Sepenggal pulau, tak jauh dari Jembatan Ampera, menyimpan sebuah kisah romantis. Pulau itu juga menjadi titik pertahanan
Musi adalah batang atau aliran sungai sepanjang 750 kilometer yang membelah Kota Palembang menjadi dua sisi, yaitu Seberang Ulu dan Seberang Ilir.
Pada beberapa bagian Musi, terutama menjelang muara ke Selat Bangka, Laut Natuna Utara, terdapat delta di tengah sungai. Delta merupakan endapan lumpur atau sedimen yang terbentuk dari pertemuan dua arus sungai yang salah satunya memiliki aliran lebih lemah.
Salah satu delta terkenal di aliran Musi adalah Pulau Kemaro, sebuah daratan seluas 79 hektare di pertemuan dua arus, Musi dan Sungai Gerong. Pulau ini lokasinya ada di Kelurahan 1 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II.
Dengan daratan seluas itu, terdapat beragam industri di sekelilingnya, termasuk kehadiran dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pabrik milik PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) serta kilang pengolahan minyak (refinery) PT Pertamina di Plaju dan Sungai Gerong.
Pulau Kemaro, salah satu titik terlebar dari Sungai Musi, yakni selebar 1.350 meter, merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah masa lampau Kota Palembang. Pulau subur berpenduduk sekitar 40 kepala keluarga itu adalah titik pertahanan penting bagi Kesultanan Palembang Darussalam di awal abad ke-19.
Meski ketinggian daratannya rata-rata hanya lima meter dari permukaan air, pulau mungil ini jarang tergenang saat Musi sedang pasang. Oleh karena itu, masyarakat sekitar sejak lama menamainya sebagai Pulau Kemaro, berasal dari kata ‘kemarau’ karena pulau ini selalu terlihat kering.
Atas dasar itu pula Sultan Mahmud Badaruddin II yang memerintah Kesultanan Palembang Darussalam pada 1803-1821 membangun Benteng Tambak Bayo di Kemaro. Pembangunannya bersamaan dengan berdirinya Benteng Keraton Kuto Besak, sebagai pertahanan utama untuk melindungi isi kota pempek itu.
Seperti dikutip dari buku Perang Palembang 1819-1821 karya Djohan Hanafiah terbitan 1986, Benteng Tambak Bayo dan Benteng Kuto Besak mampu menjalankan fungsi pada Perang Palembang I tahun 1819. Ratusan prajurit kesultanan di benteng-benteng tersebut sukses memukul mundur pasukan kolonial Belanda pimpinan Laksamana JC Wolterbeck dari tanah Palembang.
Namun dua tahun kemudian, tepatnya pada 8 Mei 1821, sebuah ekspedisi berkekuatan hampir 40 kapal perang dipimpin Mayor Jenderal Hendrik Markus Baron de Kock kembali berlayar menuju Palembang. Tujuan mereka hanya satu, ingin menguasai kota yang kini menjadi pusat Provinsi Sumatra Selatan tersebut.
Lewat pertempuran sengit selama sebulan, pada 24 Juni 1821, Mayjen de Kock bersama Kapten van der Wijck akhirnya menguasai Palembang. Benteng-benteng Kesultanan Palembang Darussalam pun dihancurkan, termasuk Tambak Bayo.
Legenda Pulau Jodoh
Saat ini, tak ada lagi sisa-sisa bangunan Benteng Tambak Bayo di Pulau Kemaro dan tergantikan oleh kehadiran Klenteng Hok Tjing Rio atau lebih dikenal sebagai Klenteng Kuan Im yang dibangun pada 1962.
Sebuah pagoda berlantai sembilan karya arsitek Aliong menjulang setinggi 45 meter juga turut dibangun pada 2006. Ada juga Buddha Tertawa, patung besar bercorak emas setinggi lima meter dengan pose berdiri, sedang tertawa lebar, sambil memperlihatkan bagian perut yang membusung.
Kehadiran Klenteng Kuan Im dan Pagoda China, demikian warga menyebutnya, melengkapi pulau itu sebagai salah satu pusat persembahyangan umat Buddha di Kota Palembang. Tak hanya sebagai tempat peribadatan, Kemaro juga menjadi salah satu tujuan wisata warga Palembang dan sekitarnya.
