PROSESNEWS.ID – Pada hari-hari belakangan ini, kantor-kantor partai mulai ramai lagi setelah hajatan Pemilu barusan. Banyak kandidat yang mendaftarkan diri ke partai-partai untuk mendapat surat tugas, rekomendasi hingga SK Penetapan Calon.
Di Gorontalo sendiri, ada 7 kontestasi ; Pilgub dan enam Pilbup. Semua merasa berkeyakinan, ada juga yang sedikit nekat, akan mendapatkan tiket pada Pilkada. Di enam Kabupaten/Kota yang melaksanakan Pilkada termasuk Pilgub, harus diakui bahwa ada yang selama ini baru sebatas dipercakapkan di dunia nyata, belum di dunia maya.
MEMOTRET PERCAKAPAN
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, percakapan adalah perilaku harian manusia. Sebelum ada media sosial, percakapan dari mulut ke mulut bisa diukur dengan melakukan survey kuantitatif.
Sejak 2005, The Gorontalo Institute melakukan survey mengenai opini publik baik untuk Pilkada maupun untuk hal-hal lainnya. Dalam setahun hampir 2 – 3 kali survey. Namun sejak 5 tahun belakangan, frekuensi melakukan survey seperti itu jarang lakukan. Lebih condong ke riset-riset kualitatif dan pengukuran digital.
Perkembangan pengukuran opini publik pun kini berubah. Percakapan dan opini sudah bisa diukur lebih real time, bisa harian dan bahkan per jam.
Percakapan yang dulunya dari mulut ke mulut, kini hampir sama dengan percakapan di beranda media sosial. Siapa yang paling banyak diperbincangkan di media sosial (dunia maya), dia juga yang paling banyak diperbincangkan di dunia nyata.
Dari percakapan di media sosial, kita bisa lebih mendalami topik, isu, paparan, sentimen, singgungan, volume, engagement, reach, hingga rasio interaksi.
Mengapa percakapan digital sama dengan percakapan face to face, mulut ke mulut? Karena hampir semua orang memegang gadget, hampir semua orang pula mengakses informasi di media sosial, pun demikian hampir semua orang beropini di media sosial. Media sosial merepresentasikan perilaku manusia sehari-hari.
MENGUKUR SENTIMEN
Pertanyannya, apakah sentimen di media sosial juga sama dengan sentimen di dunia nyata? Jelas sama. Setiap orang memiliki kecenderungan yang sama dalam sentimen. Kenapa sentimen diukur? Sebab dengan mengukur sentimen kita bisa melihat bagaimana opini publik terhadap “sesuatu” apakah itu person atau brand tertentu.
Jika misalnya kita mengukur sentimen dalam politik, siapa yang sentimen positif tinggi, selalu linier dengan sentimen kuantitatif yang kita ukur melalui survey. Jika sentimen negatif, maka begitu pula sentimen yang real di masyarakat.
“Temuan” dari riset The Gorontalo Institute adalah hasil dari perbandingan pengukuran yang dilakukan beberapa tahun terakhir. Dalam dua kali survey kuanti dan enam kali pengukuran sentimen digital, datanya selalu linier.
OPINI DAN BRAND
Dari riset tahun lalu, temuan yang penting adalah opini publik baik di media sosial maupun di dunia real, memiliki kecenderungan untuk mengikuti wacana dan isu dominan. Bandwagon effect tidak saja berlaku di dunia real, tetapi juga di ranah digital. Publik akan “terseret” pada opini mayor, namun konsistensi opini dalam hal yang subtil adalah pilihan, tergantung pengelolaan isu dan wacana.
Namun, besaran volume percakapan dan jumlah singgungan tidak serta merta akan linier dengan sentimen, sebab jika sentimen dominan negatif, maka hasilnya pasti buruk.
Jika “brand” tertentu tidak “dirawat” konsistensi isu dan wacananya, maka pasti akan fluktuatif, sentimen tidak berada pada titik stabil. Ketidakstabilan sentimen dalam pengukuran opini (contohnya pengukuran id party pada partai politik) akan menghasilkan kecenderungan ketidakstabilan id party partai politik tersebut.
Hal yang sama berlaku bagi brand atau merk perusahaan atau institusi publik. Brand tidak bisa diperlakukan lagi seperti sesuatu yang statis. Brand harus mengikuti alur opini publik atau bahkan men-drive opini publik.
Dulu, beberapa brand di Gorontalo cukup kuat sentimennya. Misalnya, milu siram Ci Kia, nasi kuning Hola, dll. Hingga brand sekarang seperti ilabulo diponegoro, nasi kuning asrama haji, milu siram telaga biru, sate kanari telaga dll, adalah hasil percakapan dari mulut ke mulut. Empat brand terakhir adalah kombinasi percakapan dari mulut ke mulut dan percakapan digital. Sentimen terkait brand diatas selalu positif. Brand diatas walaupun “fashion” dan pelayanan pelayan masih bersifat tradisional, namun bukan itu yang dikonsumsi, yang dikonsumsi adalah pemuasan hasrat dan selera yang hal tersebut diunggah ke media sosial untuk mendapatkan pujian dan pertanyaan.
Kecenderungan brand ke depan adalah perkawinan sentimen digital harus positif, strategi word of mouth yang kuat, dan isu/wacana/topik yang beririsan dengan selera, hasrat dan opini publik. Jika tidak, maka siap-siap brand tersebut akan ditinggalkan oleh publik/konsumen. Hal yang sama dengan citra institusi publik, atau yang sedang in adalah elektabilitas kandidat politik.
