
PROSESNEWS.ID – Rabu pagi 22 Oktober 2025. Aku mencari diary di antara lembar-lembar buku yang berbaris rapi. Kenangan 33 tahun lalu, saat aku menjadi santri masih terpatri lembut di sudut hati, seperti aroma kertas tua dari diary yang dulu selalu menemaniku. Setiap kata yang kutorehkan menjadi cermin perjalanan jiwa, mengabadikan tawa dan tangis yang berpadu dalam harmoni kehidupan pesantren. Kini, ketika kubuka kembali lembar-lembar itu, seakan kudengar lagi suara lonceng madrasah, aroma ikan kotak di dapur pesantren, dan bisik lembut masa lalu yang berkata, di sanalah, aku pertama kali belajar mencintai hidup dengan pena dan doa.
Cinta santri terhadap menulis menjadi wujud nyata bagaimana tradisi literasi tidak mati di tengah dunia digital. Menulis bukan sekadar menuangkan kata, tetapi juga bentuk ibadah, ekspresi ilmu, dan media dakwah yang menjembatani masa lalu dan masa depan.Kini, menulis bagi santri tidak lagi terbatas pada buku catatan di kelas. Dengan teknologi digital, santri dapat menulis di blog, media sosial, bahkan jurnal ilmiah. Mereka dapat membagikan gagasan ke seluruh dunia dengan sekali klik. Pena berganti menjadi papan ketik, namun terus berharap semangatnya tetap sama, menebar ilmu, menanam hikmah, dan menyebarkan kebaikan.
Dunia digital memberi ruang luas bagi santri untuk berkontribusi, menulis opini, membuat karya sastra, atau membangun gerakan literasi yang bernilai spiritual. Dengan pena, ia mengabadikan ilmu. Dengan doa, ia menjaga moral generasi. Keduanya berpadu menjadi kekuatan yang membentuk wajah generasi yang beriman, berilmu, dan beradab. Di tengah gempuran modernitas, santri tetap berdiri tegak berilmu tanpa kehilangan adab, berteknologi tanpa kehilangan iman.
Hari Santri mengingatkan bahwa peradaban lahir dari kesungguhan belajar, kekuatan doa, dan keberanian menulis. Santri yang menulis adalah santri yang hidup dalam dua dunia, yaitu dunia ilmu dan dunia amal. Dari pena dan doa mereka, generasi tumbuh sebagai generasi yang cerdas, berakhlak, dan bermartabat.
Dari bilik-bilik pesantren yang sederhana, lahirlah para pejuang, pemikir, dan ulama yang menulis bukan hanya kata-kata, tetapi juga peradaban. Kini, di tengah dunia modern yang serba digital, semangat itu tetap relevan karena bangsa yang besar bukan hanya dibangun oleh kekuatan senjata, melainkan oleh pena dan doa. Selama santri terus mencintai menulis, mereka akan selalu menjadi pelita ilmu di tengah gelapnya zaman. Karena sejatinya, santri dapat membaca masa lalu, dan juga menulis masa depan.













