“Pembiasaan membaca dan menulis selama 3-4 tahun tentu akan sangat menentukan kebiasaan mereka ketika duduk di jenjang- jenjang berikutnya (SMP, SMA, dan perguruan tinggi).”
Sungguh menarik tulisan Rani Oktaviyani ”Mengaribkan Sastra dengan Anak” di rubrik Wacana Suara Merdeka (12/7/2021). Sambil membeberkan di bumi Nusantara ini bergelimang karya sastra yang mengandung jutaan makna, Rani memberikan jalan agar anakanak akrab dengan sastra, hendaknya orang tua dan guru memulai membangun budaya baca, kemudian meminta dan mendampingi mereka untuk menulis cerita.
Saya sangat setuju dan memang seharusnya begitu, jika diharapkan kelak anak-anak kita menjadi generasi yang memiliki imajinasi kuat, kreatif, cerdas, dan berkarakter.
Tentu saja hal itu tidak mudah. Tetapi juga tidak berarti tidak dapat dilakukan. Tidak mudah, karena banyak hal.
Siapakah atau berapakah orang tua yang telah benar-benar sadar akan pentingnya budaya baca?
Mungkin tak masalah bagi orang tua yang terdidik secara budaya. Tetapi bagaimana orang tua yang selalu berdalih tak punya waktu, tidak semata soal ekonomi tapi juga soal lain?
Jangankan sekadar membeli atau menyediakan pojok rumahnya untuk perpus mini, membaca buku pun mungkin tak sempat dilakukan.
Belum lagi orang tua yang tinggal di pinggiran kota, desa-desa, dan daerah terpencil. Tentu ini tidak semua, tetapi saya yakin jumlahnya sangat banyak. Lalu siapa yang harus memikul tanggung jawab ini?
Terkecuali orang tua yang telah terdidik secara budaya (baca), sosok yang paling bisa diharapkan adalah guru, terutama guru SD.
Mengapa? Sebab guru SD adalah guru kelas, guru serba bisa, guru yang sehari-hari menyampaikan seluruh mata pelajaran di kelas yang sama. Mengapa harus di tingkat SD?
Sebab anak-anak usia SD-lah yang memiliki peluang lebih besar untuk bisa dibentuk, diasuh, dan diarahkan sesuai dengan tujuan. Para ahli psikologi anak mengatakan bahwa anak usia 6-8 tahun sudah mulai bisa berpikir dan menyusun rencana, dan setiap menemukan hal baru, terbit di kepalanya ribuan pertanyaan yang ingin mereka jawab.Sementara anak usia 9-11 tahun sudah mulai berpikir logis, memiliki rasa ingin tahu yang natural tentang lingkungan sekitar, dan mereka berkeinginan kuat untuk berpartisipasi pada berbagai kegiatan/aktivitas tertentu.
Nah, pada masa-masa perkembangan inilah selama 6 tahun guru memiliki waktu yang cukup untuk membawa mereka ke habituasi tertentu, tidak terkecuali membaca dan menulis.
Kendala mungkin terjadi pada kelas awal (1-2) sehingga kerja intensif pembiasaan dapat dilakukan mulai kelas 3. Pembiasaan membaca dan menulis selama 3-4 tahun tentu akan sangat menentukan kebiasaan mereka ketika duduk di jenjang-jenjang berikutnya (SMP, SMA, dan perguruan tinggi). Namun, bagaimanakah caranya?
Lagi-lagi itu tidak mudah, tapi juga tidak sulit jika ada niat kuat dan sinergi khusus seluruh sivitas, termasuk komite sekolah. Di satu sisi memang guru dibebani banyak tugas, selain tugas keluarga juga tugas administrasi.
Tetapi mengingat ini adalah wujud tanggung jawab demi generasi masa depan, alasan apa pun boleh diajukan, tetapi tugas mulia ini layak bahkan wajib ditunaikan.
Wajib Baca Buku
Berkaitan dengan hal ini kita bolehlah mengambil contoh praktik baik yang telah dilakukan sebuah sekolah di Jakarta.
Ceritanya begini. Lebih 15 tahun lalu, suatu hari seorang kawan (seniman) berkunjung ke sebuah sekolah. Saat diajak masuk ke satu ruang kelas (3 SD), ia ternganga melihat rak-rak di tembok kanan-kiri penuh buku.
Ketika ditanya, pengelola sekolah menjawab bahwa sebagian dari buku-buku itu adalah hasil karya siswa kelas itu.
