PROSESNEWS.ID – Fenomena #KaburAjaDulu kini semakin populer di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda yang merasa sulit mendapatkan pekerjaan dengan gaji layak di dalam negeri. Narasi yang berkembang di media sosial menunjukkan bahwa merantau ke luar negeri dianggap sebagai solusi instan untuk mengubah nasib, mengingat di beberapa negara gaji pekerja bisa berkali-kali lipat dibandingkan Indonesia. Namun, apakah fenomena ini benar-benar menjadi jalan keluar atau justru sekadar pelarian dari masalah struktural di Indonesia?
Realitas Lapangan: Upah Rendah dan Minimnya Kesempatan
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia masih mencapai 5,32% per Agustus 2023. Selain itu, upah minimum di berbagai daerah masih jauh dari kata cukup. Misalnya, di DKI Jakarta, UMP 2024 sebesar Rp5,06 juta per bulan yang pada akhirnya di tahun 2025 ini naik 6,5 persen menjadi Rp5,3 juta perbulan.
Sementara itu, di Australia, The Fair Work Commission baru-baru ini mengumumkan kenaikan 3,75% pada Upah Minimum Nasional dan upah minimum yang diberikan, yakni mulai 1 Juli 2024, Upah Minimum Nasional meningkat menjadi $915,90 per minggu atau $24,10 per jam. Atau jika dikonversi ke rupiah, maka pekerja di Australia dengan sistem upah minimum saja bisa menghasilkan sekitar Rp14,5 juta per minggu atau lebih dari Rp58 juta per bulan. Dan itu belum termasuk tunjangan lainnya.
Situasi ini diperburuk dengan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia yang belum sepenuhnya mampu menjamin kesejahteraan pekerja. Banyak perusahaan masih menerapkan sistem kerja kontrak tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, banyak pekerja melihat merantau ke luar negeri sebagai satu-satunya solusi agar bisa hidup lebih layak.
Analisis Sosiologi: Fenomena Kabur sebagai Respons Sosial
Menurut teori Struktural Fungsional yang dikemukakan oleh Emile Durkheim dan Talcott Parsons, masyarakat idealnya berjalan dalam keseimbangan. Ketika terjadi ketimpangan ekonomi—seperti rendahnya gaji dan tingginya biaya hidup atau kerja serius gaji bercanda. Sedangkan di luar negeri sebaliknya: kerja bercanda gaji serius—maka akan muncul disfungsi sosial yang menyebabkan individu mencari solusi lain, salah satunya dengan bermigrasi ke luar negeri.
Sementara itu, Teori Konflik Karl Marx melihat fenomena ini sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem kapitalisme yang tidak adil. Para pekerja, yang termasuk dalam kelas proletariat, tidak mendapatkan bagian yang seharusnya dari sistem produksi. Pemilik modal (borjuis) terus menekan upah, sehingga pekerja tidak punya pilihan selain mencari peluang di luar negeri yang menawarkan kompensasi lebih besar.
Di sisi lain, Teori Mobilitas Sosial Pitirim Sorokin menjelaskan bahwa keinginan untuk merantau adalah bentuk dorongan individu untuk mencapai mobilitas vertikal atau peningkatan status sosial. Dalam masyarakat di mana kesempatan naik kelas ekonomi sulit terjadi, orang cenderung mencari jalan alternatif, salah satunya dengan bekerja di luar negeri.
Tantangan dan Risiko Merantau
Meski terdengar menjanjikan, realitas di lapangan tidak selalu semudah yang dibayangkan. Banyak pekerja migran Indonesia menghadapi masalah serius, seperti eksploitasi tenaga kerja, perampasan paspor oleh majikan, hingga gaji yang tidak dibayar. Data dari International Labour Organization (ILO) menunjukkan bahwa banyak pekerja migran, terutama di sektor informal seperti pekerja rumah tangga dan buruh konstruksi, mengalami kondisi kerja yang tidak manusiawi.
Selain itu, ada tantangan sosial dan psikologis yang sering diabaikan, seperti kesulitan beradaptasi dengan budaya asing, rindu keluarga, dan tekanan kerja yang lebih tinggi dibandingkan di Indonesia. Banyak yang akhirnya mengalami stres berat atau bahkan terpaksa pulang tanpa hasil yang diharapkan.
Kesimpulan
Fenomena #KaburAjaDulu memang mencerminkan realitas pahit ketenagakerjaan di Indonesia, tetapi bukan berarti solusi terbaik adalah meninggalkan tanah air tanpa strategi yang matang. Perubahan struktural dalam kebijakan ketenagakerjaan harus menjadi prioritas, sehingga masyarakat tidak hanya memiliki pilihan “kabur,” tetapi juga bisa hidup sejahtera di negeri sendiri. Bagi mereka yang tetap ingin merantau, penting untuk melakukannya dengan persiapan yang matang agar perjalanan ini benar-benar menjadi jalan menuju kehidupan yang lebih baik, bukan sekadar pelarian dari realitas yang sulit.
Sumber Referensi:
- Badan Pusat Statistik (BPS), 2023. Tingkat Pengangguran Terbuka Indonesia.
- Fair Work Commission Australia, 2024. Minimum Wage Review.
- Durkheim, É., 1893. The Division of Labor in Society.
- Marx, K. & Engels, F., 1848. The Communist Manifesto.
- Sorokin, P., 1927. Social Mobility.
- International Labour Organization (ILO), 2022. Global Estimates on Migrant Workers.