PROSESNEWS.ID, Buton Tengah – PT. PLN Persero Tbk (UP3) Baubau, cq ULP Mawasangka, disomasi oleh salah salah satu warga yang dinilai sangat tidak profesional dalam menjalankan tugas pelayanan terhadap warga masyarakat Kecamatan Mawasangka, Buton Tengah, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Surat somasi/pemberitahuan tersebut dilayangkan oleh Ibu Hayati, yang berdomisili di Kelurahan Mawasangka, Kecamatan Mawasangka, melalui kuasa hukumnya, La Ode Muhammad Arfan, SH dan partner.
Dikatakan Arfan, somasi yang dilayangkan oleh kliennya kepada pihak PLN ULP Mawasangka karena enggan melakukan pemasangan instalasi listrik atau meteran baru dengan alasan yang tidak jelas.
“Jadi sejak tahun 2020 klien saya ajukan pemasangan meteran baru yang beralamat di Kelurahan Watolo, namun sampai tahun 2024 ini belum terpasang juga,” ucap La Ode Arfan saat dikonfirmasi oleh tim Prosesnews.id, Kamis (11/07/2024).
Dari alasan yang diterima, sambung Arfan, pihak ULP Mawasangka menolak sebab lokasi rumah diduga berada di tanah (tumpang tindih) milik PT PLN dengan luas 4100 m².
Sementara itu, pemilik rumah atas nama Ibu Hayati saat ini juga telah mengantongi sertifikat hak milik (SHM) yang sah dikeluarkan oleh pihak BPN Buteng.
“Pihak PLN menolak hanya berdasarkan asumsi kalau lokasi rumah klien saya ada di atas tanah milik PLN yang bersertifikat HGB No. 00003 dengan luas 4100 m². Padahal jika ditelaah, rumah klien saya telah tersertifikasi dengan nomor sertifikat 01555 dengan luas 592 m² jika dilihat dari aplikasi satelit BPN secara jelas posisinya bersebelahan dan tidak tumpang tindih,” sambung Arfan.
Menurut Arfan, hal itu diperparah dengan tidak terpasangnya batas batas tanah dari pihak PLN ULP Mawasangka terhadap tanah mereka sehingga memunculkan asumsi mengklaim batas tanah dengan pemilik lahan yang bersebelahan.
“Tentunya ini bertentangan dengan PP No 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, yang mewajibkan pemilik lahan untuk mengetahui batas tanah dan menjaga, memelihara patok tanah miliknya agar dapat menghindari asumsi pengklaiman batas tanah tanpa dasar hukum yang jelas,” katanya.
Akibat tidak mendapat pelayanan listrik, masih kata Arfan, anak dari kliennya terpaksa harus mengungsi di rumah familinya apabila menjelang malam hari.
“Ini sudah terjadi sejak tahun 2020 tanpa listrik. Tentu ini merugikan kepentingan klien saya dan anak anaknya, terlebih listrik merupakan kebutuhan dasar warga negara dan pengingkaran atas itu merupakan perbuatan melawan hukum,” ulasnya.
Terlebih, terangnya, ada dugaan kalau pihak ULP Mawasangka terkesan seolah mempersulit kliennya dalam persyaratan pemasangan meteran listrik.
“Syaratnya itu harus ada alas hak yang sah. Klien saya memiliki itu yang di terbitkan oleh BPN Buteng, artinya bahwa sertifikat itu secara hukum telah mendapat perlindungan, pengakuan berdasarkan asas hukum administrasi negara (Presumtio Lustea Causa),” jelasnya
“Saya tegaskan juga bahwa tanah milik PLN Mawasangka dan klien saya tidak tumpang tindih dan memiliki patok yang jelas (rumah klien).
Olehnya itu, Arfan berharap, pihak PLN bisa memberikan pelayanan listrik terhadap kliennya dan menyarankan agar persoalan batas tanah tidak menjadi dasar untuk menunda atau menolak permohonan kliennya sebagai warga negara.
Sebab, terang Arfan, tidak ada dasar hukum yang melegalkan tindakan PT PLN untuk melakukan penolakan atau penundaan pelayanan.
Diakhir, Arfan mengatakan, kalau dalam jangka waktu 7 hari sejak surat somasi dilayangkan pihak PLN belum memberikan pelayanan, maka dengan terpaksa jalur hukum akan ditempuh.
“Dengan sangat terpaksa kami akan menempuh jalur hukum yang berlaku, baik perdata, PTUN (melayangkan gugatan ke pengadilan) maupun pidana (membuat laporan polisi mengenai dugaan tindakan kesewenang-wenangan/penyalahgunaan wewenang, perbuatan melawan hukum),” tutup Arfan
Reporter: Arwin