Bagaimana mungkin itu terjadi? Kenapa tidak, katanya. Sebab, setiap hari, anak-anak diberi tugas.
Mereka wajib membaca 15 menit sebelum pelajaran pagi dimulai, dan itu diulang lagi 15 menit setelah pelajaran sore usai. Sementara, 30 menit pada siang hari mereka diwajibkan menulis.
Menulis apa saja dan membaca buku apa saja selain buku pelajaran yang tersedia di kelas itu. Ada buku puisi, cerpen, dongeng, cerita anak, novel, kisah-kisah sukses, dan sebagainya, dalam berbagai bahasa.
Dan kewajiban membaca dan menulis itu tidak berkaitan dengan ada atau tidak pelajaran bahasa. Berkat kebiasaan itulah, katanya, rata-rata dalam setahun anak-anak bisa tuntas membaca 100- 120 bacaan (buku) dengan ketebalan yang bervariasi; dan setiap anak juga berhasil menulis 80-100 karangan, panjang dan pendek. Semua hasil karangan sengaja dikumpulkan dan dijilid oleh petugas khusus, kemudian dipajang di rak kelas agar bisa dibaca yang lain.
Memang, katanya, setiap kelas diampu dua guru dan 1 petugas yang mengurusi hasil kerja siswa.
Dan jumlah siswa di setiap kelas juga tidak lebih dari 15 anak. Katanya pula, kebiasaan baca-tulis di kelas akhirnya juga menjadi kebiasaan di rumah.
Praktik baik tersebut menjelaskan bahwa sesungguhnya sebuah tradisi dapatlah diciptakan, termasuk tradisi gemar membaca dan menulis. Tradisi itu dapat dibangkitkan melalui upaya rutin yang terprogram dengan dukungan seluruh insan pendidikan (kepala sekolah, guru, dan tendik lainnya). Dapat dibayangkan betapa kelak, 20 tahun kemudian, anak-anak yang telah kreatif dan produktif sejak SD itu akan menjadi anak yang brilian.
Hanya sayangnya, praktik baik tersebut terjadi di sebuah sekolah internasional yang muridmuridnya adalah anak-anak warga negara asing yang kebetulan sedang berdomisili (bertugas atau berbisnis) di Indonesia. Lhadalah…!!! Mungkinkah hal ini diterapkan di sekolah-sekolah kita? Mungkin.
Dan ini menjadi PR panjang bagi insan pendidikan kita. Barangkali dapat dimulai oleh sekolah yang memiliki sarana (infrastruktur) yang relatif lengkap dan kuat.
Bolehlah tidak persis sama dengan praktik baik tadi, tetapi setidak-tidaknya dapat diadopsi sebagian cara dan strateginya; tidak hanya oleh sekolah, tetapi bisa juga oleh orang tua di rumah.
Berkaitan dengan peningkatan literasi baca-tulis, sebenarnya Permendikbud 23/ 2015 telah mewajibkan siswa setiap hari membaca 15 menit sebelum berkegiatan belajar. Tapi sayang ini belum terasa hasilnya akibat minat baca-tulis tidak menjadi bagian prioritas utama, sehingga banyak sekolah tidak mempraktikkannya.
Lalu, apakah hari ini sebenarnya kita masih bermimpi, bagai pungguk merindukan bulan? Entahlah. Barangkali impian Pramoedya bahwa ”sejarah hidup manusia sangat ditentukan oleh karya-(tulis)-nya.” masih tetap sebatas impian.(37)
—Dr Tirto Suwondo MHum, Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah periode Juli 2017—Agustus 2020, sekarang peneliti pada Balai Bahasa Provinsi DIY.
Sumber : Suaramerdeka.com
PROSESNEWS.ID - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Gorontalo akan memulai pendistribusian logistik lebih awal untuk…
PROSESNEWS.ID - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Gorontalo memetakan potensi kerawanan di Tempat Pemungutan…
PROSESNEWS.ID – Hasil survei terbaru mengenai preferensi pemilih dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Gorontalo 2024 menunjukkan bahwa…
PROSESNEWS.ID - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pohuwato menggandeng Aparatur Sipil Negara (ASN), termasuk para camat…
PROSESNEWS.ID - Seleksi terbuka untuk pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Gorontalo…
PROSESNEWS.ID, BOALEMO - Ketua Komisi 1 DPRD Kabupaten Boalemo Helmi Rasid, mengaku kecewa dan merasa…