Kehadiran gunung api aktif Karangetang dengan beragam material vulkaniknya ikut membantu peningkatan mutu dan kualitas secara alami pada buah pala di Pulau Siau, Sulawesi Utara.
Tanaman pala merupakan produk rempah andalan Indonesia, selain cengkih serta lada, yang sejak ratusan tahun silam menjadi komoditas perdagangan penting. Pohonnya dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 20 meter dan banyak dijumpai di kawasan Indonesia timur terutama di Maluku.
Buah pala adalah produk utama dari tumbuhan yang mampu bertahan hidup hingga ratusan tahun. Satu buah pala hanya menghasilkan satu biji siap panen berwarna cokelat terselubung selaput kulit tipis merah bernama fuli.
Buah itulah yang kemudian menjadi incaran para saudagar kaya bangsa Eropa. Mereka rela bersusah payah berlayar berbulan-bulan mengarungi ganasnya gelombang samudra untuk sampai ke Nusantara demi rempah seperti pala.
Para pengarung samudra asal Benua Biru itu membeli buah pala untuk berbagai keperluan, termasuk sebagai bahan baku parfum, kosmetik, dan obat-obatan, selain juga sebagai penyedap makanan. Di dalam buah pala memang terkandung minyak sejenis asiri dengan senyawa miristisin (myristicin), sehingga menimbulkan aroma khas.
Meskipun nama ilmiahnya Myristica fragrans, di sejumlah daerah sebutannya bisa beragam. Misalnya, masyarakat di Halmahera termasuk Ternate mengenalnya sebagai gosora. Demikian halnya di Pulau Buru disebut sebagai kuhipun dan wilayah Sangir serta Siau dikenal dengan nama palang.
Bagi masyarakat Pulau Siau, buah berbentuk lonjong menyerupai lemon atau telur ayam ini merupakan harta tak ternilai. Pulau yang berada di Kabupaten Siau Tagulandang Biaro atau Sitaro, Provinsi Sulawesi Utara, sejak lama dikenal sebagai penghasil pala terbaik di Indonesia, bahkan dunia.
Sepintas, pala asal Siau mirip dengan produk sejenis dari Kepulauan Banda, Maluku, yaitu Myristica fragrans Houtt. Lewat buku Persyaratan Indikasi Geografis Pala Siau kita bisa mengetahui bahwa Raja Lokongbanua II yang memerintah Kerajaan Siau pada 1510-1549 pernah menjadi bagian dari Kesultanan Ternate. Ini sebabnya muncul mobilitas penduduk antarkedua daerah termasuk berkembangnya pala di Siau saat penduduk setempat membawa bibit dari Ternate.
Kandungan minyak pada pala Siau mencapai 80-100 persen dan hal ini menjadi pembeda dengan produk sejenis dari daerah lain ketika kadar minyaknya tak lebih dari 50-70 persen. Bukan itu saja, karena kandungan asiri pada pala Siau mencapai 2,39 persen di mana pada bagian fuli, kandungan asirinya bisa mencapai 17,27 persen.
Keunggulan lainnya adalah aroma dan biji pala yang hampir bulat sempurna tanpa kerut. Aroma pala Siau disebabkan tingginya zat miristisin dibandingkan dengan produk sejenis dari daerah lain. Zat miristisin biji pala Siau mencapai 13,19 persen, sedangkan pada pala Banda misalnya hanya sebesar 11 persen saja.
Pengaruh Gunung Karangetang
Kehadiran Karangetang sebagai gunung api aktif menjadi faktor utama perbedaan itu. Beragam material vulkanik mengandung fosfor, kalsium, kalium, dan magnesium disemburkan dari gunung setinggi 1.320 meter di atas permukaan laut, seperti dikutip dari data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.
Terlebih, nyaris setiap tahun gunung ini memuntahkan material vulkaniknya, yang merupakan pupuk alami terbaik. Kondisi tadi tentu saja membuat struktur lahan perkebunan di Siau menjadi lebih subur dan sangat cocok bagi tanaman keras seperti pala. Terdapat beberapa varietas pala ditanam di Pulau Siau seperti pala tobelo, banda, pala bulat telur, pala pingpong, dan pala hijau.
Berkat keistimewaan ini, pala asal Siau menjadi satu-satunya komoditas pala di Indonesia yang telah mendapatkan sertifikat indikasi geografis (SIG). Ini semacam penanda dari daerah asal suatu barang karena faktor lingkungan geografis memberikan ciri dan kualitas tertentu kepada barang yang dihasilkan.
Masyarakat di Siau dan Kabupaten Sitaro pada umumnya menanam pala secara turun-temurun. Berdasarkan data Statistik Daerah Kabupaten Sitaro pada 2020, luas kebun pala mencapai 4.619,13 hektare. Dari jumlah tersebut, produktivitas lahan yang telah menghasilkan panen buah pala yaitu sebesar 3.207,85 ha.
Data Dinas Pertanian Kabupaten Sitaro menyebutkan, terdapat 3.062 pekebun rumah tangga yang terdaftar. Sedangkan sebanyak 1.715,93 ha lainnya masih dalam proses tumbuh sehingga belum menghasilkan. Ini disebabkan tanaman pala perlu waktu 7–9 tahun untuk memasuki masa panen perdana.
Hasil produksi pala asal Siau dan Kabupaten Sitaro serta produk turunannya seperti fuli dan biji pala tidak hanya untuk pasar dalam negeri. Tetapi komoditas yang dikenal sebagai Siau nutmeg ini juga untuk memenuhi permintaan ekspor dengan tujuan Belanda, Jerman, Prancis, Italia, Mesir, Rusia, Amerika Serikat, Vietnam, dan Selandia Baru.
Melansir data Balai Karantina Pertanian Kelas I Manado, khusus ekspor fuli pala pada rentang Januari–Juni 2020 saja sudah menyentuh 78,9 ton senilai Rp41,2 miliar. Sementara itu, untuk biji pala, pada kurun Januari–Maret 2020, terjadi ekspor sebanyak 46,25 ton senilai Rp5,17 miliar.
Di pasar komoditas lokal, harga fuli bisa menyentuh Rp200 ribu-Rp250 ribu per kilogram dan biji pala berkisar Rp70 ribu-Rp85 ribu per kg. Untuk pasar internasional, komoditas pala, mulai dari fuli hingga bijinya dihargai antara Rp100 ribu-Rp350 ribu per kg. “Kendati harga pala terutama fuli cukup mahal, permintaan ekspor juga cukup tinggi,” kata Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Utara Darwin Muksin seperti diberitakan Antara, 11 Februari 2021.
Agar pala Siau dapat terus berkibar dan menjadi komoditas penting bagi Sulawesi Utara, maka sudah selayaknya para pekebun menjaga kualitas produk pala yang dihasilkan.
Penulis : Anton Setiawan Redaktur : Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari