PENULIS : Kusmawaty Matara
- Prolog
Sebagai titik ungkit lahirnya budaya local (local wisdom) dalam sejarah peradaban manusia, dimana Allah SWT tidak saja menciptakan manusia dalam bentuk laki-laki dan perempuan, akan tetapi telah menyempurnakan-Nya dengan menjadikan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, dengan tujuan agar kita saling kenal-mengenal, ditengah perbedaan suku,ras, budaya dan adat-istiadat.
Salah satu bagian dari budaya luhur itu adalah yang kita sebut kearifan lokal (local wisdom). Secara umum, kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius.
Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat, yang biasanya diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, melalui cerita dari mulut ke mulut dan sarana budaya lain. Kearifan lokal ada di dalam aturan adat, cerita rakyat, peribahasa, lagu, dan permainan rakyat.
Namun, nilai-nilai kearifan lokal tidak berada dalam ruang vakum. Zaman terus berkembang. Ada tantangan modernitas. Kemudian, fenomena globalisasi dan kemajuan teknologi informasi telah memungkinkan ideologi transnasional, nilai-nilai intoleransi, dan paham radikalisme menyusup masuk ke Tanah Air. Mereka masuk lewat cara-cara propaganda, hoaks, disinformasi, yang disebarkan dengan mudah lewat media daring (online) dan media sosial. problem serius yang ditimbulkan tentunya dapat menggerogoti nilai-nilai keragaman, kerukunan, toleransi, dan kebersamaan, yang termaktub dalam sila-sila Pancasila. Padahal Pancasila bukan sekadar ideology an sich, lebih dari itu, adalah dasar negara, sehingga jika Pancasila dilemahkan maka kelangsungan negara ini juga akan terancam.
Kondisi ini memerlukan perhatian keseriusan bersama seluruh masyarakat dan komponen bangsa untuk memikirkan dan mencari cara, bagaimana mengatasi propaganda, hoaks dan disinformasi, yang telah menyebarkan ajaran kebencian, intoleransi, dan paham radikalisme ini. Salah satu cara yang ditawarkan oleh tulisan ini adalah dengan memberdayakan kembali kearifan local “Falsafah Gorontalo untuk melawan hoaks””.
- Budaya Gorontalo Anti Hoaks
Budaya Gorontalo yang dikenal dengan falsafah “Adat bersendikan Syara’ dan Syara’ bersendikan Kitabullah”, menyimbolkan bahwa seluruh budaya yang lahir dan menjadi adat kebiasaan secara turun-temurun berdasar pada sari Qur’an, hal ini juga menegaskan bahwa masyarakat Gorontalo mayoritas beragama Islam. Disisi lain, falsafah diatas telah diterjemahkan dalam bentuk tutur lisan, yang disarikan dari nilai Adat, Syariat, dan Quran. dalam bentuk tutur lisan; (1) Paduma, berupa kata-kata yang pasti, pesan, mudah dimengerti oleh pihak kedua (lawan bicara) sebagai panduan, dibuat atau disusun oleh Dewan Adat, (2) Wulito, berupa kata kata yang sudah tersusun sehingga maksud-maksud dapat tersampaikan dengan santun, terjaga dari kesalahan dalam menyampaikan, sudah terpola sedemikian rupa sehingga tinggal menggunakannya, temasuk didalamnya melawan hoaks, dan (3) Palebohu, berupa kata-kata yang lebih nyata, sesuai dengan keadaan, kata-kata berupa nasehat, disampaikan oleh Bate pada akahir-akhir acara adat
Hal ini menjadi rujukan bersama dalam bermasyarakat dan bernegara penduduk Gorontalo. Dalam konteks ini tatanan adat Gorontalo telah mengajarkan kepada penduduknya agar perilakulah sesuai dengan syariat dan Qur’an, jangan melakukan perbuatan yang tidak baik, bila ada persoalan maka harus diselesaikan dengan cara kekeluargaan, dalam konteks kerajaan Gorontalo dulu, semua dalam Pengawasan Tau’a, Sami’na Wato’na. Kalau ada gerakan-gerakan melawan harmoni pasti segera di tumpas karena para pemegang kendali mewarisi pesan petuah. salah satunya budaya tutur, yang banyak kita jumpai dimasyarakat. Dalam konteks ini penulis hanya menjelaskan terkait dengan budaya anti hoaks dan anti pertengkaran.
- “Openu Demo Putih Tulalo, Bo Dila Moputi Baya”.artinya biarlah tulang yang putih, asal jangan wajah yang pucat karena menanggung malu, akibat melakukan sesuatu yang tidak benar/berbohong, memfitnah dll. Falsafah ini mengaskan bahwa tradisi dan sikpa masyarakat gorontalo sangat menjujung
- Poleleya upilotuhumu, wau pohutuwa upelo lelemu, artinya katakana apa yang sudah engkau kerjakan, dan kerjakan apa yang sudah engkau katakan. Tidak boleh ingkar janji, memutarbalikkan fakta. Dalam konteks ini, adat Gorontalo memadukan antara satunya perbuatan yang perkataan, seperti yang diajarkan oleh islam. Jujur, benar, adil dan lain sebagainya.
- Tau’wa lo loiya, Loiya lo Taua artinya kalau Tau’wa (Khalifa) Sudah bicara tidak ada Lagi Perlawanan, seluruh maysarakat yang mendengar harus Sami’na Watana itulah yang jadi pedoman yang berlaku, untuk harus dilaksanakan, jika ada yang melanggar pasti akan kena hokum adat.
- Ode momata potipiya, mohohayuw hemetiya, mogigimbida umopiya, artinya Berperilakulah dengan baik, yang buruk akan menjauh, kebaikan akan mendekat, Dijadikan ungkapan pemberi nasehat kepada raja dan keluarga kerajaan agar berperilaku baik, tidak memproduksi fitnah, jika ada fitnah harus dikonfirmasi terlebih dahulu agar tidak, agar masalah tidak menjalar kemana-mana.
- Openu de talawema bo diila talangata, artinya Biar terlanjur hemat, asal jangan salah harap, falsafah ini bermakna kehati-hatian dan selalu berusaha karena jika lalai dapat membahayakan banyak orang, termasuk lalai dalam mengelola informasi, jangan menyebarkan hoaks.
- “to mato to matolo, to bulonga to bulongalo” artinya yang terlihat oleh mata, cukup dimata saja, yang terdengar oleh telinga cukup ditelinga saja, jangan mengambil kesimpulan secara gegabah. Karena bisa saja yang terlihat-terdengar berbeda makna dan arti dari yang sesungguhnya, dalam mengelola informasi harus disharing dulu sebelum dishare.
Beragam pesan falsafah Gorontalo, yang termaktub dalam Paduma, Wulito dan Palebohu, yang kerap di perdengarkan oleh para tetua adat disetiap acara adat, baik penikahan, pembai’tan, pelantikan pejabat baru, yang bertujuan untuk tidak melakukan perbuatan diluar apa yang telah diatur dalam syaria, dan Qur’an, dalam konteks menangkal hoaks, bahwa proses adat yang telah dipesankan melalui, Paduma, Wulito dan Palebohu, merupakan pesan yang harus dijalankan oleh penerima pesan, tidak boleh melanggar, walaupun hanya berupa pesan dan perjanjian, akan tetapi perjanjian yang telah terucap, hakekatnya merupakan perjanjian yang bersangkutan dengan Allah SWT.
Pentingnya menangkal Hoax dengan kearifan lokal dalam masyarakat Gorontalo, yang banyak sekali tutur lisan dan perumpamaan yang secara substansi mampu mengatasi pertengkaran, apalagi fitnah yang kerap diproduksi oleh informasi Hoax.
Konteks kebudayaan yang lahir dan diwariskan secara turun temurun, inilah yang mestinya dijadikan benteng menegakkan budaya dan kearifan local. Kearifan lokal, pastinya mempunyai kemampuan mengendalikan sekaligus memberi arah pada perkembangan budaya, lebih khusus lagi dalam kehidupan masyarakat Gorontalo.
Kemampuan bagaimana membangun adab dalam berkomunikasi, sudah tentu akan menghilangkan semakin massifnya penyebaran berita Hoax.
- Membumikan Falsafah Gorontalo Untuk Melawan Hoaks
Harus diakui, begitu banyak kearifan lokal di Indonesia, tercatat dalam rangkaian sidang UNESCO di Paris lalu, Indonesia disebut sebagai salah satu negara adidaya dalam hal keragaman budaya. Sudah puluhan budaya Nusantara ini diakui sebagai warisan dunia dan warisan dunia tak benda.
Sejak dulu melalui kearifan lokal para orang tua kita sudah mengajarkan agar tidak menyebarkan berita hoax. “Dila podelo fitana” merupakan salah satu contoh tutur lisan di Gorontalo, sebuah larangan yang ditunjukan kepada orang yang suka menguping dan menyebarluaskan apa yang ia dengar sambil ditambah-tambahkan. Bukankah larangan ini mempunyai korelasi terhadap masalah hoax?
