
Penulis : Erwinsyah Ismail, S.Ikom
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Pascasarjana Universitas Fajar-Makassar
PROSESNEWS.ID – Era digital telah secara fundamental mengubah lanskap komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Media sosial, dengan jangkauannya yang masif dan kecepatannya yang instan, telah menjadi arena baru bagi diskursus publik. Di Indonesia, fenomena ini diperkuat oleh peran Aparatur Sipil Negara (ASN) yang kini tidak hanya berfungsi sebagai pelaksana kebijakan, tetapi juga sebagai komunikator dan diseminator informasi pemerintah.
Di Provinsi Gorontalo, para ASN secara aktif menggunakan platform media sosial pribadi mereka untuk menyebarluaskan agenda dan capaian kerja pemerintah daerah. Praktik ini, di satu sisi, dipandang sebagai terobosan dalam transparansi dan akuntabilitas. Namun, di sisi lain, ia memunculkan pertanyaan kritis: Apakah penyebaran informasi ini berhasil menciptakan ruang publik yang sehat dan deliberatif sebagaimana diidealkan oleh filsuf dan sosiolog Jerman, Jürgen Habermas?
Tulisan ini akan menganalisis praktik penyebaran informasi oleh ASN di media sosial terkait agenda kerja Pemerintah Provinsi Gorontalo melalui lensa teori ruang publik (public sphere) Habermas. Analisis ini bertujuan untuk mengevaluasi apakah platform digital yang dimediasi oleh ASN ini telah bertransformasi menjadi ruang publik yang otentik tempat berlangsungnya diskursus rasional kritis atau sekadar menjadi kanal propaganda satu arah yang justru menegaskan kembali struktur kekuasaan yang ada. Dengan demikian, kita dapat memahami potensi dan tantangan yang dihadapi dalam upaya membangun pemerintahan yang partisipatif di era digital.
Konsep Ruang Publik Ideal Menurut Jürgen Habermas
Untuk memahami kompleksitas isu ini, penting untuk terlebih dahulu mengupas konsep fundamental dari Jürgen Habermas. Dalam karyanya yang monumental, The Structural Transformation of the Public Sphere (1989), Habermas melacak kemunculan “ruang publik borjuis” pada abad ke-18 di Eropa. Ruang publik ini bukanlah sebuah lokasi fisik semata, melainkan sebuah ranah diskursif di mana individu-individu privat berkumpul untuk terlibat dalam perdebatan rasional-kritis mengenai isu-isu kepentingan umum. Ruang ini, yang terwujud dalam kedai kopi, salon, dan media cetak awal, berfungsi sebagai mediator antara negara (otoritas publik) dan masyarakat sipil (ranah privat).
Menurut Habermas, terdapat beberapa syarat ideal bagi sebuah ruang publik yang berfungsi secara sehat:
Akses Universal (Keterbukaan): Semua warga negara harus memiliki akses yang setara untuk berpartisipasi dalam diskursus.
Penghapusan Status: Di dalam ruang publik, argumen dinilai berdasarkan kekuatannya, bukan berdasarkan status, jabatan, atau kekayaan individu yang menyampaikannya. Hierarki sosial dikesampingkan demi nalar.
Debat Rasional-Kritis: Isu-isu yang didiskusikan harus melalui proses penalaran dan kritik yang logis, bukan sekadar adu emosi atau kepentingan pribadi. Tujuannya adalah mencapai pemahaman bersama (mutual understanding).
Pembentukan Opini Publik: Hasil dari debat rasional-kritis ini akan membentuk opini publik yang terinformasi, yang kemudian dapat mempengaruhi dan mengawasi tindakan negara.
Namun, Habermas juga mengidentifikasi kemunduran ruang publik ini akibat komersialisasi media massa dan intervensi negara kesejahteraan, yang mengubah warga negara dari partisipan aktif menjadi konsumen pasif. Media tidak lagi menjadi fasilitator debat, melainkan instrumen untuk membentuk opini publik secara manipulatif. Konsep inilah yang menjadi kerangka kritis untuk menganalisis fenomena ASN di media sosial saat ini.
