Temuan pelanduk kalimantan yang sempat dinyatakan punah sejak 172 tahun silam, diharapkan dapat membangkitkan kembali upaya penelitian dan pelestarian terhadap satwa-satwa sejenis
Sebuah artikel menarik diturunkan oleh Oriental Bird Club pada 25 Februari 2021. Judulnya pun sangat menggoda, “Teka-Teki Burung yang Hilang Sejak 172 Tahun Telah Ditemukan di Hutan Hujan Indonesia Kalimantan”.
Artikel ini semula hanya sebuah pengumuman dari lembaga nirlaba khusus konservasi burung tersebut. Mereka menceritakan adanya temuan burung endemik Indonesia dari hutan tropis Kalimantan yang semula telah dinyatakan punah sejak 172 tahun silam. Namun belakangan, tulisan itu menjadi awal dari sebuah kejutan besar bagi perkembangan konservasi burung di Indonesia dan dunia.
Dalam artikelnya, lembaga asal Bedford, Inggris itu bercerita adanya temuan istimewa oleh Muhammad Suranto, asal Samarinda Ulu, Kalimantan Timur, dan Muhammad Rizky Fauzan (Kotabaru, Kalimantan Selatan). Keduanya pada 5 Oktober 2020 secara tidak sengaja menemukan seekor burung ketika sedang melakukan pemantauan burung di hutan Kalsel.
Rizky Fauzan, selaku pegiat konservasi burung lokal, merasa belum pernah melihat spesies burung yang ia temukan. Keduanya sempat mengambil beberapa gambar dari spesies tadi sebelum dilepaskan kembali. Rizky dan Suranto pun kemudian melaporkan temuan mereka itu kepada BW Galeatus dan Birdpacker, dua komunitas pengamatan burung (bird watch) nasional.
Komunitas pengamatan burung itu pun berkonsultasi dengan sejumlah pakar ilmu burung (ornitolog) nasional terkait temuan Rizky dan Suranto. Mereka kemudian bersepakat bahwa spesies temuan Rizky dan Suranto merupakan pelanduk kalimantan, fauna yang semula telah dianggap lenyap dari muka Bumi sejak 1850 silam. Pelanduk kalimantan (Malacocincla perspicillata) secara luas dianggap oleh para ornitolog dunia sebagai sebuah teka-teki terbesar dalam dunia perburungan Indonesia.
Panji Gusti Akbar, dari Birdpacker, dan Teguh Willy Nugroho, dari BW Galeatus, pun langsung menyiapkan sebuah laporan berbentuk makalah lengkap yang ditujukan kepada Oriental Bird Club. Makalah yang berisi temuan soal pelanduk kalimantan itu dikirim agar dapat dimuat dalam edisi bulanan dari BirdingASIA sebagai sebuah penemuan terbesar bagi perkembangan ornitologi dunia.
“Penemuan sensasional ini menegaskan bahwa burung ini berasal dari Kalimantan bagian tenggara sekaligus mengakhiri teka-teki selama lebih dari seabad terkait asal usulnya,” kata Panji seperti ditulis di laman situs yang beralamat di www.orientalbirdclub.org tersebut. Panji mengaku dari temuan itu akhirnya bisa mengetahui seperti apa bentuk sebenarnya dari burung yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai black-browed babbler itu.
Panji mengutarakan, untuk sampai pada kesimpulan bahwa spesies tersebut adalah pelanduk kalimantan bukanlah perkara mudah. Ini lantaran baik Birdpacker, BW Galeatus, dan para ornitolog nasional tak memiliki informasi lengkap terkait pelanduk kalimantan. Terlebih lagi mengingat status kepunahan burung tersebut.
Jadi, mereka hanya berpedoman kepada pelanduk kalimantan awetan yang telah berumur ratusan tahun dan saat ini tersimpan di Pusat Biodiversitas Naturalis, Belanda. Saat membandingkan spesies awetan dengan foto-foto pelanduk kalimantan temuan Rizky dan Suranto pun, Panji dan rekan-rekannya harus berpikir keras. Terlebih, terdapat tiga perbedaan dibandingkan dengan pelanduk kalimantan awetan yang diketahui selama ini. Ketiga perbedaan itu terdapat pada iris mata, paruh, dan kaki.
Teguh menjelaskan bahwa dari beberapa literatur disebutkan kalau pelanduk kalimantan memiliki warna kaki merah muda. Begitu pula dengan warna iris mata yaitu kuning pada pelanduk kalimantan awetan. Namun, setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata bola mata di burung awetan itu adalah organ palsu tambahan. Pemberian warna kuning menjadi keputusan pembuat burung awetan tersebut.
