgar adalah Juru Bicara PRIMA Sulawesi Tengah