PROSESNEWS.ID – Perdebatan persoalan pinjaman uang, masuk tidandak pidana atau Perdata. Menjadi perdebatan yang cukup hangat. Jika pinjaman uang itu untuk usaha, yang tidak bisa dikembalikan. Maka kasus itu, masuk kategori Perdata.
Namun dalam kasus Perdata, apa bisa dikriminalisasi jadi Pidana penjara, bila tidak bisa dikembalikan uang pinajaman tersebut?
Salah satu praktisi hukum Gorontalo Salahudin Pakaya, SH saat diwawancarai, menjelaskan jika tidak semua hubungan kontraktual Perdata, dapat menjurus pada pidana. Namun bukan berarti setiap warga negara, dapat menyalahgunakan hubungan Perdata, untuk merugikan pihak lain.
Menurutnya, kedok penipuan banyak ragam dan berbagai macam modus operandinya. Salah satu kedok penipuan, adalah mengatasnamakan Wanprestasi mengembalikan uang pinjaman. Sehingga hanya sebatas tanggung jawab Perdata.
Perlu dilihat juga niat batin atau mens rea pelaku. Meski sifatnya internal alam pikiran sang pelaku, akan tetapi dapat ditarik kesimpulan, dari sikap actual nyata perilaku lahiriahnya yang dikenal dengan actus reus.
Maka dari itu, bila dana pinjaman ternyata tidak digunakan sebagaimana pernyataan awal sang debitor. Ketika meminta peminjaman dana, misalnya dinyatakan untuk modal usaha dan ternyata dihabiskan untuk konsumsi semata.
Sehingga debitor gagal membayar, maka hal itu sudah merupakan bukti “Persangkaan”, bahwa sang debitor memang berniat, untuk menipu kreditornya sendiri.
Sementara mengenai perjanjian utang dan piutang, sebagai perbuatan pinjam-meminjam sudah diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata. Dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, ada empat syarat (kumulatif) yang diperlukan.
Suatu perjanjian dapat dikatakan sah secara hukum, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
“Dalam empat poin perjanjian, yang sah menurut hukum. Adakah perjanjian di buat secara bersama-sama? Kan tidak ada, perjanjian tertulis yang dibuat secara bersama,” tegas pengacara kondang itu. (**)