
Penulis: Sandri Mooduto
PROSESNEWS.ID – Suasana di balai-balai desa se-Gorontalo kini tak lagi tenang. Bukan karena bencana alam, melainkan karena secarik regulasi yang turun dari Jakarta. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 81 yang diteken oleh Purbaya Yudhi Sadewa sukses membuat para kepala desa pusing tujuh keliling.
Di balik gedung-gedung pemerintahan desa, ada napas yang tersengal. Regulasi ini bukan sekadar kertas, melainkan tembok tebal yang menahan hak-hak ribuan pelayan masyarakat di akar rumput.
Menelan Pil Pahit dari Menteri Keuangan
Bagi pemerintah pusat, PMK No. 81 adalah terobosan jenius. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyebutnya sebagai “pemaksaan positif”. Tujuannya mulia: agar desa tak lagi manja, agar ekonomi desa berdikari, dan uang negara tidak hanya numpang lewat di proyek fisik jangka pendek.
Namun, di lapangan, regulasi ini bagaikan dua mata pisau yang tajam. Di satu sisi, ia memaksa desa untuk “naik kelas” secara ekonomi. Di sisi lain, regulasi mencekik leher birokrasi desa yang belum siap.
Dampaknya fatal. Dana Desa Tahap II yang dinanti-nanti kini tertahan. Akibatnya, jeritan pilu terdengar dari mereka yang paling berjasa namun kerap terlupakan: guru PAUD, guru ngaji, imam masjid desa, hingga kader posyandu. Sudah berbulan-bulan mereka bekerja tanpa upah, hanya karena dana desa terkunci oleh syarat birokrasi baru yang rumit.
Syarat Rumit dari Menteri : Koperasi Merah Putih atau Gigit Jari
Apa yang membuat dana itu macet? Jawabannya adalah obsesi baru pemerintah pusat: Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.
Tak seperti tahun-tahun sebelumnya di mana laporan penyerapan dana sudah cukup untuk mencairkan termin berikutnya, kali ini aturan main berubah total. Purbaya menetapkan syarat mutlak: Dana Tahap II (sebesar 40%) tidak akan cair sepeser pun jika desa belum memiliki Akta Pendirian Koperasi Merah Putih atau minimal bukti pengurusannya di notaris.
Ini bukan sekadar himbauan. Kepala desa dipaksa menandatangani komitmen “proyek”—menyuntikkan modal ke koperasi tersebut dari APBDes. Uang desa kini tak boleh hanya habis dibagi-bagi, tapi harus diputar dalam institusi ekonomi baru ini. Tujuannya spesifik: mendukung rantai pasok program nasional Makan Bergizi Gratis.
Tanggal Menjerat: 17 September 2025
Para kepala desa kini berpacu dengan waktu di bawah bayang-bayang sanksi yang mengerikan. Pemerintah menetapkan tanggal 17 September 2025 sebagai garis akhir. Sebuah deadline “menjerat”.
Jika pada tanggal tersebut syarat pendirian koperasi belum lengkap, maka tamatlah riwayat Dana Desa Tahap II. Berbeda dengan aturan lama yang hanya menunda, regulasi Purbaya ini buat kepala desa pusing tujuh keliling: dana akan dibatalkan dan ditarik kembali ke pusat untuk dialihkan ke program nasional lain.
Akan tetapi, dalam aksi Senin 1/1/2025 yang di hadiri kepala Desa se-Gorontalo. Beberapa statement dari Kades Kaidundu Barat dan Kades Tolotio menegaskan bahwa semua data-data yang diminta oleh pusat sudah rampung.
“Harusnya kami menuntut Dana Tahap II segera dicairkan. Karena kami sudah menyelesaikan semua data-data yang diminta oleh pusat. Bahkan kami sementara membangun bangunan Koperasi Merah putih.” Jelas Hendra Koniyo selaku koordinator lapangan aksi siang tadi di kantor DPRD Provinsi Gorontalo.
Efek dari regulasi PMK No 81 Kini, nasib dapur para guru ngaji dan kader posyandu di Gorontalo—dan mungkin di seluruh pelosok desa Indonesia—bergantung pada seberapa cepat kepala desa mereka bisa berlari mengurus akta notaris. Sebuah pertaruhan birokrasi di atas perut rakyat kecil.













