
PROSESNEWS.ID – Hutan mangrove di wilayah pesisir Provinsi Gorontalo terus menyusut dalam beberapa tahun terakhir. Alih fungsi lahan menjadi tambak ikan dan udang kian masif, terutama di kawasan Teluk Tomini.
Di balik kerusakan ekosistem tersebut, masyarakat pesisir berada dalam posisi rentan, terjepit antara kebutuhan ekonomi jangka pendek dan ancaman lingkungan jangka panjang.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2023 mencatat sekitar 35 persen mangrove di Gorontalo berada dalam kondisi rusak. Kerusakan terbesar ditemukan di Kabupaten Boalemo, Pohuwato, dan Bone Bolango. Padahal, mangrove memiliki peran penting sebagai pelindung alami pantai dari abrasi, habitat biota laut, serta penyerap karbon.
Bagi masyarakat pesisir, menyusutnya mangrove bukan sekadar persoalan ekologis. Hilangnya hutan mangrove membuat garis pantai semakin rentan terhadap abrasi dan gelombang pasang. Dampaknya langsung dirasakan warga, mulai dari ancaman terhadap permukiman hingga menurunnya hasil tangkapan nelayan.
Kerusakan mangrove juga berdampak pada sumber penghidupan. Habitat ikan, kepiting, dan udang yang bergantung pada ekosistem mangrove ikut berkurang. Nelayan tradisional menjadi kelompok paling terdampak karena keterbatasan modal dan teknologi untuk melaut lebih jauh.
Di sisi lain, tekanan ekonomi membuat sebagian masyarakat justru terlibat dalam alih fungsi mangrove. Tambak tradisional dipilih sebagai jalan pintas untuk memperoleh penghasilan cepat. Namun, praktik ini kerap dilakukan tanpa perencanaan lingkungan yang memadai dan justru mempercepat kerusakan pesisir.
Kajian lingkungan yang menyoroti kondisi mangrove Gorontalo mengidentifikasi sejumlah penyebab utama. Alih fungsi lahan secara masif dan tidak terkendali menjadi faktor dominan, termasuk pembukaan tambak di kawasan yang seharusnya dilindungi. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum turut memperparah situasi.
Di Kabupaten Pohuwato, misalnya, lebih dari separuh kawasan mangrove dilaporkan mengalami kerusakan berat. Sementara area mangrove yang masih dalam kondisi baik jumlahnya terus menyusut.
Praktik jual beli lahan mangrove bahkan dilaporkan masih terjadi, termasuk di kawasan yang berstatus cagar alam.
Rendahnya kesadaran lingkungan dan minimnya alternatif mata pencaharian membuat mangrove kerap dipandang sebagai lahan kosong yang bisa dikonversi, bukan sebagai aset ekologis dan ekonomi jangka panjang.
Dampak kerusakan mangrove bersifat berlapis. Secara ekologis, pesisir kehilangan benteng alami terhadap abrasi dan perubahan iklim. Secara sosial-ekonomi, masyarakat menghadapi ancaman kehilangan tempat tinggal, penurunan pendapatan, hingga meningkatnya kemiskinan di wilayah pesisir.
Aktivis lingkungan menilai upaya rehabilitasi mangrove yang dilakukan sejauh ini belum sebanding dengan laju kerusakan. Ketimpangan antara eksploitasi dan pemulihan membuat kondisi mangrove di Gorontalo kian mengkhawatirkan.
Meski demikian, sejumlah solusi dinilai masih terbuka. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat digunakan untuk memantau perubahan tutupan mangrove secara berkala.
Teknologi ini membantu pemerintah daerah mengidentifikasi kawasan kritis, menentukan prioritas rehabilitasi, dan mengevaluasi efektivitas penanaman mangrove.
Selain itu, penerapan sistem silvofishery mulai dipandang sebagai alternatif yang lebih berkelanjutan. Model ini mengombinasikan budidaya perikanan dengan pelestarian mangrove, sehingga masyarakat tetap memperoleh penghasilan tanpa merusak ekosistem pesisir.
Pendekatan berbasis masyarakat juga menjadi kunci. Inisiatif kelompok warga di sejumlah daerah pesisir menunjukkan bahwa pelestarian mangrove dapat berjalan efektif jika masyarakat dilibatkan secara aktif dan memperoleh manfaat langsung.
Kajian tersebut juga menyoroti potensi diversifikasi ekonomi berbasis mangrove. Buah mangrove dapat diolah menjadi produk bernilai tambah, seperti sirup, teh herbal, hingga pewarna alami. Inovasi ini membuka peluang pendapatan alternatif sekaligus mengurangi tekanan terhadap hutan mangrove.
Persoalan mangrove di Gorontalo menunjukkan bahwa krisis lingkungan tidak bisa dipisahkan dari persoalan sosial dan ekonomi. Tanpa pengelolaan yang berkelanjutan, alih fungsi mangrove justru akan memperbesar kerugian jangka panjang.
Sinergi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat dinilai menjadi kunci pemulihan. Penegakan hukum, pemanfaatan teknologi, penerapan silvofishery, serta pemberdayaan ekonomi berbasis mangrove perlu dijalankan secara konsisten agar hutan mangrove Gorontalo dapat kembali menjadi benteng alami pesisir dan sumber kehidupan yang berkelanjutan bagi masyarakat.












