Catatan : Muhammad Khairil
BAGAI tong kosong berbunyi nyaring, demikian kita sering kiaskan bagi mereka yang banyak bicara namun tidak punya kualitas bicara. Bahkan ironis, informasi yang disampaikan pun tidak bernilai apa-apa selain mengisi ruang gosip, cenderung bercerita tentang aib orang lain karena iri dan dengki bahkan dengan sadar memanipulasi informasi menjadi fitnah yang sangat keji, demi mencemarkan nama baik orang lain.
Seringkali kita menilai bahwa orang yang banyak bicara itu adalah orang yang pandai bicara namun andai kita menyadari bahwa sebenarnya tidak semua orang yang banyak dan sering bicara itu adalah pandai bicara.
Sebaliknya, orang yang kita nilai diam dan jarang bicara, sebagai orang “pendiam” yang tidak pandai bicara. Disinilah orang bijak akan menilai apa yang disebut sebagai kualitas bicara.
Bicara menunjukkan bangsa, bicara juga mengungkapkan apakah anda orang terpelajar atau kurang ajar. Orang yang berbicara banyak tidak selalu berarti seorang yang pandai bicara seperti halnya orang yang menebak banyak belum tentu penebak yang baik dan benar.
Lidah tak bertulang, demikian pribahasa mengingatkan kita tentang makna filosofis tajam dan lenturnya mulut dalam berbicara. Terlebih berbicara tentang isu aktual atau sekedar gosip murahan yang lagi hangat, bibir kita seolah dioles madu, rasanya begitu manis menceritakan aib orang lain.
Bahkan dengan perkembangan media sosial yang ada saat ini, seolah telah menjadi ruang yang membuat seseorang dapat berperan sebagai wartawan, pengamat dan kritikus. Efeknya, tidak hanya membuat seseorang menjadi narsistik namun telah menjelma menjadi sosok produsen informasi.
Hal sederhana bahkan cenderung tidak penting diakses melalui ruang publik media sosial. Bangun di pagi hari hingga menjelang tidur, seolah wajib dipublikasi. Kita pun akhirnya mengenal istilah like and share sampai subscribe.
Dengan demikian, saling silang informasi berjalan tanpa batas ruang dan waktu. Apa yang terjadi ? Tidak ada lagi ruang privasi dan rahasia diri yang harus ditutupi. Diam pun seolah menjadi barang langkah yang sulit ditemukan di era informasi saat ini. Setiap orang seolah responsif bicara mengenai apapun walau tidak membawa manfaat dan kebaikan.
Bahkan parahnya, mengunggah komentar, tanggapan dan wacana atas berbagai peristiwa tanpa dasar ilmu dan pengetahuan. Inilah yang sering disebut dan dilabelkan sebagai “asbun” alias asal bunyi.
Diam itu emas, kata mereka yang bijak dalam memaknai kemampuan berbicara. Sungguh kata-kata itu hampir tidak memiliki makna, kitalah yang memberi makna pada setiap kata yang kita bicarakan. “Words don’t mean, people mean”, demikian diungkap Alfred Habdank Skarbek Korzybski, seorang sarjana independen Polandia-Amerika.
Lahir di Warsawa, Polandia, yang saat itu bagian dari Kekaisaran Rusia.
Korzybski berasal dari keluarga bangsawan Polandia yang anggotanya telah bekerja sebagai ahli matematika, ilmuwan, dan insinyur selama beberapa generasi. Ia lalu belajar bahasa Polandia di rumahnya dan bahasa Rusia di sekolah. Ia menjadi fasih dalam empat bahasa sebagai seorang anak.
Dalam satu kesempatan, dihadapan kelompok siswa, Alfred Korzybski lalu memberikan ceramah. Disela ia menyampaikan materi, lalu ia mengambil sebungkus biskuit yang dibungkus dengan kertas putih dari dalam tas kerjanya. Ia lalu menawarkan biskuit itu ke para siswa. Para siswa mengambil biskuit itu lalu mengunyah dengan penuh semangat.
Setelah itu, Korzybski mengeluarkan kembali bungkusan biskuit kedua dari dalam tasnya. Lalu ia merobek kertas putih dari biskuit, untuk mengungkapkan kemasan aslinya. Di atasnya ada gambar besar kepala anjing dan tulisan “Dog Cookies.”
Ungkapan Korzybski tentang makna dari sebuah kata lalu kemudian menjelma dalam bahasa yang lebih praktis seperti contoh dalam anekdot bersama kelompok siswa, menggambarkan betapa bernilainya sebuah kata yang diungkap dalam kesamaan makna.
Makna yang berbeda, juga akan memberikan konsekuensi yang berbeda dari sebuah proses komunikasi. Diam yang “emas” itu mendatangkan kebaikan atau bisa diartikan diam itu emas adalah cara terbaik yang dilakukan saat seseorang ketika dihadapkan pada persoalan yang memang ia tidak punya ilmu di dalamnya.
Tidak sedikit orang yang memilih diam sebagai cara terbaik menyelesakan masalah tanpa ada yang tersakiti. Tidak semua apa yang kita ketahui itu harus diungkapkan, terlebih diungkap di depan publik atas aib atau kesalahan orang lain.
Bukankah tidak satu pun kita sempurna ? Kalau pun ada yang harus diungkapkan, maka sangat bijak kalau diungkapkan secara langsung tanpa harus mengumbar kesalahan itu pada semua orang, cukup disampaikan secara santun, agar yang bersangkutan bisa memperbaiki diri, tidak merasa seolah dipermalukan.
Menjaga diam bukan berarti sebuah kekalahan atau ketidakmampuan. Diam adalah cara untuk menjadikan negeri ini tidak berisik dan bising oleh riuh informasi yang kita sendiri belum tahu nilai kebenarannya.
Bahkan saat ini dunia maya sedang dilanda penyakit hati. Seperti kata sufi Imam Al Ghazali, “Penyakit hati itu laksana belang di wajah seseorang yang tak punya cermin. Jika diberitahu orang lain pun, mungkin ia tak mempercayainya.”
Sampah informasi bertebaran secara masif tanpa verifikasi dan konfirmasi. Ujaran kebencian dan hujatan bersahut-sahutan nyaris tiada henti. Menarik mengambil hikmah dari bahasa bijak : “Janganlah mencaci jika tak ingin dibenci. Jangan pula memfitnah karena bakal terkena tulah. Bersikaplah bijak agar sadar di mana tempat berpijak”
Menjaga tradisi diam, bagai kita berpuasa untuk menahan diri dan memuliakan lidah untuk tidak asal bicara, tidak yang penting bicara dan tidak hanya ikut ikutan bicara. Kita berbicara layaknya padi yang berisi, bicara karena memberi manfaat.
Keterbukaan informasi dengan fasilitas media yang sangat beragam harusnya menjadi introspeksi, bukankah seseorang akan tampak lebih mulia andai lebih banyak berbuat daripada bicara ?
Bukankah Tuhan lebih menyukai orang yang berbuat daripada banyak bicara ? Bahkan ajaran agama dengan jelas mengingatkan kita bahwa keselamatan seseorang terletak dari kemampuannya berbicara. Kualitas iman seseorang sekalipun, akan sangat terukur dari ia berbicara baik atau sebaiknya diam. (**)
Penulis adalah Dosen Pada Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNTAD