PROSESNEWS.ID – Dalam proyek jalan dengan anggaran 116 milyar ini ditaksir merugikan negara kurang lebih mencapai 85 milyar rupiah. Sementara dalam kasus ini pihak kejati sudah memeriksa kurang lebih ratusan saksi.
Seikitnya sudah ada empat orang sudah ditetapkan menjadi tersangka. Masing-masing dengan inisial GTW selaku mantan Kepala Wilayah BPN Gorontalo, yang juga sebagai Ketua pelaksanan pengadaan tanah pembangunan Gorontalo Outer Ring Road (GORR) tahun 2014-2017.
Ada juga, mantan Kepala Biro Pemerintahan Pemprov Gorontalo dengan inisial AWB selaku KPA Pejabat Pembuat Komitemen. Terkait dengan pengadaaan tanah untuk GORR. Serta Appraisal dengan inisial PS dan IBR yang keduanya menilai bidang-bidang yang masuk dalam pengadaan tanah tersebut.
Hal ini dijelaskan Kepala Kejaksaan Tinggi Gorontalo, Firdaus Dewilmar. Ia mengungkapkan berdasarkan hasil penyidikan telah didapatkan alat bukti dan barang bukti terkait kasus GORR.
“Kami tim penyidik berhasil menerapkan 4 orang tersangka GORR berdasarkan alat dan barang bukti yang kami temukan,” ungkapnya.
Dalam kasus ini, Firdaus mengungkapkan keempat tersangka disangkakan dengan pasal 2, pasal 3 dan pasal 9 UU Tindak Pidana Korupsi.
“Kerugian negara sementara dihitung oleh UNG dengan jumlah 85 Milyar sementara untuk perhitungan konkritnya akan dihitung oleh BPKP perwakilan Gorontalo.
Dalam penetapan tersangka itu, praktisi hukum Gorontalo Salahudin Pakaya. Memiliki pandangan tersendiri persoalan penetapan tersangaka terhadap empat orang tersebut. Dia menyebut bahwa penetapan tersangaka itu prematur atau cacat hukum.
Menurutnya, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hanya dua lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan penilaian dan menghitung kerugian negara. Seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Disitulah kita melihat ada kerugian negara berdasarkan perhitungan lembaga resmi. Bukan diambil hasil penilaian dari Universitas, kemudian dijadikan dasar untuk menetapkan status tersangaka terhadap sesoorang,” tegas Salahudin.
Harus ada kerugian negara dulu dari BPK atau BPKP, baru kemudian dapat menetapkan seseorang menjadi tersangka. Salahudin pun meminta untuk bersama melihat undang-undang.
Sebuah proses penyidikan perkara korupsi kata Salahudin, harus benar-benar terpenuhi formil dan materil.
“Formilnya adalah undang-undang materil kerugian negara yaitu perbuatan melawan hukum. Sehingga terjadi kerugian negara,” urainya.
Regulasi juga bisa dilihat dari Peraturan perundang-undangan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006. Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”).
Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang dan menilai atau menetapkan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah BPK dan BPKP.
Dijelaskannya, sesuai dengan putusan Mahkamah menilai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipidkor. Terkait penerapan unsur merugikan keuangan negara telah bergeser dengan menitik beratkan adanya akibat (delik materil).
Begitu juga kata Salahudin, dengan unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss). Tetapi harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) dalam tipikor.
“Pencantuman kata ‘dapat’ membuat delik kedua pasal tersebut menjadi delik formil. Padahal, praktiknya sering disalahgunakan untuk menjangkau banyak perbuatan yang diduga merugikan keuangan negara. Termasuk kebijakan atau keputusan diskresi atau pelaksanaan asas freies ermessen, yang bersifat mendesak dan belum ditemukan landasan hukumnya. Ini bisa berakibat terjadi kriminalisasi dengan dugaan terjadinya penyalahgunaan wewenang.
“Saya tidak membantah kewenangan penyidik. Dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka itu adalah kewenangan yang diberikan penuh oleh UU kepada institusi penegak hukum,” bebernya.
Namun menurutnya, dalam hal perkara korupsi ada hal-hal khusus yang dilindungi oleh UU. Jika dulu untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka. Dalam pasal 2 dan pasal 3 kata DAPAT itu sudah merupakan potensi kerugian negara.
Hal tersebut di benarkan, akan tetapi setelah adanya putusan MK menghapus kata DAPAT. Sehingga harus ada kerugian negara secara nyata dulu baru bisa menetapkan seseorang sebagai tersangka. Begitulah aturan yangg harus dipatuhi oleh semua penegak hukum. (*)