Catatan : Nazir Talib Dj
SEBAGAIMANA diketahui bersama, pada tanggal 31 Maret 2020, Presiden Joko WIdodo telah menetapkan status Kedaruratan Kesehatn Nasional melalui Kepres No 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Penetapan status Kedaruratan Kesehatan Nasional tersebut bukan tampa alasan, sebab bahaya penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) cukup cepat, bahkan 10 (sepuluh) kali lebih mematikan dibandingkan dengan flu babi (H1N1) pada tahun 2009.
Direktur Jendral Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus sebagaimana dikutip dari laman suara.com (terbit, 14 April 2020) mengatakan bahwa, virus corona 10 (sepuluh) kali lebih mematikan daripada flu babi (H1N1). Ghebreyesus mengeluhkan bahwa lonjakan kasus Covid-19 terlalu masif, bahkan bisa melonjak dua kali lipat setiap tiga atau empat hari di negara tertentu.
Lebih lanjut ia menekankan agar negara-negara yang terkena wabah Covid-19 mau berkomitmen untuk cekatan dalam merespon kasus virus corona, melakukan isolasi, merawat pasien, mengembangkan vaksin, serta melacak pasien positif Covid-19.
Dalam menyikapi pandemi virus corona (covid-19) sebagai penyakit beresiko yang dapat menimbulakn dampak kedaruratan kesehatan masyarakat tersebut, pemerintah Indonesia dalam hal ini memilih opsi pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang kemudian mekanisme pemberlakuannya diatur melalui PP No 31 Tahun 2020 dan Permenkes No 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid 19.
Sebagai upaya pemerintah daerah dalam merespon darurat kesehatan masyarakat serta untuk mempersempit ruang gerak hingga memutus mata rantai penyebarannya di Provinsi Gorontalo.
Gubernur Gorontalo selaku pengemban kewenangan dan penanggung jawab penyelenggaraan urusan pemerintahan serta perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah telah mengajukan pelaksanaan PSBB kepada menteri yang bertanggung jawab menyelenggarakan urusan bidang kesehatan, yang kemudian disetujui melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.01.07/MENKES/279/2020 pada tanggal 28 April 2020. Selanjutnya oleh Gubernur Gorontalo ditindaklanjuti dengan Pergub No. 15 Tahun 2020 dan Surat Keputusan Gubernur Gorontalo Nomor 152/33/V/2020 tentang Pemberlakuan Pelaksanaan PSBB Dalam Penanganan Covid 19 di Wilayah Provinsi Gorontalo.
Namun sayang, Pergub No. 15 Tahun 2020 ini banyak menuai pro dan kontra terutama pada materi muatanya yang mengatur tentang pembatasan waktu beraktivis bagi penduduk, yakni mulai pukul 06.00 Wita sampai dengan pukul 17.00 Wita.
Pembatasan waktu beraktivitas tersebut oleh sebahagian kalangan menganggap bahwa Pergub PSBB Gorontalo terlalu ketat, bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan, dan bahkan melanggar HAM. Benarkah demikian ? tentu jawabannya bisa beragam, tergantung “kapasitas” dan “subjektivitas” si pemberi pandangan dari prespektif mana ia melihat serta metode apa yang digunakan dalam memberikan penilaian.
Bagi penulis, anggapan demikian sesungguhnya tidak didasarkan pada hasil “review” yang bersifat konprehensif dan mendalam terhadap bahan-bahan hukum yang tersedia. Justru menurut penulis, materi muatan Pergub tersebut telah memerhatikan/memedomani bahkan pembentuknya secara saksama telah “membaca” berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan (tidak hanya sakadar membaca Permenkes) berkenaan dengan penyelenggaraan penanganan Covid-19 dalam sistem bidang hukum kekarantinaan kesehatan dan penanganan penyakit menular.
Dinyatakan demikian sebab dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (1) PP No No 31 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar disebutkan, bahwa “Dengan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, Pemerintah Daerah dapat melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/ kota tertentu”.
Jika mencermati ketentuan di atas, dapat penulis katakana bahwa dalam pasal a quo terdapat tiga pilihan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka penaganan covid-19, baik dilakukan secara “alternative” maupun secara “kumulatif”, yaitu “melakukan “Pembatasan Sosial Berskala Besar” atau “Pembatasan Terhadap Pergerakan Orang” dan “Barang”.
