
Oleh : Gunawan Rasid
PROSESNEWS.ID – Polemik dana Rp 100 juta dari pos Dinas Pariwisata Provinsi Gorontalo untuk penyelenggaraan IMI Fest kembali memantik perdebatan di ruang publik. Tuduhan bahwa penggunaan dana tersebut melenceng dari peruntukan, bahkan berpotensi korupsi, menjadi headline sejumlah media. Namun, sebelum tergesa-gesa menarik kesimpulan, ada baiknya kita menelusuri duduk perkara ini secara jernih.
Pertama, mari kita luruskan perspektif. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan mengakui bahwa pariwisata mencakup berbagai bentuk kegiatan, termasuk olahraga yang mampu menarik kunjungan wisatawan. Istilah sport tourism bukan jargon kosong. Ia sudah menjadi strategi pengembangan destinasi di berbagai daerah, dari event balap di Mandalika hingga lomba perahu naga di Kalimantan. Event otomotif seperti IMI Fest masuk dalam kategori ini.
Mengaitkan IMI Fest dengan pariwisata bukanlah memaksakan logika, tetapi justru mengikuti tren global di mana sport event menjadi magnet wisata. Ribuan pengunjung yang hadir, baik peserta, kru, maupun penonton tidak sekadar memacu adrenalin di lintasan, tetapi juga menggerakkan roda ekonomi lokal: hotel penuh, warung ramai, dan UMKM tersenyum.
Kedua, dari sisi prosedural, dana yang bersumber dari APBD tidak mungkin mengalir begitu saja tanpa persetujuan DPRD. Jika kegiatan ini tercantum dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) dan selaras dengan Rencana Kerja Dinas Pariwisata, maka secara administratif ia sah. Menyebutnya “penitipan anggaran” menjadi tidak relevan jika sejak awal kegiatan itu memang program resmi yang disepakati eksekutif dan legislatif.
Ketiga, tuduhan penyalahgunaan wewenang dan potensi tipikor harus didasarkan pada bukti konkret, bukan asumsi. Pasal 2 dan 3 UU Tipikor tidak bisa dipakai secara serampangan hanya karena ada perbedaan tafsir peruntukan. Unsur melawan hukum dan kerugian negara harus dibuktikan lewat audit atau investigasi resmi, bukan opini publik yang belum teruji kebenarannya.
Saya percaya transparansi adalah kunci. Semua pihak, baik pemerintah daerah maupun panitia IMI Fest, punya kewajiban moral dan hukum untuk membuka laporan pertanggungjawaban anggaran. Namun, kita juga punya kewajiban moral yang sama untuk menilai berdasarkan data, bukan prasangka.
APBD adalah amanah rakyat. Menggunakannya untuk membiayai event yang memberi manfaat ekonomi, sosial, dan citra positif bagi daerah bukanlah dosa, selama prosedur ditempuh dan hasilnya dirasakan publik.
IMI Fest bukan hanya soal balap dan modifikasi kendaraan. Ia adalah panggung ekonomi kreatif, promosi pariwisata, dan ajang memperkuat identitas daerah di kancah nasional. Menilai sesuatu hanya dari nominal anggaran tanpa melihat efek berantai yang dihasilkannya, sama saja seperti menilai buku dari sampulnya terlalu dangkal untuk perkara sebesar ini.














