PROSESNEWS.ID, OPINI – JACQUES Ellul merangkum hubungan antara rasio think globally and act locally. Berpikirlah, bepertimbangan rasionalah seluas mungkin, tetapi bertindaklah secara lokal. Rangkuman ini, di satu pihak, mengingatkan betapa rasio manusia merupakan pusat seluruh pertimbangan, pusat wawasan mencerna kenyataan. Juga menjadi sumber keputusan untuk tindakan real yang harus diambil secara pendek, langsung, dan berskala lokal. Dengan kata lain, rasio dan keputusan ditautkan oleh proses berpikir dan memutusi diri yang pada intinya bersumber pada kesadaran sang manusia penentu putusan dan penimbang wawasan hidupnya.
Tautan satu proses itu akan terkeping manakala dipisahkan dan dimutlakkan pada posisi yang satu hingga terjadi jurang, terpisah dari yang lain. Rasio sebagai potensi, kemampuan budi untuk merancang rajutan budaya, dan mengoperasikan rancang budaya sebagai sebuah sistem, sebenarnya telah tercatat dalam sejarah peradaban, menjadi kunci untuk pembentukan sistem, organisasi, dan mekanisme hidup bersama yang oleh para sosiolog disebut struktur.
Jika dibandingkan dengan spesies hewan, hanya manusialah yang memiliki kemampuan mengambil jarak dengan realitasnya lalu mengolahnya, memprosesnya menjadi rumah budaya untuk ‘kelangsungan hidupnya’, baik individual maupun bersama. Sikap pengambilan jarak ini bisa terjadi karena ada bidang kesadaran budi dalam diri manusia yang membuatnya mampu. Bukan hanya menyesuaikan diri dengan lingkungan, melainkan juga mentransendensinya, mengatasinya.
Manakala tuntutan iklim dingin mau membekukannya, manusia mampu merajut budaya berpakaian tebal. Begitu pula wujud-wujud rajutan budaya yang mengolah air untuk diminum agar sehat maka air dimasak sampai matang. Juga ketika buah-buah hasil bumi disimpan untuk bekal pada musim-musim sulit tanam, di sana kesadaran manusia yang mentransendensi alam muncul dan memberi kualitas pada olahan alam ini.
Akan tetapi, soal kritis yang langsung muncul ialah mengapa kesadaran rasio yang satu mampu memberi kualitas atau dimensi plus bagi proses hidup budaya, sedang yang lain, justru mengeksploitasi, menyedot habis alam dan lingkungan sesama hingga hancur? Mengapa kesadaran rasio yang berkembang dari anak sampai manusia dewasa di satu pihak bisa berfungsi mencerahkan, mencerdaskan, membuat kritis pelaku-pelakunya, sedangkan yang lain malah menyekatnya, memenjarakan manusia dengan hasil temuan rasio teknisnya yang mempermesin?
Kepentingan pengetahuan
Jurgen Habermas dalam tulisannya berjudul Knowledge and Human Interests (Boston, 1971) menjawab dengan membedakan tiga macam kepentingan yang sudah melekat pada proses orang mencari pengetahuannya. Ada tiga kepentingan pengetahuan yang melekat manakala seseorang menghayati kesadaran rasionya untuk mengetahui sesuatu. Pertama, kepentingan teknis yang berikhtiar ‘menguasai realitas secara kognitif teknis’ hingga mengeratnya menjadi sistem teknis dengan penguasaan teknis.
Secara ekstrem, kepentingan teknis ini, ketika mau ‘mengatur masyarakat manusia’, memandangnya sebagai mekanik, mesin sistem yang menomorduakan anggota-anggota masyarakat sebagai aktor kreatif hidupnya. Hasil ekstrem penerapan kepentingan teknis ini ialah teknologisasi masyarakat yang melupakan dimensi kreatif dan komunikatif anggota-anggota masyarakat, yang merupakan aktor-aktor merdeka dan saling hidup sebagai organisme.
Akibatnya, rasionalitas teknis yang dihasilkan merupakan mekanisasi masyarakat secara sistemik hingga sebagai sistem ‘robot’ stabil teratur terstruktur. Namun, para penghuninya dikurung dalam sangkar sistem dan struktur yang membekukan kreativitas individu lantaran secara sistemik mereka diseragamkan.
Kedua, kepentingan praktis. Yang dimaksud dengan ‘praktis’ di sini, oleh Habermas, ialah proses tindakan (praxis) saling memahami untuk mencapai pengenalan, pengertian antarorang, hingga mencapai konsensus. Kepentingan kognitif praktis untuk saling memahami ini berlangsung dalam peradaban ilmu sejarah hermeneutika. Masyarakat dipahami sebagai sosialitas anggota umat manusia yang dengan kesadaran rasionya saling berdialog, berkomunikasi, untuk kepentingan praktis hidup bersama, yaitu saling memahami dan berdampingan.