Mengapa demikian? sebab tafsir pembentuk peraturan perundang-undangan menganggap upaya penanganan terhadap virus mematikan ini tidak cukup hanya sekadar menggunakan satu mekanisme semata (misalnya hanya pembatasan kegiatan tertentu penduduk), tapi upaya yang harus pula dilakukan adalah upaya yang menyeluruh dan sistematis beserta segenap mekanisme yang tersedia didalam penanggulangan wabah ini, mengingat kondisi masyarakat telah mencapi taraf kedaruratan.
Sehinga, hal ini kemudian menurut penulis, yang menjadi dasar Pergub PSBB Gorontalo mengapa dalam materi muatannya tidak saja mengatur PSBB dalam arti (pembatasan kegiatan tertentu penduduk), namun juga menerapkan pembatasan pergerakan orang dari satu tempat ke tempat lainnya melalui mekanisme pembatasan waktu.
Pergub PSBB Dalam Penegakan dan Pelindungan Hak-Hak Warga Negara
Sebagian kelangan menilai bahwa pengaturan waktu berkegiatan bagi penduduk sebagaimana diatur di dalam Pergub merupakan bentuk pengekangan terhadap kebebasan penduduk, bahkan terdapat anggapan telah mencapai taraf bersinggungan dengan hak asasi manusia. Berkenaan dengan anggapan ini, penulis memiliki penilaian berbeda dan tidak turut dan larut dalam anggapan yang berkembang itu.
Pendapat hukum penulis berpijak pada pendirian bahwa eksistensi Pergub hanya merupakan perangkat yuridis operasionalisasi di daerah dari berbagai peraturan perundang-undangan yang hirarkinya lebih tinggi seperti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, atau Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019, yang mana di dalam materi muatan peraturan perundang-undangan bersangkutan telah “sejak semula” mencantumkan norma (perintah, larangan, kewajiban) yang bersifat membatasi atau jika tidak ingin mengatakan secara tegas telah mengekang kebebasan warga negara/penduduk.
Sehingga, jika hendak memasalahkan perihal norma pembatasan ini baik dari sisi kegiatan maupun “pergerakan orang” dan barang yang mewujud melalui pengaturan waktu kegiatan/kunjungan di dalam Pergub, maka seharusnya produk hukum pertama yang menjadi objek perhatian secara bersama-sama adalah peraturan perundang-undangan dengan hirarki lebih tinggi dalam lingkup urusan bidang wabah penyakit menular dan kekarantinaan kesehatan sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Sangat tidak tepat (untuk tidak menyatakan terjadi loncatan berpikir) suatu anggapan yang mengaitkan ketentuan Pergub yang kedudukannya hanya merupakan operasionalisasi dari berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan dengan hal ihwal jaminan penegakan dan pelindungan hak asasi manusia, tanpa terlebih dahulu menguji validitas “norma” yang termuat di dalam peraturan perundang-undangan dengan kedudukan hirarkinya lebih tinggi yang merupakan landasan hukum lahirnya Pergub, apakah telah sesuai dengan asas dan pengaturan berkenaan hak asasi manusia yang termuat di dalam UUD NRI Tahun 1945!?.
Selain itu, perihal yang seyogianya diingat dan diperhatikan adalah pengaturan hukum berupa pembatasan kegiatan dan pergerakan orang dan barang dalam kondisi darurat kesehatan masyarakat akibat Covid-19 justru merupakan salah satu bentuk tanggung jawab negara dalam mengatur dan mengurus serta memberikan jaminan pelindungan dan penegakan hukum terhadap hak-hak warga negara dalam kehidupannya untuk mencapai derajat kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan.
Dikatakan demikian sebab pembatasan kegiatan dan pergerakan orang dan barang ini merupakan upaya cegah tangkal penyakit dan pengendalian faktor risiko kesehatan yang komprehensif dan terkoordinasi dalam rangka pelindungan seluruh kepentingan setiap warga negara, mengingat daya kerja dan waktu yang dibutuhkan oleh jenis virus ini dalam melakukan penularan dari satu orang ke orang lain atau dari satu tempat (wilayah) ke tempat lain sangat meluas dan dalam waktu yang cepat dengan implikasi berupa korban jiwa, dampak psikologis, harta benda, ekonomi, dan sosial.
Berdasarkan hal di atas, Penulis hendak menyatakan bahwa suatu pembatasan oleh hukum dalam hal ini melalui undang-undang, dimaksudkan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku di dalam masyarakat. Sehingga, adalah suatu keharusan bagi setiap orang untuk tunduk kepada pembatasan tersebut yang diberikan oleh hukum.
Penegasan ihwal ini sangat tegas diatur dalam ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 bahwa Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. (**)
(Tulisan ini merupakan tanggungjawab sepenuhnya oleh penulis)