PROSESNEWS.ID – Pada momentum Qurban (dalam konteks keseharian adalah memotong hewan qurban/mongoloto) ada berbagai kata kunci ; keikhlasan, pengorbanan, takzim, penghormatan, kepemilikan, merasa diri, buruk sangka, tidak sabaran, ketaatan dan sikap bertahan.
Jika pada era Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, bagaimana praktek dari kata-kata kunci diatas berhubungan langsung dengan Allah. Walaupun pada ujungnya simbolik, tapi untuk sesuatu yang simbolik ada perjuangan untuk mengorbankan sifat merasa memiliki, sifat buruk sangka dan tidak sabaran atas ketetapanNya, hingga ketaatan dan terus bertahan atasNya.
Maka pada era kekinian bagaimana menempatkan kata-kata kunci diatas? Melalui apa, siapa, bagaimana serta kapan “perintah” berkurban tersebut diterjemahkan? Hanya sekedar memotong hewan qurban kah? Hanya berhaji kah? Kalau sekedar berkurban dan berhaji, bagaimana dengan orang-orang yang tak memiliki apapun?
Dalam perspektif Gorontalo, ada tiga kata yang sesuai : mongoloto (memotong), mongotongo (membatasi) dan mongotolo (menahan). Tiga kata tersebut menjadi kontekstual dengan kondisi kekinian, apakah memotong sifat-sifat hewani dalam diri, ataukah menahan diri dari sifat hewani yang liar, hingga membatasi diri dari batas-batas perilaku dan pola pikir yang melampaui batas-batas kemanusiaan dalam hal ini memasuki sifat hewani.
Jadi, manusia Gorontalo sebagian besar memiliki feeling (pongorasa) bagaimana menempatkan diri untuk mongoloto, mongotolo, mongotogo. Ia tahu bagaimana tidak buruk sangka pada hal yang tidak ketahui (apalagi jika hanya mendengar dari mulut orang lain). Ia tidak merasa diri dengan apa yang hanya dipinjamkan padanya, apakah itu jabatan, pengetahuan, gelar dan jabatan (bulo-buloto), hingga apalagi ia tidak akan merendahkan martabat orang lain, dalam pandangan matanya yang minimal itu.
Hikmah qurban adalah bulo-buloto (dipinjamkan), jika mulai ada perasaan motolo Wa’u atau Haku (merasa diri/merasa hak) maka akan mengalami tiga hal : oloto liyo (akan dipotongNya), otongo liyo (akan dibatasiNya) dan hingga meloto’o (tercebur/terjerembab/terhina).
Pada arah manakah manusia Gorontalo menuju? Semua akan menuju pilihan dan takdir masing-masing, tetapi yang kita harus berdoa dan berusaha agar tidak dijadikan contoh bagi manusia yang lain dalam oloto Liyo, otongo Liyo hingga popolotoiyo.