PROSESNEWS.ID – Pengembangan imunitas berbasis sel dendritik berlanjut dalam bentuk penelitian dan pelayanan di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Pasien bisa memanfaatkannya. Nama vaksin Nusantara dihilangkan.
Kontroversi vaksin Nusantara berujung ke meja nota kesepahaman (MoU). Tiga pejabat tinggi meneken memorandum of understanding (MoU) itu pada Selasa 20 April 2021, di Markas Besar TNI-AD, di Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. Ketiganya adalah Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito, dan KSAD Jenderal Andika Perkasa.
Nota kesepahaman yang bertajuk “Penelitian Berbasis Pelayanan Menggunakan Sel Dendritik untuk Meningkatkan Imunitas terhadap Virus SARS COV-2” itu ditandatangani dengan disaksikan Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy. Tidak ada konferensi pers khusus usai acara penandatanganan MoU tersebut.
Dalam keterangan tertulisnya, Dinas Penerangan TNI-AD (Dispenad) memberikan penjelasan, antara lain, penelitian penggunaan sel dendritik itu akan dilakukan di RSPAD Gatot Subroto Jakarta dan bersifat autologus, digunakan pasien secara individual, karenanya tak bisa diproduksi secara massal dan tidak memerlukan izin edar. Penelitian ini bersifat layanan, tak komersial, dan dilakukan sesuai ketentuan hukum.
Kegiatan penelitian yang digelar RSPAD Jakarta itu juga disebutkan, bukan kelanjutan dari uji klinis 1 vaksin Nusantara yang terhenti karena dinilai belum memenuhi kaidah ilmiah. “Uji klinis fase 1 yang sering disebut berbagai kalangan sebagai program vaksin Nusantara ini masih harus merespons beberapa temuan BPOM yang bersifat critical dan major,” begitu, ditambahkan dalam penjelasan Dispenad.
Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito mengatakan, MoU itu menyepakati kegiatan pengujian sel dentritik terkait imunitas terhadap Covid-19 dialihkan menjadi penelitian berbasis pelayanan. Pihak BPOM selanjutnya hanya memberi supervisi, sedangkan pengawasannya ada di bawah Kemenkes.
Dengan penandatangan MoU ini, secara tegas pemerintah menyatakan tak ada lagi uji klinis vaksin Nusantara yang berplatform sel dendritik. Riset di RSPAD Gatot Subroto terkait sel dendritik hanya bisa dilihat sebagai peneltian terapan. Hasilnya tidak bisa disebut vaksin. Uji klinis vaksin Nusantara praktis berakhir.
Platform Baru
Vaksin Nusantara itu diinisiasi oleh Letjen Profesor Dr dr Terawan Agus Putranto saat ia menjabat Menteri Kesehatan pada 2020. Berbeda dari vaksin biasa, yang digagas dokter Terawan ini vaksin berplatform sel dendritik. Program tersebut di luar kegiatan pengembangan vaksin Merah Putih, yang dilakukan oleh konsorsium sejumlah lembaga penelitian dan perguruan tinggi di bawah koordinasi Kementerian Riset/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Berbeda dengan pengembangan vaksin Merah Putih yang di setiap tahapnya disampaikan ke publik, dokter Terawan memilih cara senyap. Ketika mengajukan izin uji klinis ke BPOM di sekitar Oktober 2021, ihwal vaksin berbasis sel dendritik ini tetap tidak terpublikasikan. Dari permintaan izin uji klinis 1, 2, dan 3 yang diminta, BPOM hanya memberikan izin untuk uji klinis 1, itu pun dengan catatan dilengkapi oleh laporan uji praklinisnya. Tim pengembang vaksin dendritik ini juga diminta mengikuti protokol uji klinis fase 1 yang berlaku di Indonesia.
Pada Desember 2020, perihal vaksin dendritik itu baru dipublikasikan ke publik. Ketika itu, dokter Terawan menyampaikan kabar bahwa uji klinis fase 1 telah rampung dan ada perubahan nama, dari rencana semula “Joglo Semar” (Yogya-Solo-Semarang), menjadi vaksin Nusantara. Nama Joglo Semar ini mengacu pada pihak yang terlibat, yakni sejumlah peneliti dari UGM Yogya, UNS Solo, dan sejumlah ahli dari Undip serta RSUP Kariadi Semarang.
Penelitian dilakukan di RSUP Kariadi Semarang. Pengembangan vaksin mutakhir ini juga melibatkan swasta, ada PT Rama Emerald Multi Sukses (Rama Pharma) serta AIVITA Biomedical Inc (California, AS), Balitbang Kemenkes pun mendukung penelitian ini. Usai uji klinis tahap 1, laporannya dikirim ke BPOM, tapi dokter Terawan tak menjabat sebagai Menkes lagi, setelah reshuffle 23 Desember 2020.
Isu tentang vaksin Nusantara mengemukan ke publik setelah BPOM menyatakan menolak laporan uji klinis fase 1-nya. Sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam hal obat dan makanan, termasuk vaksin, BPOM meminta pengembang melengkapi laporan terkait keamanannya (safety), imunogenitas, dan uji praklinisnya. Protokol itu tak terpenuhi.
‘’Pada kesepakatan sebelumnya, uji preclinic itu harus ada,” kata Kepala BPOM Penny K Lukito.
Pihak BPOM tak mau kompromi soal ini, meski pengembang keberatan. Dalam pelaksanaannya, laporan uji klinis tahap 1 itu tetap tanpa laporan praklinis. “Jadi, vaksin Nusantara itu loncat,” kata Penny pula. Maka, BPOM menolak mengeluarkan izin protokol uji klinis tahap 2.
Kontroversi
Situasi itu memicu kontroversi luas. Dokter Terawan menyampaikan narasi, vaksin berbasis sel dendritik itu memberi kesempatan kepada masyarakat untuk terlindung dari penularan Covid-19, khususnya mereka yang rentan karena pembawa komorbid, mengidap autoimun, usia lanjut, atau bahkan usia praremaja. Karena berbasis seluler, imunitas yang dibangun juga berlaku jangka panjang, bahkan bisa seumur hidup. Dokter Terawan pun menyebutnya sebagai vaksin karya anak bangsa yang perlu dihargai.
Vaksin berbasis sel dendritik memang berbeda. Imunitas dibangun lewat sel dendritik yang diisolasi dari plasma darah secara personal. Sel dendritik diinokulasi dengan antigen potongan genom virus Covid-19, yang kemudian dibiakkan secara in vitro, dibersihkan dari “noda” antigen lantas disuntikkan ke tubuh pasien sebagai vaksin costumized. Tentu, perlu proses njelimet, waktu yang panjang dan biaya mahal untuk menghasilkan satu dosis vaksin.
Dengan platform yang berbeda, vaksin Nusantara harus mengadapi kondisi yang lebih sulit untuk mendapatkan bukti imunogenitasnya. Secara teoritis, kekebalan itu ditimbulkan oleh kesiapan T-sel dan Beta-sel guna menghasilkan antibodi ketika tubuh diserang virus. Tapi, membuktikannya pada uji praklinis dan uji klinis memerlukan metode yang lebih rumit.
Alih-alih mencari jalan memenuhi protokol uji klinis tahap 1, tim dari dokter Terawan memilih loncat ke uji klinis tahap 2. Didukung para tokoh besar, di antaranya mantan Menkes Siti Fadilah Supari, mantan Menko Kesra Aburizal Bakrie, mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan, Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, dan sejumlah anggota DPR-RI, uji klinis tahap 2 vaksin Nusantara digelar di RSPAD Gatot Subroto.
Menghadapi perkembangan itu, lewat rilisnya, BPOM memberi peringatan bahwa mengacu ke hasil auditnya, 20 orang (71,4 persen) dari 28 relawan pada uji klinis fase 1 vaksin Nusantara mengalami gejala yang disebut kejadian tak diharapkan (KTD) seperti nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, dan pilek.
Bukan hanya itu, pada grade 3, enam relawan yang mengalami hiperneatremi (kadar natrium tinggi) tinggi dalam darah, mirip orang kekurangan air minum. “Tiga subjek mengalami peningkatan kolesterol,” demikian menurut rilis itu.
Tindakan BPOM itu mendapat dukungan dari sejumlah tokoh. Mereka yang berhimpun memberi dukungan ke BPOM, antara lain, mantan Wapres Profesor Boediono, Profesor Emil Salim (mantan Majlis Etik Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia), Budayawan Goenawan Mohammad, epidemiolog Dr dr Pandu Riono, serta banyak lainnya.
Dalam situasi ini, Mabes TNI menyatakan klarifikasi bahwa tak terlibat dalam pengembangan vaksin Nusantara. Namun, TNI mendukung inovasi pengembangan imunitas, jika sejalan dengan ketentuan BPOM yang mengedepankan safety, bukti efikasi, dan kelayakan.
Pemerintah pun mengambil jalan tengah. Dengan arahan Menko PMK Muhadjir Effendy, MoU segitiga itu pun ditandatangani. Pengembangan imunitas dengan sel dendritik tetap bisa berlanjut, tapi tidak lagi dalam skema uji klinis, melainkan penelitian dengan layanan.
Di bawah pengawasan dokter yang kompeten, para pasien yang memerlukan kekebalan seluler dan bersifat individual, masih dapat memperoleh layanan dari kegiatan penelitian ini. Unsur kormersial dijauhkan.
KSAD Jenderal Andika Perkasa juga tidak keberatan bila pihak-pihak yang sebelumnya terlibat dalam uji klinis vaksin Nusantara turut dalam penelitian ini. ‘’Kami tidak mengajak, tapi kalau ada yang ikut kami tak akan menolak,” katanya. Dalam batas kemampuan yang ada, tutur Jenderal Andika, TNI-AD akan mendukung penelitian ini. (**)