Catatan : Azman Asgar
TULISAN ini hendak mau menyangga sekaligus menguji opini kawan Efrain Limbong sebagai kader PDIP Sulawesi tengah terkait tulisan beliau di kolom opini kompasiana.com yang terbit pada tanggal 10 Januari 2020 tepat pada 47 tahun usia Partai berlambang moncong putih itu, yang di beri judul 47 Tahun PDIP Perjuangan, Masihkah Marhaenis?
Di awal tulisan, dengan baik Efrain Limbong mengutip sebuah tulisan Sukarno, begini kira-kira kutipannya “saya seorang nasionalis, tapi nasionalis marhaen, hidup dengan kaum marhaen, mati dengan marhaen.” Kutipan ini di sadur dari tulisan Sukarno di buku Sukarno, Mencapai Indonesia Merdeka 1933.
Tentu saja kutipan ini punya pesan yang tegas tentang sebuah perjuangan Sukarno terhadap kaum Marhen di Indonesia. Pertanyaannya kemudiaan, sejauh mana kutipan itu dikerjakan secara istiqomah oleh seorang Sukarnois atau Partai yang mendaku Partainya kaum marhaen?
Di beberapa paragraf tulisan kawan Efrain tidak begitu penting untuk saya sanggah, sebab di beberapa tulisan memang merupakan hasil pikiran Sukarno dari beberapa karya yang di tulis oleh Sukarno.
Ada beberapa hal yang luput dari pandangan kawan Efrain Limbong, utamanya soal Marhen itu sendiri. Bagi saya penting untuk saya sempurnakan sebagai salah satu alasan mengapa istilah Marhaen itu muncul dalam pengistilahan seorang Sukarno.
Marhaenisme tidak bisa dilepaskan dari teori Marxisme
Istilah Marhaen memang tidak ujug-ujug jatuh dari langit, boleh di bilang istilah Marhaen muncul dari perenungan dan hasil realitas sejarah masyarakat dan atau kelas-kelas sosial masyarakat Indonesia di mata Sukarno. Usia 20 Tahun Sukarno sudah menemukan istilah ini, kira-kira sekitar tahun 1921, ini juga diabadikan dalam wawancara Cindy Adams yang di beri judul Sukarno : Penyambung lidah rakyat. Singkat cerita, Marhaen merupakan nama petani yang masih mempunyai alat produksi tapi masih hidup melarat yang di jumpai oleh Sukarno.
Boleh di bilang, dalam terminologi kelas, Marhaen ini meupakan kategori Borjuis kecil dalam istilah Marxis. Sebab mereka masih mempunyai alat produksi, baik itu pedagang asongan, petani, tukang gerobak tetapi tidak menyewa buruh/pembantu (tenaga kerja) serta tak pula punya majikan.
Dari kategori di atas, maka kita sudah menemukan kategori-kategori Marhaen itu sendiri. Pertama, kepemilikan alat produksi kecil. kedua, tidak mempekerjakan orang lain dan tidak punya majikan dan Ketiga, hanya bisa memenuhi kebutuhan sendiri, terkadang juga pas pasan.
Inilah yang disebut Sukarno penemuan kembali kepribadian kita sebagai bangsa Indonesia, atau hematnya teori yang di susun berdasarkan konteks histori kekhususan masyarakat Indonesia. Jadi, Marhaen ini merupakan sebuah teori kelas-kelas sosial yang terinspirasi dari teori Marxisme.
Sebab sangat jelas Sukarno mengklasifikasikan Marhaen itu dalam kategori kepunyaan alat produksinya, ini ajaran inti dari teori Marxisme. Sehingga, tanpa memahami marxisme mustahil kita bisa sampai pada masalah dan perjuangan kaum marhaen itu sendiri.
Tetapi dalam perkembangannya, pada tahun 1960-an, Sukarno menyebut kaum marhaen itu terdiri dari tiga unsur. Unsur kaum miskin proletar Indonesia (tidak memiliki alat produksi), kaum tani melarat, dan unsur kaum melarat lainnya. Unsur-unsur ini merupakan hasil pengembangan bacaan politik Sukarno saat itu dalam menyatukan semua unsur kekuatan kaum tertindas Indonesia ke dalam sebuah persatuan revolusioner yang sering di sebut dengan “sammenbundelling van alle revolutionaire krachten” dalam melawan kolonialisme, imperialisme dan Kapitalisme.
Jadi, Marhaenisme merupakan penopang gerakan revolusioner kala itu dalam melawan kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Jika di Eropa identik dengan kelas Proletar ( buruh/mereka yang tidak punya alat produksi) maka di Indonesia, Sukarno menyebutnya kaum Marhaen.
Mengapa demikian? Alasan Sukarno sederhana, bahwa Indonesia merupakan jajahan dari negara Belanda yang saat itu, masih menjadi negara terbelakang di antara negara kolonial eropa lainnya, berbeda dengan bekas jajahan negara eropa yang terbilang maju lainnya yang justru melahirkan dua kelas yang saling bertentangan, Borjuise Vs Proletariat.
