Pandemi Covid-19 merubah semua tatanan kehidupan masyarakat, wabah ini memaksa kita membuat dan membiasakan tatanan hidup baru, kehidupan normal harus diganti menjadi kenormalan baru (new normal). Demikian juga pada kehidupan politik Indonesia, termasuk kampanye politik pada pilkada serentak 2020.
Dalam Peraturan KPU nomor 23 tahun 2018 disebutkan bahwa kampanye merupakan kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri Peserta Pemilu. Secara akademik kampanye menurut Rogers dan Storey (1987) diartikan sebagai serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu.
Sesuai Peraturan KPU Nomor 5/2020, pada pilkada serentak 2020 masa kampanye berlangsung mulai 26 September hingga 5 Desember 2020. Dimasa pandemi ini, untuk mencegah terjadinya penularan covid-19 saat kampanye, KPU membuat beberapa aturan, di antaranya adalah sanksi jika melanggar protokol kesehatan Covid-19, membatasi jumlah peserta kampanye, melarang kegiatan yang mengumpulkan massa dalam jumlah besar, dan larangan melibatkan kelompok rentan selama kampanye.
Dengan adanya pembatasan kegiatan kampanye di masa Covid-19, mau dan tidak mau, suka dan tidak suka, maka peserta pilkada harus berfikir dan bekerja keras untuk mendekati pemilih dengan berbagai cara. Di antaranya adalah kampanye digital dengan berbagai platform. Meminjam istilah dari wiki bahwa kampanye digital adalah kegiatan kampanye yang dibangun melalui jaringan teknologi informasi untuk pencapaian pesan kepada khalayak luas secara massal. Biasanya menggunakan website, blog, dan berbagai media sosial.
Ada beberapa alasan mengapa aktor politik harus melirik secara maksimal ke kampanye digital :
Pertama, perubahan tren dan riwayat kesuksesan tokoh-tokoh politik dalam branding melalui media digital. Tokoh yang dianggap berhasil dalam kampanye digital seperti Jokowi, Prabowo, Ridwan Kamil, dan lainnya. Sejak 2012 di Indonesia kampanye digital untuk mempersepsikan ketokohan telah mulai masif digunakan. Sekarang, kampanye politik lebih ramai dan riuh di media sosial dibandingkan di dunia nyata. Sedangkan, tren komunikasi politik dengan media sosial memang tidak bisa dihindari. Karena bukan hanya urusan politik yang terimbas kecanggihan teknologi tapi hampir semua aspek kehidupan harus menyesuaikan perkembangannya.
Kedua, Besarnya jumlah pemilih mula dan muda yang melek teknologi. Generasi yang lahir tahun 2000-an, generasi ini disebut generasi milenial, mereka adalah digital native. Artinya mereka lahir saat teknologi digital, generasi yang sejak dini sudah mengenal teknologi dan internet. Menurut perkiraan BPS, di Indonesia pada tahun 2020 jumlah generasi milenial hampir 33,75%. Jumlah ini sangat signifikan dan tidak boleh diabaikan oleh aktor-aktor politik jika mereka ingin menang dalam kontestasi.
Ketiga, kampanye digital dianggap lebih ekonomis dan terukur. Kampanye menggunakan media digital seperti media sosial lebih ekonomis meski tidak bisa disebut murah. Anda bisa bandingkan harga kampanye beriklan melalui media TV dan beriklan melalui media sosial, facebook misalnya. Melalui TV, kita tidak bisa mengukur seberapa banyak orang yang melihat dan memperhatikan, sedangkan melalui media sosial kita bisa melihat berapa views dan berapa klik iklan yang ditayangkan.
Selanjutnya yang keempat, kampanye digital dipandang lebih fleksibel dan tepat sasaran. Kampanye digital bersifat fleksibel karena bisa diakses di mana dan kapan saja. Selain itu juga fleksibel dalam hal biaya. Karena biaya di media sosial dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan organisasi politik. Sedangkan tepat sasaran dalam beriklan di media sosial dalam artian kita bisa membuat target kampanye lebih spesifik atau lebih rinci, seperti target demografis, psikografis, gender, interest, dan sebagainya. Sehingga aktor politik bisa menyasar kelompok-kelompok tertentu secara maksimal.