ASN di Media Sosial: Potensi Kelahiran Kembali Ruang Publik?
Kehadiran internet dan media sosial seringkali dilihat sebagai harapan untuk merevitalisasi ruang publik yang memudar. Platform seperti Facebook, Twitter (X), dan Instagram menawarkan akses yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi individu untuk menyuarakan pendapat dan berinteraksi langsung dengan pemegang kekuasaan. Dalam konteks Pemerintah Provinsi Gorontalo, mobilisasi ASN untuk menyebarkan informasi agenda kerja seperti program pembangunan infrastruktur, bantuan sosial, atau kebijakan pendidikandapat dilihat sebagai upaya positif.
Secara teoretis, praktik ini memiliki potensi untuk memenuhi beberapa aspek ideal ruang publik Habermasian. Pertama, ia meningkatkan aksesibilitas informasi. Masyarakat yang sebelumnya mungkin kesulitan mengakses informasi resmi kini dapat dengan mudah menemukannya di linimasa media sosial mereka. Kedua, ia menciptakan ilusi penghapusan jarak antara birokrasi dan warga. Ketika seorang ASN membagikan postingan, ia tampil tidak hanya sebagai “pegawai pemerintah” yang kaku, tetapi juga sebagai individu, teman, atau kerabat dalam jejaring sosial pengguna lain. Hal ini berpotensi membuat pemerintah terasa lebih “manusiawi” dan dekat.
Namun, potensi ini harus diuji secara kritis. Apakah kemudahan akses informasi ini secara otomatis menciptakan ruang untuk debat rasional-kritis? Di sinilah letak persoalan utamanya.
Analisis Kritis: Diseminasi Informasi vs. Diskursus Rasional
Jika kita menerapkan kriteria Habermas secara lebih ketat pada praktik penyebaran informasi oleh ASN di Gorontalo, kita akan menemukan sejumlah diskrepansi signifikan antara realitas dan idealita.
Sifat Komunikasi: Monolog atau Dialog? Sebagian besar informasi yang disebarkan oleh ASN bersifat satu arah (monolog). Bentuknya seringkali berupa infografis, siaran pers, atau foto-foto kegiatan seremonial pimpinan daerah. Interaksi yang terjadi di kolom komentar pun cenderung superfisial, seperti pujian (“Lanjutkan, Pak/Bu!”), emoji, atau pertanyaan teknis sederhana. Jarang sekali ditemukan ruang untuk debat yang substantif dan kritis mengenai kebijakan yang dipaparkan. Kritik yang muncul seringkali dianggap sebagai serangan personal atau “nyinyiran” dan jarang mendapatkan tanggapan yang rasional dan argumentatif dari pihak ASN maupun pemerintah. Ini lebih mencerminkan tindakan instrumental (mencapai tujuan-tujuan strategis seperti pencitraan) daripada tindakan komunikatif (mencapai pemahaman bersama) yang menjadi inti dari teori Habermas.
Isu Status dan Hierarki Teori Habermas mensyaratkan penangguhan status sosial dalam ruang publik. Namun, ketika ASN membagikan informasi pemerintah, status mereka sebagai bagian dari aparatur negara justru menjadi sentral. Mereka tidak berbicara murni sebagai “warga negara,” melainkan sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Status ini menciptakan dinamika kekuasaan yang tidak seimbang. Warga biasa mungkin merasa segan untuk menyampaikan kritik secara terbuka karena khawatir dianggap menentang otoritas atau bahkan berdampak pada relasi personal mereka dengan ASN tersebut. Alih-alih ruang egaliter, media sosial dalam konteks ini justru mereproduksi hierarki kekuasaan yang ada di dunia nyata.