Di titik ini cukup jelas bahwa Marhenisme merupakan hasil dari teori Marxisme itu sendiri. Tetapi sayangnya, PDIP justru anti terhadap Marxisme sekalipun sifatnya berbentuk ilmu pengetahuan. Padahal Sukarno berulang kali menjelaskan dirinya dalam sebuah karyanya, bahwa dia adalah seorang Marxis tapi bukan Komunis. Tentunya saya tidak akan membahas lagi perbedaan mendasar Marxisme dan Komunisme itu di sini. Ini kecatatan pertama seorang Sukarnois dan atau kelompok yang sering mendaku penganut Marhaenisme.
Tiga syarat menjadi partai Marhaen menurut Sukarno
Tidak mudah menjadi Partai Marhaen itu, tidak semudah mengkampanyekan di media massa atau corong propaganda lainnya. Sukarno memberi tiga syarat Partai Marhen :
Syarat pertama, setiap partai kaum Marhaen harus menjalankan machtvorming; pembuatan tenaga, pembuatan kuasa. Sebab akan adanya pertentangan kepentingan nantinya (kita dan musuh).
Di sini Sukarno sangat setuju dengan pendapat Marx : “tidak ada suatu kelas yang mau melepaskan hak-hak istimewanya dengan suka rela“, dengan demikian macht ini semacam alat pemaksa kaum marhaen dalam menjalankan kepentingannya. Machtvorming harus disertai azas dan prinsip. Ini untuk membedakannya dengan machtvorming yang oportunistik seperti partai liberal saat ini, yang sekedar tawar menawar dengan pihak musuh.
Olehnya Matchvorming kaum marhaen haruslah matchvorming yang berazaskan perjuangan/perlawanan tanpa henti terhadap kapitalisme-imperialisme, sebab bagi seorang Sukarno kaum marhaen merupakan suatu tatanan baru di mana masyarakatnya tak ada lagi Kapitalisme dan Imperialisme.
Syarat kedua, dalam menjalankan setiap pertentangan (anti tesa) sana dan sini, Partai kaum marhaen haruslah Radikal, perjuangannya tak boleh setengah-setangah apalagi kompromi terhadap imperialisme-Kapitalisme. Partai kaum Marhaen harus berani menjebol tatanan yang Kapitalistik dan imperialistik sampai ke akar-akarnya. Dengan watak Radikal itulah Partai kaum marhaen menjadi progresif dan revolusioner. Inilah semangat kaum kepala banteng.
Syarat ketiga, menjalankan massa aksi. Di sini massa aksi diartikan sebagai aksinya rakyat jelata yang sudah tersadarkan oleh Partai dan kader yang punya kesadaran yang maju. Tugasnya adalah menjebol tatanan yang lama lalu membangun tatanan baru yang lebih adil dan makmur. Teori massa aksi Sukarno ini terilhami dari massa aksinya Tan Malaka yang berusaha membedakan massa aksi dan massal aksi.
Sukarno itu bukan figur yang berfikir statis, sebaliknya ia sangat dialektis, itu sebab baginya perubahan itu tidak mesti menunggu datangnya kesengsaraan pada rakyat, melainkan harus diikuti dengan pendidikan massa, perjuangan massa, perlawanan massa, dengan aksi massa menentang segala bentuk ketidak adilan di semua sektor. Itu sebabnya harus ada Partai pelopor.
Dari ketiga Syarat ini apakah PDIP masa kini masih memegang teguh tiga prinsip menjadi Partai Kaum Marhaen? Saya tidak akan menjawab banyak, biarkan pembaca yang akan merenungi dan menilai, apakah PDIP saat ini masih menjadi Partainya Kaum Marhaen? Atau sebaliknya PDIP semakin jauh dari Partai kaum Marhaen yang di cita-citakan oleh Sukarno, bukankah sebagai Partai penguasa PDIP masih melanggengkan sistem Kapitalisme neoliberal sebagai sistem yang di adopsi saat ini? Padahal jelas dan tegas bahwa Kapitalisme neoliberal sangat bertentangan dengan Pancasila apalagi Partai Kaum Marhaen.
Ini hanya salah satu bukti kongkrit dari banyaknya fakta-fakta kontradiktif lainnya di tubuh Partai yang masih memakai istilah Marhaen.
Antara harapan dan kenyataan
Ini mungkin merupakan paragraf paling menarik untuk saya tulis, sekaligus paling serius untuk saya kritisi dari tulisan Kawan Efrain Limbong. Efraim menyadur pesan Ketua Umum PDIP Megawati Sukarno Putri dalam buku Bu Mega tentang ajaran tri sakti bung karno.
Ini semakin menarik, sebab Tri Sakti merupakan intisari dari perjuangan Sukarno. Bagi Efrain Limbong selaku kader PDIP Sulteng Megawati merupakan anak biologis dan ideologis Sukarno, tapi bagi penulis, Megawati hanya sampai pada anak biologis, belum sampai ke anak ideologis Sukarno.