Teguh adalah Pengendali Ekosistem Hutan Pertama Balai Taman Nasional Sebangau Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Ia mengatakan, jika salah satu rujukan untuk menentukan kemiripan ciri-ciri burung temuan Rizky dan Suranto diambil dari karya ilmiah lansiran pakar zoologi dan ornitologi dari Oxford University.
John MacKinnon, Karen Phillip serta Bas Van Balen lewat karyanya yaitu A Field guide to the birds of Borneo, Sumatra, Java, and Bali terbitan 1993, menyebutkan jika pelanduk kalimantan dicirikan sebagai burung berukuran sekitar 16 sentimeter. Warna bulu umumnya cokelat dengan burik abu-abu pada perut. Pelanduk kalimantan juga disebutkan mempunyai paruh hitam, dan kaki merah muda.
Sejatinya, catatan mengenai pelanduk kalimantan pertama kali dibuat oleh geolog dan naturalis asal Jerman, Carl ALM Schwaner, ketika melakukan ekspedisi di Hindia Timur termasuk ke Kalimantan antara 1843 hingga 1848 silam. Schwaner mengumpulkan sejumlah spesimen dari fauna Indonesia termasuk pelanduk kalimantan meski ia sendiri tidak tahu masing-masing nama spesies yang didapat.
Baru pada 1850, ornitolog Prancis terkenal, Charles Lucien Bonaparte, mendeskripsikannya sebagai pelanduk kalimantan. Bonaparte pun tak dapat memastikan asal-muasal pelanduk kalimantan. Ia bahkan menduga sebagai spesies asal Pulau Jawa. Ornitolog Swiss, Johann Buttikofer, pada 1895, memastikan bahwa spesies pelanduk kalimantan adalah endemik Pulau Kalimantan seperti yang ditemukan oleh Schwaner.
Minim Data
Sejak saat itu, spesimen awetan ini menjadi satu-satunya pelanduk kalimantan penuh misteri, yang pernah disimpan hingga ditemukannya kembali di habitatnya oleh duet Rizky-Suranto. Menurut ornitolog Belanda, Gerlof Fokko Mees, dalam sebuah penelitian pada 1995, pelanduk kalimantan kemungkinan besar hidup di hutan-hutan tropis antara Kota Martapura hingga ibu kota Banjarmasin. Pelanduk kalimantan merupakan satu di antara sejumlah spesies pelanduk yang menghuni hutan Indonesia.
Burung penyanyi dari keluarga Pellorneidae itu terdiri dari pelanduk dada putih, pelanduk ekor pendek, dan pelanduk merah. Spesies tadi oleh Badan Konservasi Dunia, IUCN, dimasukkan ke dalam kategori “Mendekati Terancam Punah”. Sedangkan pelanduk sulawesi, pelanduk semak, dan pelanduk topi hitam berada dalam kategori “Berisiko Rendah” oleh IUCN. Namun beda halnya dengan pelanduk kalimantan yang ditulis IUCN sebagai “Rentan” meski pada 2008 oleh lembaga tersebut disebut dengan status “Kurang Data”.
Ornitolog dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Tri Haryono mengakui soal minimnya data terkait burung yang hilang sejak 172 tahun silam tersebut. Hal ini menjadi kesulitan bagi pihak-pihak yang akan meneliti fauna itu. Tri menyebut spesies ini tidak mencolok dan kurang teramati, kemudian juga tidak termasuk dalam spesies yang menjadi perhatian para pemerhati burung.
“Ini ditambah dengan kurangnya survei lapangan sehingga banyak sekali informasi yang belum terungkap, dan itu hanya beberapa buku dan publikasi yang ada. Itu pun sangat terbatas,” kata Tri saat menjadi pembicara pada konferensi pers Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait temuan pelanduk kalimantan di Jakarta, Selasa (3/3/2021). Tri menyebut, ada sejumlah pertanyaan yang harus segera dicari jawabannya termasuk populasi saat ini, karakter genetika, karakter perilaku, jenis pakan, reproduksi, dan titik persebarannya.
Bagi Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Direktorat Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem KLHK, Indra Eksploitasia, penemuan kembali pelanduk kalimantan adalah sebuah prestasi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999 tentang Kebijakan Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, pelanduk kalimantan belum dimasukkan kategori satwa dilindungi. Untuk masuk kategori ingin dilindungi maka harus dipastikan bahwa spesies tersebut berpopulasi sangat sedikit, terdapat penurunan populasi secara tajam di habitatnya serta daerah persebarannya sangat terbatas.
Agar bisa memasukkan pelanduk kalimantan sebagai satwa dilindungi, perlu adanya kerja sama semua pihak termasuk para pemerhati burung dan LIPI, untuk menggali lebih dalam informasi fauna penuh misteri ini.
Penulis: Anton Setiawan Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari