PROSESNEWS.ID – Penetapan tersangka oleh Kajaksaan Tinggi Gorontalo, terhadap empat orang yang dinilai terlibat langsung dalam pembangunan jalan Gorontalo Outer Ring Road (GORR) tahun 2014-2017. Akan rawan pra peradilan.
Menurut pengacara kondang Salahudin Pakaya, penetapan tersangka harus benar-benar terpenuhi formil dan materil. “Formilnya adalah undang-undang materil kerugian negara yaitu perbuatan melawan hukum. Sehingga terjadi kerugian negara,” urainya.
Dengan begitu, jika penetapan tersangka hanya berdasarkan perhitungan kerugian negara dari lembaga yang tidak berkompoten seperti BPK. Maka secara materil penetapan tersangka batal demi hukum.
“Penetapan tersangka terhadap empat orang itu, nantinya akan berpotensi pra peradilan. Karena penetapan tersangkannya prematur,” tegasnya.
Karena sudah sangat jelas diatur dalam Peraturan perundang-undangan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006. Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”).
Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang dan menilai atau menetapkan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah BPK dan BPKP.
Lebih lanjut kata Salahudin, tersangka kasus korupsi itu merupakan perbuatan yang terbukti salah. Sehingga proses untuk menetapkan tersangaka terhadap sesoorang, juga harus jelas.
“Jangan hanya berdasarkan perhitungan lembaga yang tidak berwenang. Dengan serta merta menetapkan tersangka. Karena akibatnya rawan pra peradilan,” tuturnya.
Berbeda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tanpa audit pun bisa menetapkan tersangka. Namun kata Salahudin, KPK sudah diatur dalam Undang-Undang. Berbeda dengan penyidik Kejaksaan dan Polri.
“Penyidik Polri dan Kejaksaan, diatur dalam KUHP serta putusan MK. Maka sangat jelas berbeda dengan KPK,” beber dia.
Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 mencabut frasa “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Putusan MK ini menafsirkan bahwa frasa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss) bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara (potential loss).
Terdapat empat tolok ukur yang menjadi ratio legis MK menggeser makna subtansi terhadap delik korupsi. Keempat tolok ukur tersebut adalah nebis in idem dengan Putusan MK yang terdahulu yakni Putusan MK Nomor 003/PUU- IV/2006, munculnya ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dalam delik korupsi formiil.
Sehingga diubah menjadi delik materiil, relasi/harmonisasi antara frasa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam pendekatan pidana pada UU Tipikor dengan pendekatan administratif pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Administrasi Pemerintahan dan adanya dugaan kriminalisasi dari Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan menggunakan frasa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam UU Tipikor. (Hel)