Data dari DTKS, PKH, BPNT, dan BST saling tak berkesesuaian. Populasi penerima bansos pun seolah bengkak sampai 21,156 juta. Kini data bansos terbuka untuk umum agar mudah dikoreksi.
Setelah beberapa minggu bergulir ke sana kemari, isu tentang temuan 21 juta data ganda penerima bansos (bantuan sosial) menggelinding ke Gedung DPR RI. Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini pun hadir dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR, Senin (24/5/2021), untuk menduduksoalkan sengketa data yang tidak main-main besarnya itu.
Temuan soal data ganda itu tentu menjadi perhatian banyak instansi, mulai dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pemeriksan Keuangan Pembangunan (BPKP), Kejaksaan Agung, Polri, bahkan KPK. Kepada anggota dewan, Risma menegaskan, kementeriannya telah melakukan penertiban.
“Kita melakukan pengontrolan data. Jadi, kami sudah pula berkomunikasi dengan BPK, BPKP, KPK, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian, dan kami menidurkan 21,156 juta data,’’ ujar mantan Wali Kota Surabaya ini. Ia punmengatakan, suasana pandemi telah mendorong pemerintah daerah melaksanakan pemutakhiran data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS), yang menjadi acuan pembagian bansos.
Namun, Risma mengakui, data kependudukan terus berubah sehingga perlu terus di-update. Maka, Kemensos membuka partisipasi masyarakat untuk mengawasi pelaksanaan penyalurannya secara online lewat fitur cekbansos.kemensos.go.id. Laman itu terbuka untuk umum.
‘’Melalui aplikasi ini, publik dapat memantau penerima bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Nontunai (BPNT), serta Bantuan Sosial Tunai (BST) dengan menyebutkan nama penerima, alamat desa atau kelurahan tempat tinggalnya,” ujar Mensos.
Isu data ganda itu mulai menggelinding setelah BPKP menyampaikan bahwa terdapat 3.877.965 data nomor induk kependudukan (NIK) penerima bansos yang tidak valid. Kemudian terlihat pula ada 41.985 duplikasi data keluarga penerima manfaat (KPM), dengan nama dan NIK yang sama.
Bukan itu saja, BPKP juga mendapati penerima bansos yang tidak layak/tidak miskin/tidak rentan sebanyak 3.060 KPM di Jabotabek. Lebih jauh, ditemukan pula 6.921 KPM yang pindah/meninggal tanpa ahli waris/tidak dikenal atau tidak ditemukan.
Temuan BPK lebih menggelegar lagi. Menurut BPK, di antara penerima bansos itu terdapat data NIK tidak valid sebanyak 10.992.479 ART (anggota rumah tangga), nomor kartu keluarga (KK) tidak valid sebanyak 16.373.682 ART, nama kosong sebanyak 5.702 ART, serta NIK ganda sebanyak 86.465 ART pada DTKS penetapan Januari 2020.
Dari BPK juga ditemukan, bansos uang senilai Rp500.000 bagi mereka yang termasuk KPM sembako non-PKH ternyata disalurkan kepada 14.475 KPM yang memiliki NIK ganda dan 239.154 KPM lainnya yang memiliki NIK tidak valid.
KPK tak ketinggalan menyorot pula keriuhan bansos itu. Hasilnya, sejumlah 16.796.924 entri data penerima bansos tak padan dengan data yang ada di dinas kependudukan dan catatan sipil (Dukcapil). Artinya, data kependudukanpenerima bansos tak sesuai dengan data Dukcapil. Menurut KPK, pemutakhiran data DTKS di daerah justru berpotensi inefisien dan tumpang tindih. Rekomendasi KPK, perlu dilakukan pemadanan data DTKS dengan Dukcapil, dengan penggunaan NIK sebagai key field.
Risma mengatakan, ada empat pulau data yang terkait penyaluran bansos, yakni data DTKS sebagai sumber acuan pembagian bansos, lalu data penerima bansos PKH (sekitar 9 juta), BPNT (sekitar 15 juta), dan data BST (sekitar 10 juta). Fatsunnya, seorang penerima PKH dibolehkan menerima BPNT, atau BST, atau keduanya, jika kondisinya memang membutuhkan. Keputusan soal ini ada di daerah dan dinyatakan melalui DTKS.
