PROSESNEWS.ID – Ada-adanya saja, perdebatan yang terjadi antara Aktivis Gorontalo Carles Ishak dan Juru Bicara Bupati Boalemo Jefri Rumampuk. Saling menanggapi dan seakan berbalas pantun di media sosial.
Hal itu terjadi ketika Aktivis Gorontalo Carles Ishak, yang melalui tulisannya dengan judul “Bupati Darwis Lebih Baik Mundur”. Tulisan itupun ditanggapi Juru Bicara Bupati Boalemo Jefri Rumampuk, dengan tulisan “Bupati Boalemo Diminta Mundur, Jefri : Mereka Mencari Sensasi”.
Nah, kali ini Carles Ishak kembali membalas tulisan Jefri Rumampuk, dengan judul “Pahami Substansi”. Kedua bela pihak ini, saling balas pantun dan entah sampai kapan usai. Sebaiknya, keduanya bertemu dan berdebat saja ya !!.
“Pahami Substansi”
Oleh : Carles Ishak
Soal tanggapan permintaan mundur Bupati Darwis dari Jabatan yang ditanggapi oleh Jubir Boalemo mendapat reaksi santai dan senyum sumringah.
Saya berharap Jubir Boalemo dan semua pihak agar dapat memahami substansi masalah dengan baik dan teliti. Soal permintaan mundur itu bukan perkara asal bicara atau sekedar ingin cari sensasi semata. Ada asas rasionalitas disitu. Pun juga dilandasi oleh koridor Ketentuan peraturan Undang-Undang. Jangankan diminta mundur, oleh Ketentuan Undang-Undang seorang kepala daerah dapat dipaksa mundur bahkan dijatuhkan. Tentu semuanya melalui mekanisme konstitusional.
Melihat dan menilai kondisi Boalemo sekarang ini bukan saja soal kasuistik belaka, namun ada soal yang sungguh substantif yakni kepemimpinan. Serta aspek-aspek pengaruhnya dalam kehidupan sosial, budaya, masyarakat dan pemerintahan. Apalagi hanya bicara soal kontroversi. Soal kontroversi yang melekat pada diri setiap Pemimpin itu hal yang wajar karena setiap Pemimpin punya style/gaya masing-masing. Tapi hal tersebut jangan dijadikan sebagai dalil pembenar sehingga mengorbankan serta menciderai logika akal sehat, nilai-nilai etik serta keluhuran budi.
Persepsi soal contoh Pemimpin kontroversi selama ini, tidaklah tepat dijadikan sebagai referensi sahih untuk sebuah pemerintahan yang sehat. Karena tidak sedikit juga contoh-contoh Pemimpin yang jatuh terjungkir dari jabatannya karena akibat kontroversi gayanya sendiri. Tentu publik sudah paham dengan keadaan ini. Sekali lagi saya ingin katakan, ini soal jati diri.
Bahwa dibalik lencana Kepemimpinan ada beban tanggung jawab yang begitu besar. Tidak boleh dianggap remeh apalagi biasa saja. Hal yang luar biasa, harus juga dimaknai dengan hal-hal yang besar pula.
Tuntutan publik akan wujud sempurna dalam diri setiap Pemimpin adalah keniscayaan mutlak adanya. Bahwa performa maksimal seorang pemimpin, kesucian etik, dan karakter kharismatik yang kuat merupakan label suci yang wajib melekat pada diri setiap pemimpin. Sebab apapun yang terjadi pada diri seorang pemimpin baik maupun buruknya, semua itu adalah cerminan lahir batin atas apa dan siapa yang ia pimpin. Begitu teorinya (!)
Nilai kepemimpinan itu lahir seiring dengan peradaban manusianya. Jika peradaban di zaman pra sejarah serta belum mengenal nilai apa-apa maka seperti itulah sosok Pemimpin yang lahir. Begitupun sebaliknya, semakin baik dan tinggi suatu peradaban manusia maka semakin baik dan berkualitas pula Pemimpin yang mereka lahirkan.
Dalam tulisan saya sebelumnya terkait kondisi kepemimpinan di Boalemo, dilatarbelakangi oleh perspektif dari berbagai sudut pandang. Baik sudut pandang konstitusi, hukum, sosial, etika dan adat istiadat. Jangan juga persoalan Boalemo hanya dikooptasi untuk warga yang ber-KTP Boalemo saja. Namun Boalemo adalah milik publik secara umum. Bukan pula milik sekelompok orang. Boalemo adalah Milik Kita Semua.
Oleh karena itu, hal ini bukan hanya sekedar ingin membangun opini. Akan tetapi hanya sebatas ingin menggugah nurani kita semua. Semua kembali ke diri masing-masing. Berubah ke arah masa depan. Atau memilih bertahan dengan keadaan yang sama.
Diakhir tulisan ini, saya ingin mengutip sepenggal kisah Sayyidinah Ali Bin Abi Tholib.
Pada masa pemerintahan ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu ada seseorang yang bertanya kepada beliau, “Kenapa pada zaman kamu ini banyak terjadi pertengkaran dan fitnah (musibah), sedangkan pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak?
Ali menjawab,
“Karena pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi rakyatnya adalah aku dan sahabat lainnya. Sedangkan pada zamanku yang menjadi rakyatnya adalah kalian,”. (*)