
PROSESNEWS.ID – Beberapa hari terakhir, ruang publik di Gorontalo diramaikan oleh wacana yang mengaitkan nama Gubernur Gorontalo, Gusnar Ismail, dengan dugaan pengusulan anggota keluarganya sebagai komisaris Bank SulutGo. Sebagai akademisi, saya merasa perlu memberi catatan reflektif agar kita semua tidak terburu-buru terjebak dalam kesimpulan yang belum tentu berdasar.
Dalam situasi seperti ini, penting bagi kita sebagai masyarakat untuk tetap menempatkan akal sehat dan kejernihan berpikir di atas segalanya. Demokrasi yang sehat bukan hanya soal kebebasan berpendapat, tetapi juga soal tanggung jawab dalam menyampaikan dan menyikapi informasi.
Perlu kita pahami bersama bahwa pengangkatan komisaris di bank pembangunan daerah bukanlah kewenangan personal kepala daerah. Prosesnya berjalan melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang melibatkan banyak pihak: pemerintah provinsi, kabupaten/kota di wilayah Sulawesi Utara dan Gorontalo. Semua pemegang saham memiliki suara yang seimbang. Dengan mekanisme ini, kecil kemungkinan satu pihak dapat secara sepihak memaksakan kehendaknya.
Lebih dari itu, setiap calon komisaris harus menjalani fit and proper test oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Proses ini memastikan bahwa siapapun yang menduduki jabatan penting dalam lembaga keuangan publik memenuhi kriteria kompetensi, integritas, dan rekam jejak yang layak. Jika seorang calon tidak memenuhi syarat, maka ia tidak akan lolos uji kelayakan – tak peduli siapa yang mengusulkannya.
Menyikapi situasi ini, tudingan nepotisme yang muncul di permukaan sebaiknya kita tempatkan secara proporsional. Dugaan semacam itu tentu sah sebagai bagian dari kontrol publik. Namun, alangkah lebih bijaknya bila kontrol itu disertai dengan niat untuk mencari kejelasan, bukan untuk menghakimi lebih awal. Karena, dalam negara hukum, yang berlaku adalah asas praduga tak bersalah, bukan praduga berdasarkan kedekatan.
Kita juga perlu jujur bertanya pada diri sendiri, apakah seseorang harus kehilangan haknya untuk berkompetisi hanya karena memiliki hubungan keluarga dengan pejabat publik? Jika yang bersangkutan memiliki kapabilitas, memenuhi seluruh syarat formal, dan lolos prosedur yang berlaku, maka seharusnya kita tidak buru-buru menuduh atau menolak hanya karena persepsi kekerabatan.
Yang jauh lebih penting untuk dijaga adalah marwah lembaga seperti Bank SulutGo sebagai institusi keuangan publik. Kritik tentu diperlukan, tapi sebaiknya berdasar data dan analisis yang utuh. Jika ruang publik kita hanya dipenuhi prasangka dan asumsi, maka yang dirugikan bukan hanya individu, tapi juga institusi dan kepercayaan publik itu sendiri.
Terakhir, mari kita semua baik sebagai warga, pejabat, akademisi, maupun media bersama-sama merawat ruang diskusi publik yang sehat, ruang yang memberi tempat bagi fakta, menjunjung etika, dan menjauh dari penghakiman. Sebab dari sanalah demokrasi bisa tumbuh, dan dari situlah keadilan bisa ditegakkan.