PROSESNEWS.ID – Sudah setahun lebih setelah bencana 28 September. Para korban kini, masih mendiami beberapa Hunian Sementara (Huntara), yang tersebar di beberapa titik Kota Palu. Masih juga mengalami, beragam persoalan terkait masa depan mereka pasca bencana.
Hal ini disampaikan Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) Kota Palu Azman Asgar. Dia mengatakan, kini yang kembali menjadi polemik adalah soal surat kesepakatan antara calon penghuni hunian tetap (Huntap). Dalam hal ini, korban berdampak langsung dan pihak Buda Tsu-Chi.
“Bagi saya, apa yang menjadi saran dan kritik DPRD Kota Palu. Terkait kejelasan, pasal-perpasal di dalam perjanjian itu harus dijelaskan secara rinci. Transparan dan melibatkan banyak pihak, sebab itu urusan publik khususnya bagi korban bencana,” ujarnya.
Azman mengatakan, memang dalam pasal yang mengatur waktu penghunian, tidak dijelaskan perihal maksud dari batasan waktu 120 bulan itu. Hal ini bisa, menjadikan beragam tafsiran yang dikemudian hari bisa menjadi polemik. Tentunya, akan berdampak pada korban yang akan mendiami hunian tetap itu.
Menurutnya, jika klarifikasi waktu hunian 120 bulan itu terkait soal jual beli, dengan dalil “tidak boleh diperjual belikan selama kurun waktu 120 bulan”, maka hal itu justru semakin ambigu.
“Harusnya Hunian tetap (huntap) itu tidak boleh diperjual belikan lagi. Tanpa ada embel-embel aturan waktu. Itu artinya, Huntap itu boleh dijual korban, jika tenggang waktu pemakaiannya 120 bulan sudah selesai. Ini akan berpotensi memicu konflik dikemudian hari,” bebernya
Lebih lanjut kata Azman, seharusnya ada ketegasan dalam pasal itu. Apakah bisa diperjual belikan atau tidak. Jika tidak ingin diperjual belikan, maka isinyapun harus jelas. Penghuni hunian tetap, nantinya tidak boleh memperjual belikan, hunian tersebut. Begitupun sebaliknya, agar tidak menimbulkan tafsir yang berbeda nantinya.
Polemik seperti itu kata Azman, akan semakin sering terjadi. Karena itu, tidak bersifat alamiah. Melainkan lahir dari sistem, penanganan bencana yang mengurangi peran negara. Hal ini yang disebut dengan skema penanganan bencana, ala neoliberalisme.
Menurutnya lagi, dampak dari skema neoliberal seperti itu. Akan banyak melahirkan organisasi non pemerintah (Ornop), yang bergerak di bidang filantropi, punya power penuh. Sekaligus menjadikan negara, dalam hal ini Pemkot, hanya sekedar menjadi penyedia data saja, tidak lebih.
Dalam kasus polemik Huntap Buda Tsu-Chi, Pemerintah dan organisasi yang intens melakukan kerja-kerja advokasi. Maka hak dasar korban bencana, harus ikut dilibatkan penuh dalam hal perjanjian semacam itu. Agar tidak menjadi polemik yang terjadi seperti sekarang ini.
“Saya kira, kritik dari salah satu Aleg dari Partai NasDem Mutmainah Korona itu baik buat pemerintah kita. Itu bentuk membangun Marwah Pemkot, sebagai pihak pemerintahan tertinggi di Kota Palu. Tidak boleh, dilihat semata-mata urusan politis,” pungkasnya.