Tri Sakti serupakan ajaran paling fenomenal dari seorang Sukarno, di mana Indonesia harus benar-benar mandiri di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik serta berkerpibadian dalam budaya. Semakin kesini justru semakin kontradiktif gagasan Tri Sakti Sukarno.
Seperti di jungkir balikkan, kita tidak lagi mandiri di bidang ekonomi, tidak lagi berdaulat di bidang politik serta tidak punya kepribadian. Ambil saja contoh saat Jokowi memakai Tri Sakti sebagai jualan kampanye pada pilpres di periode pertama, per April 2015 jumlah hutang luar negeri kita sebesar Rp. 4. 133 triliun (data : BI) padahal 2014 Jokowi-Jk berkampanye menolak utang luar negeri.
Begitupun dengan susunan kabinet 2015 yang di namakan kabinet gotong-royong, yang ada malah saling silang pendapat, bahkan tumpang tindih kebijakan sesama menteri kabinet, ini satu dari sekian banyak konsistensi Tri Sakti itu di uji dalam lapangan praksis. Pun dengan polemik Freeport, sampai saat ini apakah benar kita sudah menjadi penguasa saham 51 % di Freeport atau justru di pihak ketigakan oleh perusahaan non negara?
Hal yang paling kontradiktif lainnya yakni, seruan ketua umum PDIP kepada semua kader untuk memperjuangkan hak-hak rakyat kecil justru berbanding terbalik di lapangan. Ambil saja contoh kasus tragedi Tanjung sari Luwuk Banggai Sulawesi Tengah. Di sana merupakan daerah yang di mana pihak eksekutif (pemenang pilkada) merupakan kader dari Partai Marhaen, sayangnya tidak mampu memberi perlindungan bagi masyarakat kecil (wong cilik) yang digusur paksa menggunakan alat dan aparatus negara, sekalipun berakhir dengan kemenangan masyarakat tanjung sari atas kepemilikan sah atas tanah mereka.
Dalam aspek Agraria, luas lahan produktif kita semakin menyusut setiap tahunnya, dari 7,75 juta hektare 2017 turun menjadi 7,1 juta hekatare (data BPS). Ini menandakan bahwa tidak ada keberpihakan ke kaum marhaen sama sekali, yang ada justru pengalihan lahan produktif kepada korporasi tambang maupun sawit dan infrastruktur lainnya, sementara kaum marhaen di pedesaan harus terlempar dari tanahnya, berbondong-bondong pergi ke kota untuk menyambung hidup di kota-kota besar, konsekuensinya justru akan meningkatkan jumlah pengangguran di tanah air.
Hal kontradiktif lainnya adalah, pernyataan Jokowi beberapa minggu lalu di media masa, bahwa semua izin investasi jangan di persulit, rancangan Omnibus Law yang meliberalisasi semua sektor, meniadakan keharusan AMDAL bagi pelaku usaha korporasi, itu semua merupakan praktik yang justru bertentangan dengan Tri Sakti dan semangat Partai Kaum Marhaen.
Di Kota Palu sendiri, banyak tanah-tanah HGU maupun HGB yang masih terus di kuasai oleh segelintir orang, padahal amanat UU PA 1960 yang merupakan turunan dari Pasal 33 UU 45 dan Tri Sakti tidak pernah dikerjakan serius oleh Pemerintah saat ini. Kalaupun ada program Reforma Agraria, itu tidak justru merombak kepemilikan alat produksi petani (tanah), melainkan sekedar sertifikasi tanah semata.
Ada begitu banyak contoh kasus dari kebijakan rezim saat ini yang justru kontradiktif dengan pengakuan sebagai partai kaum Marhaen, tetapi satu, dua dan tiga contoh kasus sudah cukup mewakili betapa jauhnya kebijakan itu dari inti sari ajaran Partai kaum marhen.
Di akhir tulisan, saya berkesimpulan, bahwa tulisan kawan Efrain Limbong hanya sebatas klaim, belum sampai pada lapangan praktik. Bagi saya, PDIP tidak lagi menjadi Partainya kaum marhaen, melainkan menjadi salah satu Partai yang justru berpotensi menjadi partai oligarki. Tentunya, kaum marhaen masih berharap PDIP benar-benar menjadi Partai pelanjut cita-cita Sukarno, bukan sekedar mendompleng apalagi hanya sekedar memasang simbol-simbol Soekarno.
Jika benar- benar ingin menjadi Nasionalis Marhen, maka hidup dan matilah dengan kaum marhaen seperti kutipan kawan Efrain di pembuka tulisan, jangan merampas hak mereka apalagi membuat mereka hidup dalam kesengsaraan yang berkepanjangan.
Penulis adalah ketua Partai Rakyat Demokrtik (PRD) Kota Palu (**)
(Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis)