Pemerintah berencana mengubah skema PPN yang pembayarannya mengacu pada penghasilan serta pola konsumsi masyarakat.
Skema tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) direncanakan diubah dari tarif tunggal 10 persen menjadi tarif umum 12 persen. Ini sejalan dengan rencana pemerintah merombak habis Undang-Undang (UU) Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Draf UU yang diperoleh Kamis (3/6/2021) menegaskan bahwa perubahan aturan itu merupakan bagian dari revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Disebutkan dalam dokumen itu, tarif PPN diusulkan naik menjadi 12 persen, dari yang saat ini hanya 10 persen. Tarif memang dimungkinkan untuk diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen.
Belum diketahui kapan perubahan tarif PPN itu berlaku. Kemungkinan besar tahun depan. Rencana perubahan itu tidak terlepas sebagai bagian upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara.
Dalam satu rapat dengan komisi XI DPR, Menteri Keuangan Sri Mulyani berkomentar, “Kami melihat PPN jadi sangat penting dari sisi keadilan atau jumlah sektor yang tidak dikenakan atau dikenakan.”
Berdasarkan informasi, khusus untuk barang yang dikonsumsi masyarakat secara luas dikenai tarif lebih rendah. Sejauh ini, pemerintah memiliki dua opsi tarif, yakni 5 persen atau 7 persen.
Adapun barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) yang bisa memanfaatkan tarif ini, di antaranya, kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar rumah tangga, jasa pendidikan, jasa angkutan umum, serta BKP dan JKP lain sejenis.
Kebijakan ini dirumuskan untuk memberi rasa keadilan kepada masyarakat. Artinya, PPN yang dibayarkan mengacu pada penghasilan serta pola konsumsi masyarakat. Kini, draf itu masih dibahas bersama DPR.
Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo dalam paparan berjudul “Gambaran Umum Fiskal dan Perpajakan Terkini” mengungkapkan bahwa multitarif PPN telah dianut oleh banyak negara.
Rasa Keadilan
Menurutnya, skema ini memberikan rasa keadilan dengan pengenaan tarif yang lebih tinggi untuk barang mewah atau sangat mewah. “Juga pengenaan tarif lebih rendah untuk barang-barang dan jasa tertentu yang dibutuhkan masyarakat berpenghasilan rendah.”
Di sisi lain, tarif PPN yang berlaku saat ini yakni 10 persen relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara lain yang menerapkan skema pajak serupa. Atas dasar itulah kemudian pemerintah berupaya menaikkan tarif PPN secara umum.
Langkah ini juga dilakukan sejalan dengan tren global di mana PPN menjadi salah satu struktur pajak yang makin diandalkan. Namun di sisi lain, pemerintah tetap memberikan perlindungan kepada masyarakat kelas menengah ke bawah melalui penerapan tarif khusus yang lebih rendah.
Alhasil, daya beli masyarakat kelas ini masih tetap terjaga meski ada perubahan skema tarif PPN. Pemerintah meyakini, skema multitarif ini memiliki dua kelebihan. Pertama, potensi penerimaan lebih maksimal karena seluruh lapisan masyarakat membayar tarif sesuai dengan kemampuan.
Kedua, menjaga daya beli masyarakat yang sejak tahun lalu tertekan akibat pandemi Covid-19. Harapannya, skema multitarif memberikan perlindungan kepada masyarakat berpenghasilan rendah.
Ditjen Pajak Kementerian Keuangan mencatat, selama ini Indonesia belum mengikuti kecenderungan berbagai negara yang telah menaikkan tarif PPN untuk mengkompensasi kecenderungan penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan.
Di sisi lain, performa PPN di Indonesia masih sangat rendah. Pada 2018, misalnya, kinerja PPN Indonesia hanya 0,59. Artinya, pemerintah hanya dapat mengumpulkan 59 persen dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut.
Menurut data Ditjen Pajak, penerimaan PPN dan PPnBM pada 2018 mencapai Rp538,2 triliun, Rp532,91 triliun (2019), Rp448,39 triliun (2020) dan diproyeksi mencapai Rp137,54 triliun hingga 30 April 2021.
Berikut ini merupakan jenis penerimaan pajak per 30 April 2021 sebagaimana tertuang dalam data Ditjen Pajak. Yakni, jenis pajak utama meliputi PPh Pasal 21 Rp46,38 triliun, PPh Pasal 25/29 Rp88,21 triliun, PPh Pasal 26 Rp14,88 triliun, PPh Final Rp38,31 triliun, PPN dalam negeri Rp77,54 triliun, pajak atas impor Rp65,84 triliun.
“C-efficiency Indonesia lebih rendah dari Singapura, Thailand, Korea Selatan, Estonia, dan Luxembourg,” demikian disebutkan dalam data yang dilansir Ditjen Pajak.
Pemerintah memang perlu menerapkan pajak multitarif untuk mendukung upaya pemulihan ekonomi nasional. Jika tidak, daya beli masyarakat akan makin tertekan, sehingga berdampak pada pelemahan konsumsi dan tersendatnya pertumbuhan ekonomi.
Pasalnya, selama ini konsumsi menjadi tulang punggung laju ekonomi nasional. Bila tidak, tentu akan memberatkan proses pemulihan ekonomi yang kini terus diupayakan.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari