Selama ini kita mengenal styrofoam atau gabus sintetis sebagai wadah pembungkus makanan pesan antar. Namun baru-baru ini pelaku industri kreatif kuliner tanah air membuat wadah pembungkus makanan yang jauh lebih ramah lingkungan, menggunakan pelepah pinang.
Diberi nama Plepah, produk industri kreatif ini dapat menjadi solusi ramah lingkungan terkait penggunaan styrofoam yang membutuhkan waktu 500 tahun untuk benar-benar terurai oleh tanah. Artinya kita turut menyumbang tumpukan sampah di Bumi saat menggunakan styrofoam.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh komunitas Plepah, kontribusi sampah styrofoam ke laut Indonesia dari 18 kota selama Januari 2018 mencapai 0,27-0,59 ton! Melihat hal tersebut, sebuah organisasi Footloose Initiative memulai riset tentang kemasan makanan ramah lingkungan yang kemudian dikenal dengan nama Plepah.
Sebagai sebuah ide kreatif, Plepah memunculkan inovasi mengolah limbah tak bernilai. Pelepah pinang yang alami dibentuk sedemikian rupa untuk menjadi wadah makanan. Wadah makanan dari pelepah pinang diolah dengan tepat sehingga tahan panas, tahan air, dan tahan minyak.
Ide kreatif ini pertama kali muncul saat Rengkuh Banyu Mahandaru, CEO Plepah sekaligus inventornya berlibur ke Wakatobi. Menurut Rengkuh, di sana ia melihat fenomena ikan paus dalam satu tahun selalu terdampar, dan ketika dibelah perutnya berisi sampah plastik.
Berangkat dari fenomena tersebut, ia bersama tim mencari solusi bagaimana menghasilkan substitusi material ramah lingkungan dan murah. Menjawab tantangan ini, salah satu solusi yang tercetus adalah menciptakan kemasan makanan berbahan alami dari pelepah pohon pinang.
Keunggulan produk industri kreatif lokal Plepah adalah masa hancur wadah pelepah pinang yang hanya 60 hari. Selain solusi ramah lingkungan hidup, produk Plepah ini juga menjadi solusi sosial dengan membuka lapangan pekerjaan baru.
Pelepah Pinang Berlimpah
Selama ini pelepah pinang dianggap sebagai limbah yang tidak bernilai dibanding buah pinangnya. Sedangkan pelepah pinang biasanya akan berakhir menjadi sampah-sampah hasil pembersihan kebun yang akhirnya dibakar.
Namun yang jarang disadari, pinang memiliki pelepah dengan tekstur kaku dan kokoh tetapi tetap ringan dibawa.
Melihat potensi inilah Rengkuh Banyu memilih pelepah pinang sebagai bahan baku yang tepat untuk pengganti styrofoam. Selain itu keunggulan pelepah pinang adalah bahan yang aman karena tidak mengontaminasi makanan.
Dalam pengoperasiannya, Plepah menggunakan skema micro manufacturing. Skema ini dipilih agar teknologi yang digunakan bisa diadaptasi oleh masyarakat pedesaan di area-area terpencil.
Selain itu, produksi Plepah juga tergolong ramah lingkungan. Karena tim Plepah menggunakan sumber listrik dari panel surya, turbin air, dan tenaga hemat daya lainnya.
Kendalanya saat ini, produk food packaging Plepah masih dijual dengan harga retail yang lumayan tinggi, yakni Rp5.000 per satuan. Harga ini terbilang jauh lebih mahal dibandingkan wadah makanan berbahan styrofoam yang hanya berkisar Rp300/satuan.
Kendati demikian, pihak Plepah berharap agar masyarakat dapat memandang inovasi ini dengan rasa empati terhadap isu lingkungan. Hingga akhirnya masyarakat mau berinvestasi langsung menggunakan produk-produk ramah lingkungan.
Kemenparekraf/Baparekraf Menyambut Baik Inovasi Plepah
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahudin Unom, dengan bangga memperkenalkan produk Plepah. Ini menjadi bentuk apresiasi pemerintah khususnya Kemenparekraf/Baparekraf, atas inovasi luar biasa pada produk industri kreatif kriya satu ini.
Menurut staf ahli Bidang Inovasi dan Kreativitas dari Kemenparekraf/Baparekraf, Joshua Puji Mulia Simanjuntak, ide Plepah ini berpotensi menyerap tenaga kerja lokal dalam jumlah besar.
“Jika dilihat dari satu daerah saja potensinya bisa dioptimalkan hingga 600 juta packaging setiap tahunnya. Kita hitung bisa menyerap mungkin sampai 80.000 tenaga kerja di satu titik,” ungkap Josua.
Harapannya, wadah makanan Plepah dapat diadaptasi di berbagai wilayah dan digunakan oleh semua kalangan. Tidak hanya itu, Rengkuh dan kawan-kawan saat ini tengah melihat potensi pengembangan material-material lain yang kerap menjadi “sampah” tak berguna di Indonesia.
Beberapa sumber daya yang kemungkinan dapat dikembangkan menjadi produk industri kreatif ramah lingkungan adalah jerami padi yang akan difokuskan di Cianjur, sorgum di Larantuka, dan kelapa di Sulawesi. (Kemenparekraf)