
PROSESNEWS.ID – Saripi bukan desa yang hingar. Ia tidak tumbuh dari hiruk-pikuk pembangunan, tidak juga dari gemerlap proyek-proyek negara. Tapi dari ladang yang sabar dipangkas parang, dari tanah merah yang ditanami jagung, dan dari kebun kelapa yang dirawat turun-temurun. Kami hidup dari yang sederhana, dan dari sana pula kami belajar tentang makna cukup.
Saripi berada di Kecamatan Paguyaman, Kabupaten Boalemo. Di sinilah tempat saya lahir, tumbuh, dan memahami bahwa desa bukan sekadar ruang tinggal—tetapi ruang batin. Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, desa ini pelan-pelan terbenam dalam ketegangan yang tidak ia pilih sendiri.
Kasus dugaan korupsi yang pernah mencuat di pemerintahan desa adalah pukulan pertama. Bukan karena uang yang hilang semata, tapi karena kepercayaan yang ikut runtuh. Di desa seperti Saripi, kepercayaan itu bukan hanya nilai moral—tapi fondasi hidup bersama. Ketika ia rusak, yang patah bukan hanya struktur, tapi juga rasa percaya antarwarga.
Belum usai luka itu, Saripi kembali disebut—kali ini karena isu tambang ilegal yang mencuat di sekitar wilayahnya. Aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) jadi bahan pembicaraan, mengalir dari media sosial ke ruang-ruang obrolan warga.
Benar, masyarakat Saripi mungkin tidak sepenuhnya bergantung pada tambang. Tapi dalam keterbatasan pilihan ekonomi, sebagian memilih diam, sebagian lagi terdorong untuk terlibat. Bukan semata karena serakah, tapi karena hidup sehari-hari kadang lebih rumit dari sekadar benar dan salah.
Sementara itu, pengangguran terus mengintai. Data Dinas Ketenagakerjaan Boalemo (2023) mencatat angka pengangguran muda yang cukup tinggi. Tapi statistik tidak selalu bisa menjelaskan kenyataan. Pengangguran di Saripi adalah remaja yang berhenti sekolah karena biaya. Adalah pemuda yang menunggu pekerjaan yang tak kunjung datang. Adalah ketidakpastian yang mengendap dalam rumah-rumah sederhana.
Namun, satu hal yang tetap terasa kuat di desa ini adalah daya tahan.
Warga Saripi, meski sering kali dilupakan dalam program besar pembangunan, tetap menjalani hari dengan cara yang nyaris tak berubah. Bertani, berdagang kecil, bergotong-royong, dan berharap anak-anak bisa hidup lebih baik dari orang tuanya.
Potensi Saripi masih ada—pada tanahnya, pada manusianya, pada semangat warganya. Tapi desa seperti ini butuh ruang untuk bersuara. Bukan untuk meminta lebih, tapi untuk menyatakan: kami ada. Kami tahu. Kami tidak ingin diseret dalam narasi buruk hanya karena segelintir yang memilih jalan pintas. Kami ingin dikenal karena kekuatan bertahan, bukan karena luka yang terus dibicarakan.
“Mereka yang diajari untuk diam, pada akhirnya akan belajar untuk bersuara.”
— Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed
Masyarakat Saripi bukan tidak tahu. Mereka menyimpan banyak dalam diam, tapi mereka juga belajar. Suatu saat nanti, suara dari desa kecil ini tak hanya akan terdengar—tapi didengar.
Saripi bukan desa yang dikenal luas didaerah, apalagi menjadi prioritas proyek pembangunan keberlanjutan. Tapi ia tidak kehilangan martabatnya. Dan bagi kami yang lahir dari tanahnya, itu cukup untuk terus percaya bahwa desa kecil pun punya hak untuk menentukan masa depannya sendiri.