Mengapa Hoaks, disrupsi informasi, serta Hasutan Kebencian perlu dilawan, karena; (1) Merendahkan martabat manusia, hasutan itu bahkan seringkali menyasar manusia yang sudah rentan dan terpinggirkan; (2) Menyuburkan prasangka dan diskriminasi, hasutan kebencian bisa mengakibatkan pengucilan dan diskriminasi; (3) Dapat memicu kekerasan/kejahatan kebencian, kerugian material dan korban kekerasan berbasis identitas seringkali lebih besar daripada kekerasan lainnya; (4) Dapat memicu konflik, hasutan bisa meluas menjadi konflik antar kelompok dan paling buruk dapat menyebabkan pembersihan etnis (ethnic-cleansing); contoh kecil kasus papua yang terjadi baru-baru ini.
Inilah yang ingin penulis sampaikan, kearifan lokal yang merupakan bagian budaya suatu masyarakat, yang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan masyarakat, atau pengetahuan yang ditemukan oleh masyarakat lokal dan diwariskan secara turun temurun, dari satu generasi ke generasi melalui sastra lisan, adalah kekuatan melawan hoax yang harus kita bumikan. Kearifan lokal memiliki ciri khas, mampu bertahan dan mengakomodasi budaya luar serta mempunyai kemampuan mengendalikan dan memberi arah pada perkembangan budaya.
Konteks kultural seperti inilah yang seharusnya menjadi pegangan masyarakat dalam bertutur dan bersikap. Masyarakat Gorontalo mengenal ungkapan, “Dila bo pomilaya, dadata arinaya (Jangan lengah, banyak ancaman yang meng-gorogoti) konteks tulisan ini falsafah ini berpesan Waspada setiap saat karena ancaman bisa datang tanpa di diduga, termasuk mewaspadai berita hoaks dan disrupsi informasi, atau “Wonu motu’alo tahu-tahudu u lapalo artinya Kalau gegabah sulit terhindar dari keliru. Falsafah ini bermakna kehati-hatian, karena gegabah malapetaka imbalannya, dalam konteks kajian ini setiap informasi harus di sharing dulu sebelum dishare ke public, agar tidak menimbulkan malapetaka baik diri sendiri, keluarga dan masyarakat luas, dan masih banyak lagi. Kalau masyarakat membumikan kebiasaan itu dan menjadikannya sebagai mindset yang diajarkan orang-orang tua kita, saya percaya secara substansi mampu mengatasi pertengkaran, apalagi fitnah yang disebar luaskan oleh pelaku-pelaku hoax.
Kedepan Tutur lisan ini diharapkan menjadi solusi alternative dalam menangkal hoaks-radikalis-teroris. Harapan ini tentunya memiliki beberapa tantangan. Selain tutur lisan ini cenderung hanya ada pada literature terbatas dan personal tertentu saja, tutur lisan ini juga dihadapkan pada generasi yang kurang lancar dalam berbahasa Gorontalo. Terkait dengan upaya membumikan sekaligus melestarikan tutur lisan sebagai “local genius” falsafah Gorontalo. Sejatinya dapat dilakukan sosialisasi pada masyarakat usia sekolah dengan cara membuat madding atau menempelkan kata kata bertuah pada dinding sekolah. Tujuannya agar generasi terdidik akan lebih terbiasa (familier) pada tutur tersebut. Selain itu pada masyarakat milenial, dapat menginternalisasikan tutur lisan Gorontalo dengan melakukan “zona notifikasi tutur lisan” pada smart phone bekerjasama dengan pelaku “infrastruktur langit” . Selain itu dibutuhkan pemetaan daerah dalam menyebarkan pesan-pesan Gorontalo, untuk mengingatkan kembali pada tutur lisan yang memiliki makna dan peran sebagai daya tangkal hoaks-radikalis-teroris di Gorontalo.
Pada akhirnya penulis berharap pemerintah bisa membuat program khusus dalam menghidupkan kearifan lokal. Berupa muatan lokal di sekolah-sekolah atau membuat festival budaya, seminar tentang pentingnya kearifan lokal sebagai pegangan masyarakat agar tidak kehilangan identitasnya sebagai warga negara Indonesia.
- Daftar Pustaka.
- Jassin, H.B. 1993. Buku Panduan Anugerah Gelar Adat Duluwo Limo Lo Pohala’a Gorontalo. Jakarta: Perpustakaan Nasional.
- Nugroho, Septiaji Eko, “Upaya Masyarakat Anti Fitnah Indonesia Mengembalikan Jatidiri Bangsa Dengan Gerakan Anti Hoaks”, dalam Prosiding Konferensi Nasional Peneliti Muda Psikologi Indonesia. Vol. 2, No. I, 2017, Hal. 1-4.
- Gunawan, Budi dan Barito Mulyo Ratmono. 2018. “Kebohongan di Dunia Maya; Memahami Teori dan Praktik-Praktinya di Indonesia”. Jakarta PT. Gramedia.