Di sini masyarakat tidak dipandang secara mekanis teknis untuk diatur. Proses hidup bersama dijalani dalam saling mengenal dan memahami hingga tercapai konsensus. Inikah cita-cita masyarakat komunikatif terbuka yang didasarkan pada kesadaran rasional yang mau mengoreksi rasionalitas teknis mekanik?
Ketiga, kepentingan kognitif emansipatorik. Emansipasi di sini bukan hanya berarti proses menjadi sadar tahunya rasio yang sebelumnya tidur lalu kini sadar diri. Bukan pula hanya sebagai proses transisi dari kebodohan, ketidaktahuan menuju pencerahan dan menjadi tahu. Selain itu, emansipasi berarti pula proses terbebasnya manusia dari konformisme sosial, perbudakan, kolektivisme yang memenjara, menuju otonomi diri yang fajar budi dan bening nurani.
Inilah rasionalitas emansipatorik yang dalam proses sadar tahu semakin mencerahi budi dan membebaskan manusia dari sekat-sekat kendala kebodohan, kebisuan menjadi manusia. Dalam zaman Pencerahan, manusia itu disebut sebagai manusia dengan keberanian berpikir sendiri (sapere aude: beranilah berpikir sendiri), berani memerdekakan diri dari cekokan dikte orang lain atau lembaga ataupun berani melepaskan diri dari ketakutan untuk berpikir lain, berpikir alternatif.
Pada kepentingan kognitif emansipatorik ketiga inilah proses-proses pendidikan, penyadaran yang emansipatif, serta transformasi masyarakat terbuka mengambil sumber dan titik tolak rasionalitasnya.
Dari ketiga kepentingan tersebut, kita langsung bisa menemukan di mana tempat rasionalitas atau kesadaran kritis berada, yaitu pada bagian emansipatorik itu!
Karena itu, persoalan penataan masyarakat yang diusahakan oleh sistem menegara dengan membentuk negara beserta birokrasi, struktur, dan sistem politik yang de facto sedang ditempuh di dunia yang sedang berkembang seperti Indonesia, secara mendasar kerangka rasionalitasnya harus dianalisis prosesnya, dengan pisau pemikiran Habermas. Apa artinya? Maksudnya, setiap rasionalisasi (operasionalisasi rasionalitas yang berwajah tiga, yaitu teknis, praktis komunikatif, dan emansipatorik-kritis), mempunyai bahaya kemacetan proses apabila kaitan dan saling komplementasi (melengkapi) antara tiga kepentingan kognitif tadi dilupakan.
Memilih satu model rasionalisasi dan memutlakkannya sebagai satu-satunya rasionalisasi tertutup serta dianggap terbaik untuk menata atau merestrukturisasi masyarakat akan berakibat dipermesin dan diteknisasikannya masyarakat. Karena itu, bekulah kesadaran kreatif masyarakat itu dengan akibat lumpuhnya sistem. Karena itu, rasionalisasi teknis dengan kepentingan teknis, untuk menata masyarakat selalu mensyaratkan, diikutkannya kepentingan praktis-komunikatif serta rasionalitas emansipatorik kritis yang membebaskan dan selalu kritis menggugat kemandekan, kebekuan sistem pikir atau sistem lembaga.
Keterbukaan
Dengan demikian, bila negara kita yang dengan masyarakat rakyat sebagai individu-individu sejak para pendiri negara RI sudah berniat mendirikan dan melaksanakan masyarakat yang terbuka dan berkeadaban (the open civilized society), di sana sesungguhnya tiga unsur rasionalitas dengan tiga kepentingan kognitifnya Habermas sudah termaktub. Artinya, tidak cukup hanya secara teknis sistemik menata masyarakat dengan birokratisasi, strukturalisasi politis teknis, yang berakibat birokratis dan macetnya hidup politis kita saat ini. Itu bisa terjadi karena kita lupa memberi porsi dan memasukkan proses komunikasi dengan rasionalitas saling memahami, dialogis untuk konsensus dalam proses, yang istilah politisnya ialah keterbukaan atau demokratisasi.
Kita juga lama tidak menaruh pentingnya anggota-anggota masyarakat kita sebagai individu-individu kreatif pelaku kesadaran emansipatorik yang selalu mau kreatif sadar diri, merdeka diri, dan karena itu kritis terhadap teknologisasi, mekanisasi-mekanisasi yang mencekik leher proses kreatif serta kesadaran emansipasi.