Rasionalitas vs. Emosi dan Sentimen Media sosial, dengan algoritmanya yang memprioritaskan konten yang memancing reaksi emosional, bukanlah medium yang ideal untuk debat rasional-kritis yang dingin dan mendalam. Informasi yang disajikan seringkali didesain untuk membangkitkan kebanggaan, sentimen kedaerahan, atau dukungan personal terhadap figur pimpinan, bukan untuk memantik analisis kritis terhadap substansi kebijakan. Sebagaimana dikemukakan oleh para peneliti media digital (van Dijck, Poell, & de Waal, 2018), platform ini beroperasi di bawah “logika popularitas” (jumlah suka, bagikan, komentar) bukan “logika diskursif”. Akibatnya, opini publik yang terbentuk lebih didasarkan pada sentimen dan popularitas ketimbang pertimbangan rasional yang matang.
Kaburnya Batas antara Ranah Publik dan Privat Penggunaan akun media sosial pribadi oleh ASN untuk kepentingan dinas mengaburkan batas antara peran mereka sebagai individu privat dan sebagai pejabat publik. Hal ini problematis. Di satu sisi, ia dapat dianggap sebagai bentuk loyalitas dan dedikasi. Namun, di sisi lain, ia berisiko mengubah ASN menjadi “influencer” pemerintah yang secara implisit dipaksa untuk menyelaraskan opini pribadi mereka dengan narasi resmi. Ini mengancam otonomi individu dan netralitas ASN, terutama dalam konteks politik lokal yang dinamis. Ruang privat (opini pribadi ASN) seolah-olah dikooptasi untuk melayani kepentingan otoritas publik, sebuah inversi dari ideal Habermasian di mana ranah privat seharusnya menjadi sumber kritik terhadap otoritas.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Praktik penyebaran informasi agenda kerja Pemerintah Provinsi Gorontalo oleh ASN melalui media sosial merupakan sebuah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia berhasil meningkatkan kecepatan dan jangkauan diseminasi informasi, yang merupakan langkah awal menuju transparansi. Namun, jika dianalisis menggunakan kerangka teori ruang publik Jürgen Habermas, praktik ini belum mampu menciptakan sebuah ruang publik digital yang otentik. Alih-alih menjadi arena debat rasional-kritis yang egaliter, media sosial dalam konteks ini lebih berfungsi sebagai etalase digital pemerintah sebuah kanal komunikasi satu arah yang memperkuat narasi resmi dan cenderung menghindari diskursus kritis.
Tantangannya bukanlah untuk menghentikan praktik ini, melainkan untuk mentransformasikannya. Untuk bergerak mendekati ideal Habermasian, beberapa langkah perlu dipertimbangkan:
Membangun Platform Dialogis Resmi: Pemerintah Provinsi Gorontalo perlu mengembangkan dan mempromosikan platform resmi yang secara eksplisit didesain untuk dialog dua arah. Forum daring, sesi tanya jawab langsung (live Q&A) yang substantif, atau portal konsultasi publik dapat menjadi alternatif yang lebih baik daripada sekadar mengandalkan diseminasi pasif melalui akun pribadi ASN.
Peningkatan Literasi Digital dan Komunikasi Publik bagi ASN: ASN perlu dibekali pelatihan tidak hanya tentang cara menyebarkan informasi, tetapi juga tentang cara mengelola dialog, menanggapi kritik secara konstruktif, dan memahami etika komunikasi di ruang digital.
Menumbuhkan Budaya Keterbukaan terhadap Kritik: Yang terpenting, pimpinan pemerintah daerah harus menunjukkan komitmen untuk mendengarkan dan merespons kritik publik secara serius. Tanpa adanya budaya organisasi yang menghargai masukan kritis, setiap upaya dialog hanya akan menjadi formalitas belaka.
Pada akhirnya, penyebaran informasi hanyalah langkah pertama. Tujuan akhirnya adalah partisipasi publik yang bermakna. Transformasi dari sekadar “penyebar informasi” menjadi “fasilitator diskursus” adalah tantangan besar bagi ASN dan Pemerintah Provinsi Gorontalo dalam mewujudkan esensi demokrasi di era digital. Tanpa adanya ruang untuk perdebatan yang bebas dan rasional, ruang publik digital hanya akan menjadi gema dari ruang kekuasaan, bukan ruang bagi suara rakyat yang sesungguhnya.