Beragam jenis kapal seperti perahu kayu atau perahu cepat (speed boat) siap mengantar pengunjung dari dermaga wisata Benteng Kuto Besak, dekat Jembatan Ampera, menuju Kemaro. Perjalanan sejauh enam kilometer itu memakan waktu sekitar 10-20 menit.
Seorang pengurus Yayasan Toa Pekong Pulau Kemaro yang bernama Burhan mengatakan, terdapat sebuah legenda dari cerita rakyat di masa lampau mengenai terbentuknya pulau ini. Cerita legenda Pulau Kemaro juga tertulis pada sebuah prasasti di salah satu sudut pulau. Kisahnya mirip Sam Pek Eng Tay atau Romeo dan Juliet.
Tersebutlah Tan Bun An, seorang pangeran dari tanah Tiongkok yang berniaga hingga ke Palembang dan menjalin kasih dengan Siti Fatimah, putri bangsawan setempat. Dengan izin orang tua Siti Fatimah, pangeran pun mengajak pujaan hatinya bertemu keluarganya di Tiongkok.
Sekembalinya ke Palembang, keduanya dibekali tujuh guci yang ternyata berisi sawi-sawi asin. Tan yang kecewa karena semula mengira isinya adalah emas, kemudian membuang guci di aliran Musi dekat muara sungai.
Ketika akan membuang guci terakhir, benda itu kemudian terjatuh di dek kapal dan pecah. Isinya pun berhamburan berupa perhiasan dan logam emas dalam jumlah banyak diselimuti sawi-sawi asin tadi. Rupanya sayuran tadi hanya sebagai pengecoh agar perhiasan emas itu aman dan tidak dirampok selama perjalanan.
Tan pun terkejut dan tanpa pikir panjang langsung terjun ke dalam aliran sungai bersama pengawalnya untuk mengambil guci-guci yang telah ia buang. Namun, keduanya tak muncul, dan membuat putri cemas. Siti Fatimah pun akhirnya memutuskan ikut terjun ke aliran sungai mencari kekasihnya sambil berucap jika ada tanah muncul di permukaan Musi, maka itu adalah makam mereka.
Bersamaan dengan itu muncul Pulau Kemaro di mana pada salah satu sudutnya terdapat batu mirip bongpai (nisan) kecil dengan tiga altar kayu. Di bawah altar terdapat daun-daun kering membentuk tiga gundukan yang dikawal oleh empat Kilin, binatang dalam mitologi Tiongkok. Gundukan tadi dipercaya masyarakat sebagai makam putri raja, pangeran Tiongkok, dan seorang pengawalnya.
Pulau ini akan sangat ramai jika perayaan Cap Go Meh tiba. Ribuan warga Tionghoa dari sejumlah kota di Sumatra dan luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Hong Kong, dan bahkan Tiongkok berduyun-duyun menuju Kemaro. Cap Go Meh digelar pada hari ke-15 dari perayaan Tahun Baru Imlek.
Selain bersembahyang, mereka juga mengadakan berbagai acara kesenian seperti melepaskan ribuan lampion, makan bersama, menggelar kesenian barongsai, dan wayang potehi.
Di antara puluhan ribu umat itu, terselip juga permohonan doa agar bisa menemukan jodohnya. Sebuah pohon besar jenis beringin (Ficus benjamina) berusia hampir 100 tahun pun ikut dijadikan sarana penyampaian keinginan berjodoh atau melanggengkan sebuah hubungan.
Semula di sekujur batang Pohon Cinta, begitu namanya diberikan oleh pengunjung, terukir beragam tulisan tangan dari pengunjung pulau yang membawa kekasihnya. Isi coretan itu berupa harapan agar hubungan mereka bisa berlanjut hingga ke pelaminan.
“Tetapi kami terpaksa membangun pagar untuk melindungi kelestarian pohon ini agar tidak makin rusak oleh coretan-coretan pengunjung,” kata pengelola Pulau Kemaro, Tjik Harun.
Tertarik berkunjung ke Pulau Kemaro? Jangan lupa untuk selalu melaksanakan protokol kesehatan dengan memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menjaga jarak, dan jauhi kerumunan. Semua itu demi terhindar dari penularan virus Covid-19.
Penulis : Anton Setiawan Editor : Firman Hidranto/ Elvira Inda Sari Redaktur Bahasa : Ratna Nuraini