PROSESNEWS.ID – Perjuangan menuju Pemilihan Gubernur (Pilgub) Gorontalo kali ini terbilang unik.
Alasannya, kandidatnya terbilang baru atau non incumben. Karena masa jabatan dua periode Rusli Habibie – Idris Rahim segera berakhir.
Walaupun Pilgub terbilang masih sekitar dua tahunan lagi, namun saat ini santer ramai menjadi perbincangan di berbagai elemen masyarakat.
Menariknya, elemen masyarakat yg paling banyak memperbincangkan hal ini adalah para mantan timsukses dan relawan.
Para politisi pun banyak menggulirkan isu tersebut , sementara para pemegang kedaulatan partai politik masih terdiam sambil, melihat momentum politik dan kompromi politik yang tepat.
Lalu apa substansi dari semua yang digulirkan ini?
Nah, pengamat politik Sahmin Madina, yang juga Dosen Politik di IAIN Sultan Amai Gorontalo itu, memiliki analisa tersendiri terkait Pilgub 2022.
Menurutnya, kandidat Gubernur Gorontalo dibagi menjadi empat poros.
Poros pertama adalah poros statusquo atau petahana , yang mencari figur pengganti dan pastinya selaras serta akan melanjutkan programnya.
Poros ini sudah memiliki investasi dukungan politik, namun bukan hal yang mudah untuk mempertahankan aset dukungan politik.
“Poros ini sudah dikenal publik, tapi tidak menjadi zaminan. Agak kerepotan ketika aset dan dukungan politiknya, tidak bisa dipertahankan dan pindah pada calon yang lain. Serta mempuni dan mampu meraih suara signifikan,” kata Sahmin.
Kemudian poros kedua, poros Calon Gubernur yang tentunya konsisten dengan perubahan, dimana poros ini adalah poros yang santun dan sangat disegani. Bahkan tidak risistensi terterima disemua unsur, dan memiliki kekuatan yang sangat besar.
Program kerjanya terukur dan realistis serta komitmen yang tinggi. Poros tersebut, merupakan poros yang di khawatirkan serta paling diperhitungkan dalam Pilgub 2020.
Poros ketiga adalah poros yang sedikit unik, karena poros ini agak sedikit menganggu konstalasi politik, Calon Pilgub yang lain.
Terkadang poros ini dikenal hanya sebagai poros uji coba calon atau ikut- ikutan Pilgub.
Terakhir poros keempat, biasa poros Calon Pilgub ini dari independen atau non partai.
Biasa disebut dengan poros mandiri. Karena poros yang satu ini, paling aman karena menegment politiknya individual. Namun, poros ini agak kesulitan karena akan berhadapan dengan koalisi partai.
Dari semua poros yang ada, hal menarik dan unik dalam beberapa poros itu menimbulkan beberapa pertanyaan.
Apakah para calon Gubernur sudah siap dengan program- program kerja 5 tahun akan datang, untuk rakyatnya terutama menurunkan tingkat kemiskinan di daerah secara komprenship.
Apakah para calon Gubernur hanya ikut, semata-mata sebagai estapet politik untuk mempertahankan kekuasaan.
Atau akankah calon Gubernur hanya sebagai simbol, yang biasa di sebut calon boneka, dan hanya pemenuhan untuk memecahkan konsentrasi dukungan politik lawan calon Gubernur lain.
Dengan begitu, Sahmin memaknai ada kegilisahan politik lokal yg tidak teredukasi dengan baik. Sehingga pembelajaran politik pada masyarakat tidak jalan dengan baik pula.
Kehawatiran itu terliat dalam ungkapan bahasa daerah doi paralu, atau uang yang lebih penting. Begitu juga dengan ungkapan baku siram dan lain sebagainya.
Cukup miris juga, jika ungkpan-ungkapan liar ini terjadi. Maka yang terbentuk adalah kejahatan demokrasi lokal. Hal ini yang harus dihindari sangat memalukan.
Kemudian dari beberpa point penting yang dibahas ini, tentunya semua orang akan menganalisa dengan berbagai kemungkinan, apalagi hal ini adalah wilayah politik. Tentunya muara ada pada pemilik kedaulatan rakyat dan lapisan kepentingan.
“Dalam politik tidak ada kawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan abadi,” ungkapan ini kata Sahmin, fatal bila dipahami secara parsial. Maka seharusnya memaknai ungkapan tersebut dengan menggunakan nalar.
Sehinga politik yang santun dan beretika, menjadi makna dan nilai yang besar untuk rakyat Provinsi Gorontalo. (Hel)