Di beberapa negara maju, kecenderungan perilaku manusia telah dapat dianalisis dari berbagai macam input data. Misalnya, ada perusahaan yang kerjanya hanya mengumpulkan bill pembayaran (nota) di jaringan toko retail. Data ini jika dikumpulkan dalam waktu yang lama bisa mengukur perilaku konsumsi masyarakat. Dari data pembayaran bisa mengukur kecenderungan orang membeli apa pada jam apa, dan suka produk apa, setiap orang bisa diukur berapa uang yang dikeluarkan di toko-toko retail tersebut. Sehingga, analisis big data tersebut bisa melakukan pemodelan dan melakukan justifikasi mengenai pengembangan brand.
Kemenangan beberapa kandidat termasuk Prabowo pun demikian, big data menjadi kata kunci kemenangan. Perekaman perilaku pemilih di media sosial dalam kurun waktu tertentu telah menghasilkan serangkaian data mengenai perilaku pemilih Presiden. Justifikasi kampanye Prabowo pada Pilpres 2024 mengenai perubahan gaya yang tegas, sangat disiplin, kuat, hingga nasionalis, berubah 180 derajat menjadi gemoy yang disertai goyangan adalah hasil riset panjang mengenai sentimen pemilih, dan hal tersebut yang malah berhasil memenangkan Prabowo. Termasuk instrumen Mayor Teddy pada minggu tenang yang berhasil meraih simpatik pemilih perempuan.
Jika ditelisik lebih dalam, pilihan isu itu (walaupun negatif dalam konteks demokrasi) adalah hasil dari pengolahan data time series yang cukup panjang dan hasil simulasi data digital dan data real.
Jadi, justifikasi terhadap pilihan-pilihan strategi penguatan brand baik institusi maupun personal, mengalami kecenderungan untuk bisa mengawinkan banyak hal dan data serta metode. Jika tidak, gugurnya brand besar baik institusi dan person, akan semakin tinggi.
NAMA BAIK DAN NAMA BESAR
Hal yang sama terjadi di Pemilu barusan di Gorontalo. Rumusan-rumusan isu yang dipercakapkan di media sosial akan mengarahkan sentimen publik dalam menentukan pilihan. Semakin bagus kualitas percakapan di media sosial, khususnya dalam pengelohan isu, wacana, dan gagasan kandidat, maka sentimen positif akan semakin mengerucut. Tentunya hal itu mesti beririsan dengan kebiasaan dan konteks sosio-antropologis masyarakat. Sebab, setiap individu selalu memili latar belakang kultural sebagai memori yang menjadi basis dalam menentukan.
Oleh karena itu, jarak kurang dari 2 bulan jelang pendaftaran di KPU, tentu saja partai politik akan mempertimbangkan kandidat yang memiliki potensi elektabilitas tinggi, komunikasi yang lancar hingga sumber daya yang dimiliki. Pengalaman Pemilu 2024 yang banyak “mengubur” nama-nama besar adalah pelajaran. Era “nama besar” dari kandidat bisa berakhir jika “nama besar” tersebut tidak dikawinkan dengan “nama baik”. Nama baik yang dimaksud adalah formulasi representasi nilai-nilai diri kandidat yang beririsan dengan sentimen pemilih.
“Nama baik” adalah kepemilikan gagasan dan ide, kebaikan personal seperti jika dibutuhkan selalu hadir, tempat menerima keluhan, jika dimintai bantuan selalu berupaya bisa membantu. Yang parah adalah sudah tidak memiliki nama besar, juga tidak ada nama baik. Sudah gagasan dan ide untuk membangun daerah tidak punya, pada konteks keseharian “tampa mo lari akan lo masyarakat kalo ada kebutuhan” juga tidak pernah mau melayani.
Pada Pilkada Gorontalo kali ini, dari beberapa nama yang memiliki keinginan untuk ikut kontestasi, sebagian besar memiliki nilai minus, minus gagasan, minus ketokohan, minus kebaikan, namun hal tersebut tidak linier dengan satu hal: percaya diri over dosis.
Percaya diri yang dimiliki kandidat termasuk tim sukses bisa dibolehkan sepanjang hal tersebut terukur secara kuantitatif termasuk dalam rekaman sentimen opini publik secara digital. Sayangnya, sebagian besar daripada itu malah anti sesuatu yang ilmiah. Termasuk hanya bertumpu pada satu pola: basiram, kuti-kuti, serangan fajar.
Padahal instrumen tersebut bukan pilihan utama dan satu-satunya. Jika misalnya fenomena politik uang terjadi secara massif pada Pemilu, hal tersebut tidak bisa linier dan berbeda dengan konteks Pilkada yang menjadi arena kontestasi formulasi gagasan dan ide yang menjadi tumpuan masyarakat. Pilkada hanya diikuti sedikit orang-orang yang telah terseleksi secara ketat dengan akumulasi nama besar dan nama baik yang positif. Bahwa “resoruces” dibutuhkan pada sebatas operasional dalam rangka menaikkan sentimen positif pemilih.
Karena itu, waktu yang tersisa kurang dari dua bulan jelang pendaftaran Pilkada adalah rentang waktu pendek yang harus dimaksimalkan, agar setiap menit dan jam tidak lewat begitu saja, dengan pola yang santai, apalagi bersifat menunggu keajaiban.