Namun demikian, dari sekian banyak alasan keunggulan kampanye digital, ada keraguan efektif dan tidaknya kampanye digital. Keraguan tersebut muncul karena :
Masalah terbesar adalah beberapa daerah terkendala jangkauan infrastruktur sehingga tidak semua lapisan masyarakat tersentuh kampanye digital. Kondisi ini memang real terjadi di lapangan, tidak semua daerah dapat menikmati fasilitas internet. Sehingga kampanye digital mayoritas hanya bisa dilakukan didaerah urban atau perkotaan.
Keraguan lainya karena kampanye digital dinilai mahal oleh masyarakat. Mahal, karena mereka harus mempunyai data/pulsa untuk menerima informasi digital di gawai mereka. Ini berbeda dengan metode kampanye lainnya, seperti iklan di televisi dan media outdoor lainnya, di mana masyarakat bisa melihat peraga kampanye dengan bebas tanpa harus mengeluarkan modal terlebih dahulu.
Selanjutnya adalah kurang seriusnya komunikator politik untuk menangani kampanye digital. Seringkali kampanye digital ditangani secara tidak profesional. Sehingga baik kualitas dan maksud kampanye tidak diterima dengan baik oleh masyarakat. Memang kita akui, untuk tingkat nasional, kampanye digital sudah menjadi target penting untuk menggiring opini dan mendulang suara, sehingga banyak profesional terlibat dalam prosesnya. Tapi untuk tingkat daerah, kampanye digital lebih sering dilakukan apa adanya, platform dan bentuk kampanye tidak kreatif, monoton dan tidak memanfaatkan keunggulan media digital. Apalagi ada batasan beriklan politik di media sosial (Sesuai Peraturan KPU, beriklan melalui media sosial terbatas14 hari sebelum masa tenang).
Kurang kreatif dalam memanfaatkan media digital juga bisa dilihat dari data Bawaslu (kompas.com, 22/10/2020), yaitu pada 10 hari pertama masa kampanye terdapat 9.189 pertemuan tatap muka (90,3 persen). Angka ini meningkat menjadi 16.468 kegiatan di 10 hari kedua masa kampanye (92,1 persen). Sedangkan untuk kampanye digital di 10 hari pertama masa kampanye, hanya ada 69 pertemuan daring (0,7 persen). Di 10 hari kedua, jumlah kampanye daring meningkat menjadi 98 kegiatan, namun, jika dipersentasekan angkanya turun jadi 0,5%.
Selain itu jangan lupa kenapa sering kampanye digital dinilai tidak efektif, yaitu karena persepsi, kultur dan kebiasaan melekat masyarakat. Dalam persepsi masyarakat kita kampanye adalah konvoi, arak-arakan, konser musik, pasar murah, jalan sehat berhadiah, dan seterusnya. Dengan persepsi tersebut kita tidak bisa menyalahkan ketika banyak pelanggaran protokol kesehatan selama kampanye, karena meskipun paslon tidak mengundang masyarakat untuk berkumpul, terkadang masyarakat secara sukarela berkerumun menyambut tokoh-tokoh idola mereka, karena demikian itulah kebiasaan dan budaya yang sudah mendarah daging selama kampanye.
Akhirnya, tidak ada yang sempurna dalam berkomunikasi, dalam setiap prosesnya akan selalu ada gangguan (noise) yang menghalangi pesan tersampaikan dengan baik. Namun hal itu bisa ditutupi dengan banyak cara dan metode komunikasi yang saling melengkapi. Seperti halnya kampanye digital akan selalu ada gangguan baik dari proses internal maupun dari unsur eksternal.
Tetapi menjadi perhatikan kita, meskipun sekarang belum menjadi metode utama dalam berkampanye tetapi kampanye digital bisa menjadi alternatif yang kreatif dan modern, sekaligus memberikan pembelajaran politik bagi generasi milenial sebagai digital native. Apalagi dimasa pandemi Covid-19, kita harus mengutamakan keselamatan bersama. Terlepas bahwa kampanye digital sudah menjadi bagian dari kampanye karena keunggulannya, ataupun masih sebatas ‘yang penting ada’. Tapi yang harus sama-sama kita sepakati bahwa kampanye digital merupakan pilihan paling aman untuk mencegah merebaknya Covid-19. Salam sehat. (*)
Penulis : Windra Irawan – Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Terbuka