Kekisruhan data mulai terjadi saat data jumlah bansos PKH, misalnya, tak berkesesuaian antara bansos yang dicantumkan di DTKS. Sialnya lagi, entri data ke list PKH, semisal NIK atau KK, tidak akurat pula. Bisa jadi yang tertera di DTKS kedaluwarsa. Bahkan, tak jarang penerima manfaat yang belum punya NIK dan KK yang mutakhir dimasukkan di PKH, BPNT, atau BST.
Kekeliruan dan ketidaklengkapan data itu memang keniscayaan. Pemutakhiran data lengkap DTKS belum sepenuhnya lengkap. Secara nasional memang 406 pemda melakukan finalisasi data per Juli 2020. Hanya saja, 331 pemda di antaranya baru melakukan verifikasi dan validasi sekitar 10 persen dari jumlah DTKS-nya. Bahkan, 63 pemda tidak melakukan pemutakhiran per Juli 2020, dan 48 pemda lainnya belum melakukan update sejak 2015.
Maka, ketika keempat pulau data itu diintegrasikan, irisan datanya kacau balau, karena nama yang sama dapat menyandang NIK dan nomor KK yang berbeda gara-gara ketidakakuratan data babonnya. Begitu halnya bila nama-nama penerima manfaat tiga bansos itu itu dipadankan ke data Dukcapil.
Tak heran bila dalam integrasi data dari keempat pulau itu pun kemudian menghasilan populasi penerima manfaat yang jauh lebih besar dari populasi aktualnya. Seperti diakui Mensos Risma, angkanya pun mencapai 21,156 juta. Toh, sejauh ini BPK, KPK, Polri, atau Kejaksaan tidak mengaitkannya dengan tindak penyalahgunaan wewenang.
Atas situasi ini, Mensos Risma cepat bertindak. Hasil integrasi dari keempat pulau data itu menjadi sebuah bank data tersendiri. Temuan BPK dan BPKP dijadikan bahan koreksi. Hasil kompilasinya diunggah ke laman kementeriannya. Terbuka untuk semua. Bila ada pemutahiran DTKS baru dari daerah, tinggal update. BPKP pun akan ikut mengawal ketepatan distribusi bansos itu.
Jangan Menakut-Nakuti
Presiden Joko Widodo ikut gemas atas data bansos yang disebutnya tumpang-tindih. Situasi itu, menurut PresidenJokowi, membuat penyaluran bantuan pemerintah menjadi terhambat dan terlambat. ‘’Juga, tak tepat sasaran, karena data pemerintah pusat dan daerah tidak nyambung,” ujar Presiden Jokowi di depan pembukaan Rakornas Pengawasan Intern Pemerintah (PIP) 2021, di Istana Bogor, Kamis (27/5/2021).
Secara khusus, Presiden Jokowi menginstruksikan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan aparat pengawas intern pemerintah (APIP) turut mengawal perbaikan pengelolaan data untuk mengurangi perbedaan basis data pusat dan daerah. “Manfaatkan dan gunakan laboratorium data forensik dan data analitik yang dimiliki BPKP,” kata Presiden.
Lebih jauh, Presiden Jokowi meminta para menteri dan kepala daerah menjamin APIP bisa menjalankan tugasnya secara independen dan profesional. Para pimpinan lembaga diminta memberikan akses informasi yang terbuka dan transparan. “Jangan ada yang ditutup-tutupi,’’ kata Presiden Jokowi.
Namun, di sisi lain, Presiden Jokowi juga mengingatkan BPKP dan APIP agar bekerja secara optimal tanpa memberi kesan menakut-nakuti atau mencari-cari kesalahan. BPKP dan APIP, kata Presiden Jokowi, punya poin penting dalam tugasnya, yakni membantu pemerintah mencapai tujuan pembangunan secara akuntabel.
Penulis : Putut Trihusodo Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari