Hanya dalam waktu singkat, postur bank digital terus membesar. OJK mencatat, pada sepanjang 2020, transaksinya hingga Rp2.775 triliun.
Pola hidup masyarakat dan berbagai aktivitas ekonomi telah berubah selama pandemi Covid-19 melanda, setahun terakhir ini. Aktivitas masyarakat makin mengurangi kontak fisik sebagai cara membatasi penyebaran kasus aktif Covid-19. Termasuk kegiatan transaksi keuangan.
Oleh karena itulah, kondisi pandemi membuat e-commerce atau perdagangan online semakin berkembang pesat karena didukung oleh sistem pembayaran digital. Baik melalui jaringan perbankan, ataupun perusahaan teknologi finansial (fintech).
Ibarat “kejatuhan durian runtuh”, peningkatan transaksi keuangan digital itu sejalan dengan target pemerintah. Presiden Joko Widodo sejak awal menekankan perluasan dan kemudahan akses layanan keuangan formal di seluruh lapisan masyarakat. Ia meminta agar kategori masyarakat yang non-bankable agar diprioritaskan. Karena itu, inklusi keuangan menjadi bagian penting dalam mendorong implementasi digitalisasi.
Kondisi inklusi keuangan Indonesia beberapa tahun belakangan ini memang menunjukan peningkatan. Berdasarkan Survei Nasional Keuangan Inklusif oleh Sekretariat Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI) pada 2020 yang dirilis Sabtu (26/6/2021), inklusi keuangan dari indikator kepemilikan akun tumbuh signifikan menjadi 61,7%. Dari indikator penggunaan akun, inklusi keuangan Indonesia mengalami tren yang terus meningkat, dari 59,74% pada 2013 menjadi 81,4% pada 2020.
Secara spesifik Presiden Joko Widodo juga menargetkan bahwa indeks inklusi keuangan dari sisi penggunaan akun ini bisa meningkat menjadi 90% pada 2024. Pada pertengahan Juni lalu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menerangkan, pemerintah pada 2020 telah menerbitkan Perpres tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI).
Beleid tersebut mengatur supaya masyarakat dapat mengakses berbagai produk dan layanan keuangan formal yang berkualitas secara tepat waktu, lancar, aman, dengan biaya terjangkau. Sekaligus mendukung pemerataan dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Strategi secara ‘total football’ diperlukan, karena pemerintah menyadari bahwa terdapat sejumlah tantangan dalam mencapai target keuangan inklusi nasional. Pengguna telepon seluler tinggi di Indonesia, tetapi tidak semua dipakai untuk transaksi keuangan. Hanya 25% penduduk dewasa yang mengaku bisa memakai mobile banking dan aplikasi uang elektronik.
Inovasi teknologi jasa keuangan digital diharapkan mampu mendorong pengembangan model jasa keuangan digital baru untuk mendukung peningkatan inklusi keuangan di Indonesia.
Bank Digital
Peluang memperkuat inklusi keuangan tersebut ditangkap oleh para pelaku jasa keuangan nasional. Sudah ada beberapa bank umum yang menggulirkan layanan keuangan digital. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan Indonesia memiliki 14 bank digital, tujuh sudah beroperasi, dan tujuh sisanya sedang mempersiapkan diri.
Berikut ini tujuh bank yang sudah mendapatkan izin operasional bank digital dari OJK, yaitu MotionBanking dari MNC Bank; Bank Aladin; Jenius dari Bank BTPN; Wokee dari Bank KB Bukopin; Digibank milik Bank DBS; TMRW dari Bank UOB; dan Jago milik Bank Jago.
Adapun, tujuh bank yang dalam proses untuk mendapatkan izin sebagai bank digital di OJK adalah Bank BCA Digital; PT BRI Agroniaga Tbk; PT Bank Neo Commerce Tbk; PT Bank Capital Tbk; PT Bank Harda Internasional Tbk; PT Bank QNB Indonesia Tbk; dan PT Bank KEB Hana.
Bank digital berbeda dengan layanan perbankan daring seperti mobile banking, SMS banking, dan internet banking pada bank konvensional, yang selama ini ada. Bank digital menawarkan berbagai produk perbankan, seperti pembukaan rekening dan pengajuan kredit, yang dilakukan secara daring melalui aplikasi.
Seturut demikian, bank digital umumnya tak membutuhkan banyak kantor cabang. Bank Jago hanya dilengkapi lima kantor cabang. Meski demikian, sejumlah bank digital masih punya banyak jaringan kantor cabang. Misalnya, Jenius BTPN yang memiliki 350 kantor cabang.
Pun pola transaksi perbankan memang mulai bergeser ke digital. OJK mencatat 3.074 kantor cabang bank umum tutup sejak 2015 sampai Maret 2021. Beberapa kantor cabang bank gulung tikar akibat peningkatan transaksi digital.
Peningkatan transaksi digital tertinggi salah satunya diraih BRI. Bank tersebut mencatat pertumbuhan transaksi internet banking 132,2% secara tahunan pada Desember 2020. Deputi Direktur Basel dan Perbankan Internasional OJK Tony mengatakan bank digital memanfaatkan perkembangan teknologi digital untuk memberikan layanan kepada publik.
Berdasarkan aturan OJK, bank digital juga tak perlu memiliki lisensi khusus secara kelembagaan. Indonesia hanya ada dua jenis perbankan: bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR). Sepanjang semua indikator izin layanan bank terpenuhi, maka bisa dijalankan. Prinsipnya tetap merupakan layanan bank umum hanya model bisnisnya yang berubah.
OJK sendiri telah mengeluarkan peraturan mengenai pelayanan bank digital tersebut dalam Peraturan OJK nomor 12/POJK.03/2018 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital oleh Bank Umum. OJK juga telah menerbitkan panduan mengenai pelayanan bank digital dalam Panduan Penyelenggaraan Digital Branch oleh Bank Umum.
Hanya dalam waktu singkat, postur bank digital ini terus membesar. OJK mencatat, pada sepanjang 2020 lalu, transaksi digital banking memiliki nilai hingga Rp2.775 triliun. Angka itu tumbuh 12,9% dari raihan tahun sebelumnya sebesar Rp2.436 triliun.
Sebuah potensi yang tidak boleh dianggap remeh oleh para pelaku pasar keuangan. Sebab, jejaring, kecepatan, serta fleksibilitas dari bank digital ini mampu menjangkau setiap lapisan masyarakat.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari