PROSESNEWS.ID – Angka penderita tengkes (stunting) di Provinsi Gorontalo tahun 2022 berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) di angka 23,8 persen. Jumlah itu masih jauh dari target nasional yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo sebesar 14 persen tahun 2024.
Menyadari kondisi tersebut, Penjabat Gubernur Gorontalo Ismail Pakaya menggelar rapat koordinasi lintas OPD yang berlangsung di Aula Rumah Dinas Gubernur, Selasa (29/8/2023). Waktu 107 hari masa jabatannya sebagai Penjabat Gubernur membuat Ismail sudah bisa menganalisis apa dan bagaimana caranya persoalan tengkes di Gorontalo bisa ditekan serendah mungkin.
Pertama dan utama menyangkut data penderita gizi kurang di Gorontalo. Ismail menilai Survei SSGI yang menempatkan Gorontalo di angka 23,8 persen tidak punya basis data yang memadai. Jumlah penderita, lengkap dengan nama dan alamatnya tidak dikantongi pemprov maupun pemerintah kabupaten/kota sehingga sulit untuk diintervensi secara real.
Di sisi lain, sejak dua bulan terakhir pihaknya meminta Dinas Kesehatan bekerjasama sampai ke Puskesmas untuk memutakhirkan data Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM). Data ini dinilai lebih akurat karena menyertakan nama dan alamat yang diinput berdasarkan hasil pemeriksaan dan timbang badan di tiap Puskesmas. Hasilnya hingga akhir Agustus 2023 didapati ada 4.545 anak penderita tengkes di Gorontalo.
“Pak Kepala Bapppeda, Pak Kadis Kesehatan, Pak Kadis Pangan, Pak Kadis Sosial tolong duduk bersama bahas data yang 4.545 orang ini. Siapa namanya, di mana alamatnya dan nanti kita bekerja keroyokan keluarkan mereka dari stunting. Saya belum ingin rapat dengan kabupaten/kota dan pihak terkait kalau persoalan data kita saja tidak jelas. Kita tidak tahu mau pakai data apa,” beber Ismail Pakaya.
Ia ingin hingga akhir Desember 2023 semua OPD fokus pada data tengkes 4.545 orang versi e-PPBGM. Iya meyakini jika jumlah ini berhasil ditekan maka secara otomatis survei SSGI tahun 2024 bisa lebih baik dari tahun ini (yang masih dalam tahap survei hingga akhir Oktober 2023).
Jurus berikutnya yakni mengintegrasikan semua program kerja OPD di pertengahan tahun ini untuk mengintervensi 4.545 penderita tengkes dan keluarganya. Caranya, ia minta OPD terkait mengintegrasikan nama dan alamat penderita tengkes dengan keluarganya yang masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). DTKS dan data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrim (P3KE) menjadi penting karena jadi acuan OPD untuk mengintervensi program.
“Selama ini semua OPD pakai DTKS untuk mengucurkan bantuan ya kan? Nah sekarang dibalik polanya. Penderita tengkes yang 4.545 dicari keluarganya apa masuk di DTKS atau tidak? Yang masuk di DTKS silahkan diintervensi bantuan, yang tidak masuk DTKS tapi anaknya stunting itu akan diintervensi oleh PKK, Baznas dan lain lain supaya tidak saling tabrakan bantuannya,” tegas Ismail.
“Seluruh program yang belum terealisasi di OPD-OPD saya minta menyasar di jumlah yang tadi, pak Kadis Kesehatan siapkan datanya. Kalau misalnya sudah dalam proses, ganti orangnya. Pak Kadis Pangan saya tugaskan untuk ini yaa, karena Bapppeda itu terlalu banyak dokumen yang harus diselesaikan,” imbuhnya.
Langkah terakhir yang tidak kalah penting, yakni berbagi peran dengan pemerintah kabupaten/kota. Jumlah 4.545 orang harus dibagi habis antara pemprov dengan pemkab/pemkot. Setiap Pemda menjadi semacam pengasuh bayi tengkes lengkap dengan laporan jumlahnya dan progres timbang badan setiap bulannya.
Selain asupan gizi yang baik melalui penyediaan multivitamin dan makanan bergizi, kebutuhan keluarga penderita tengkes menjadi tanggungjawab OPD lain. Ismail mencontohkan, kebutuhan sanitasi menjadi tanggungjawab Dinas PUPR-PKP.
“Jangan-jangan keluarga yang ada anak stunting itu tidak ingin jadi pengusaha, nah kalau dia tidak ingin jadi pengusaha kemudian dikasih bantuan UMKM oleh Diskumperindag, ya untuk apa kan tidak berguna? Dia justru butuh jamban tapi tidak diberi oleh Dinas PUPR-PKP ya percuma juga. Jadi tolong bantuannya terintegrasi,” pinta Staf Ahli Menaker RI Bidang Sosial, Politik dan Kebijakan Publik.
Dari rapat tersebut ada sejumlah program kegiatan yang bisa diarahkan untuk menekan angka stunting, selain tentunya program Dinas Kesehatan sebagai OPD teknis utama yang menanganinya.
Dinas Kelautan dan Perikanan, misalnya. Setiap tahun menganggarkan bantuan ikan tuna bagi 119 bayi penderita stunting. Program ini diintegrasikan dengan program TP PKK yang aktif turun mendampingi keluarga hingga ke tingkat desa.
“Saya kira yang menjadi arahan Pak Gubernur tadi sangat baik. Datanya harus satu dan fokus. Ke depan kita akan menyesuaikan dengan data Dinas Kesehatan untuk mengambil peran dalam hal bantuan ikan. Kalau bantuan multivitamin, telur dan lain lain sudah ada, kami fokus di ikan dengan protein yang tinggi,” jelas Sila.
Dinas Pangan mengambil bagian melalui bantuan bahan makanan Bermutu Bergizi Seimbang dan Aman (B2SA). Program ini menyasar 225 anak tengkes di Gorontalo.
Selanjutnya ada Dinas Sosial melalui program Bantuan Langsung Pangan Pemerintah Provinsi Gorontalo (BLP3G). Bantuan ini lebih spesifik menyasar keluarga miskin sebagai stimulan meringankan beban warga.
Dinas PUPR-PKP lebih fokus pada penyediaan air bersih dan sanitasi. Termasuk program penataan kawasan pemukiman kumuh dan penyediaan infrastruktur dasar warga. Dinas Kumperindag berkontribusi melalui pembinaan dan bantuan bagi pelaku UMKM.