PROSESNEWS.ID – Di balik gemerlap kemajuan dan pembangunan Indonesia, masih tersembunyi realitas kelam yang mencengkeram anak-anak bangsa. Fenomena pekerja anak, di mana anak-anak di bawah usia 18 tahun dipaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, masih menjadi isu yang mengakar di berbagai daerah. Kasus ini tak hanya melanggar hak-hak fundamental anak, tetapi juga menghambat masa depan bangsa.
Sangat miris, Gorontalo yang terkenal dengan daerah Serambi Madinah masuk dalam urutan ke dua provinsi dengan pekerja anak tertinggi di Indonesia. Menurut data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah persentase pekerja anak yang berusia 10-17 tahun di Indonesia, angkanya mencapai 2,39 persen pada 2023.
Angka ini lebih rendah dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya dengan sebesar 2,44 persen tahun 2022 dan 2,64 persen tahun 2021. BPS mengatakan dalam keterangannya, jika diurutkan berdasarkan wilayah di Indonesia. Provinsi Sulawesi Barat berada pada posisi pertama dengan persentase pekerja anak tertinggi di Indonesia pada tahun 2023 yakni di angka 5,61 persen. Sedangkan Provinsi Gorontalo berada pada posisi kedua dikarenakan memiliki persentase pekerja anak sebesar 5,37 persen.
Hal ini sangatlah memprihatinkan bagi daerah kita tercinta, di mana daerah hanya terfokus memikirkan pembangunan daerah namun seakan lupa membangun generasi emas, tentunya hal ini tidak sejalan dengan visi Indonesia emas 2045. Karena sangat bertolak belakang dengan keadaan anak-anak yang ada di daerah khususnya yang ada di Gorontalo.
Ketika kita kaji masalah ini dengan analisis sosiologi, maka sosiologi akan dapat membantu kita memahami akar penyebab dan dampak pekerja anak di Gorontalo. Faktor utama yang mendorong anak-anak turun ke jalan untuk mencari nafkah adalah kemiskinan ekstrem. Keluarga miskin di Gorontalo terpaksa melibatkan anak-anak dalam pekerjaan, seperti bertani, melaut, atau berdagang kecil-kecilan, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Teori struktural fungsionalisme menjelaskan bahwa struktur sosial, seperti kemiskinan, norma budaya, dan sistem pendidikan, berkontribusi pada fenomena pekerja anak. Kemiskinan memaksa keluarga untuk memprioritaskan kebutuhan ekonomi daripada pendidikan anak. Kurangnya akses terhadap pendidikan berkualitas, terutama di daerah pedesaan, membuat anak-anak tidak memiliki pilihan lain selain bekerja.
Teori konflik menunjukkan bahwa ketidaksetaraan struktural antara kelas sosial juga berperan dalam pekerja anak. Anak-anak dari keluarga miskin dan marginal lebih rentan untuk dieksploitasi dan dipaksa bekerja. Sistem ekonomi yang menindas dan kurangnya perlindungan bagi pekerja anak memperburuk situasi.
Dampak pekerja anak tak hanya merenggut masa kecil dan hak-hak pendidikan mereka, tetapi juga membahayakan kesehatan fisik dan mental mereka. Anak-anak yang bekerja rentan terhadap eksploitasi, pelecehan, dan berbagai penyakit. Kehilangan masa bermain dan belajar berakibat pada perkembangan kognitif, sosial, dan emosional yang terhambat.
Masa depan Gorontalo terancam jika pekerja anak tidak ditangani secara serius. Generasi muda yang seharusnya menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dan produktif terhambat perkembangannya. Hal ini dapat berakibat pada keterampilan yang rendah, produktivitas yang rendah, dan kemiskinan antargenerasi.
Pekerja anak adalah pelanggaran hak asasi manusia dan harus dihapuskan. Perlunya upaya kolektifitas dari berbagai pihak untuk mengatasi masalah ini. Misalnya, dari pemerintah harus meningkatkan program pengentasan kemiskinan, memperluas akses pendidikan berkualitas, memperkuat penegakan hukum terhadap eksploitasi anak, dan meningkatkan edukasi public tentang hak-hak anak. Selain itu dari Masyarakat juga harus menerapkan norma dan budaya yang menghargai pendidikan dan melindungi anak-anak dari eksploitasi. Dunia usaha juga harus melaksanakan praktik bisnis yang etis dan bertanggung jawab, termasuk memastikan tidak mempekerjakan anak di bawah umur. Serta organisasi masyarakat sipil harus bekerja sama dengan pemerintah dan komunitas dalam program edukasi, advokasi, dan rehabilitas bagi anak-anak yang bekerja.
Dengan kerja sama dari berbagai pihak, kita dapat menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang, bebas dari eksploitasi dan pelanggaran hak-hak mereka.