Pada tingkat kesadaran saja, sebagai bangsa, tiap individu sudah membawa tiga kepentingan kognitif dalam proses belajarnya, dalam proses peradaban. Lalu merasa herankah kita bila terjadi konflik kepentingan di tahap kesadaran itu lantaran yang satu hanya mau teknis tanpa komunikasi. Sementara itu, yang lain mau kritis demokratis dan menolak mekanisasi teknik yang membuat orang menjadi robot mesin?
Merasa heran pulakah kita bila suhu politik kini hangat memanas lantaran sistem dan mekanisme sebagai saluran aspirasi serta suara perjuangan kepentingan rakyat dan kebutuhannya sedang buntu lantaran sistem itu bukan menjadi saluran suara kepentingan rakyat, melainkan saluran kepentingan penata dan pembuat sistem, yaitu birokrasi sendiri?
Padahal, Habermas mengingatkan bahwa sebuah sistem akan macet dan beku kalau hanya teknis saja dan memperlakukan orang sebagai sekrup, sebagai gerombolan seragam yang bisa diatur. Memang sebenarnya hal itu bisa diatur pada kurun waktu tertentu. Akan tetapi, proses pendidikan berkembang dan kesadaran semakin tercerahkan.
Karena itu, rasionalitas komunikasi terbuka yang dialogis untuk mendialogkan konflik-konflik kepentingan serta rasionalitas kritis emansipatorik untuk otonomi diri tidak bisa dibendung lagi dalam sistem struktur apa pun. Selain itu, mengusahakan nyata-nyata ruang lingkup untuk keduanya, yaitu praktik dialog emansipatorik dan ruang oksigen untuk kritis menggugat serta memperbaiki sistem yang membelenggu ziarah menuju masyarakat terbuka dan berkeadaban.
Tantangan
Persoalan kognitif atau refleksi kesadaran yang baru saja ditunjukkan semakin menjadi rumit dan kompleks lantaran konflik kepentingannya tidak hanya terjadi di tataran kesadaran, tetapi lebih dahsyat berada dalam kompetisi kalah-menang konflik kepentingannya. Juga lantaran sudah diwajahkan dalam konflik kepentingan politis, kepentingan ekonomis, yang hukum logikanya ialah kekuasaan atau power-lah yang menentukan.
Ketika hubungan dengan sesama warga bukan hanya hubungan komunikasi yang saling menghormati, melainkan mempunyai wajah hubungan majikan dan buruh, penguasa dan yang dikuasai, pemodal dan yang hanya punya tenaga kerja, rektor dan mahasiswanya, yang punya kekuasaan bersenjata dengan yang tidak punya kuasa dan tidak bersenjata.
Pada saat beginilah, refleksi jernih kembali mengenai siapakah sesama dalam hubungan kekuasaan kiranya menjadi jalan keluar yang memberi arah untuk persoalan kita. Konflik kepentingan kognitif yang dipertajam konflik kepentingan dalam hubungan kekuasaan itulah yang melahirkan peradaban sistem masyarakat hukum (negara hukum) yang dengan hukum adilnya mau melindungi hak dan harkat tiap warga masyarakat dari kompetisi konflik kepentingan kekuasaan.
Karena itu, ketika tantangan ke depan semakin berat dan pisau analisis sudah dicoba dipaparkan, kiranya muatan isi tulisan ini mau dengan jelas memberitahu bahwa proses menuju masyarakat terbuka (atau demokratisasi) bukanlah utopia serta proses semakin kritisnya arus ‘bawah’ bukan mengada-ada. Menutup mata dan menutup pemikiran terhadap fenomena ini berarti akan terlambat menangani kebekuan sistem.
Apa jadinya bila sumber-sumber kesadaran kritis emansipatorik yang menggedor rasa mapan kita juga dininabobokkan atau ditakuti atas nama stabilitas dan belum siapnya masyarakat? Maka itu, sistem politik bernegara yang mendukung ialah demokrasi. Akan tetapi, bukan demokrasi prosedural, asal sudah ada pemilu, sudah sesuai prosedur saling kontrol antaryudikatif, legislatif, dan eksekutif, tatapi tantangan riil menghadang ialah oligarki. Artinya, sekelompok elite dengan basis ekonomi kapital bersekongkol dengan pengusaha dengan kepentingannya dan birokrasi kekuasaan. Termasuk yang memerintah dalam legislatif, ‘menguasai’ hajat hidup masyarakat, untuk mencapai tujuan-tujuannya, yang mengorbankan rakyat banyak.
Segitiga negara, masyarakat, dan pasar inilah yang oleh oligarki dimonopoli demi keuntungan dan kekuasaan mereka. Semesta rasional yang kritis dan berfungsi mengawasi monopoli oligarki yang tidak untuk tujuan emasipatorik, sejahtera, dan keadilan warga masyarakat akan menjadi tolok ukur proses bernegara kita.
Penulis : Mudji Sutrisno Budayawan/Sumber : Mediaindonesia.com