PROSESNEWS.ID – Tahun Baru Hijriyah atau biasa disebut dengan Tahun Baru Islam merupakan hari yang penting bagi umat Islam, yaitu memperingati hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Kota Makkah ke Madinah.
Peristiwa tersebut terjadi pada satu muharram, tahun baru bagi kalender Hijriyah. Namun, perayaan 1 Muharram 1443 H yang sebelumnya jatuh pada tanggal 10 Agustus 2021, kini digeser menjadi 11 Agustus 2021.
Pergeseran hari libur tersebut, tercantum dalam surat keputusan bersama menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi. Nomor 712, 1, dan 3 tahun 2021 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama.
Dilansir dari laman Tempo Co dan Kementerian Agama, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kamaruddin Amin mengatakan Tahun Baru Islam tetap 1 Muharram 1443 H, bertepatan 10 Agustus 2021. Tetapi hari liburnya yang digeser menjadi 11 Agustus 2021 M.
“Kebijakan ini sebagai bagian dari upaya pencegahan dan penanganan pandemi, Ini ikhtiar untuk mengantisipasi munculnya klaster baru, maka dipandang perlu dilakukan perubahan hari libur dan cuti bersama tahun 2021 M,” katanya.
“Selain meminimalisir penyebaran Covid, jika libur tidak digeser, maka akan terbentuk ‘hari kejepit’ yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk mengambil cuti dan bepergian,” tegasnya.
Sedangkan menurut Menteri Agama Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Gorontalo (UNG) Reza Saad mengatakan, menganggap kebijakan pemerintah tersebut sangat meremehkan hari-hari besar umat Islam.
“Hanya karena terjepit atau takut masyarakat mengambil cuti, pemerintah dengan entengnya menggeser hari Tahun Baru Islam,” ungkapnya.
Lanjut Reza, yang biasanya umat Islam bisa tutup tahun atau sambut tahun dengan doa dan dzikir, tetapi dipaksa untuk ke kantor. Hal inilah yang menjadi indikator kalangan pemuda untuk bagaimana bisa menentang kebijakan tersebut.
“Nah nantinya kita akan lihat, bagaimana dengan 17 Agustus yang akan diperingati, apakah akan di geser juga harinya atau tidak,” tanya Reza.
Reza menambahkan, kenapa saya bertanya seperti itu, agar sebagai bukti bahwa pemerintah pun melakukan kebijakan yang sama pada hari-hari besar. Disitulah akan terlihat konsistensi pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan.
“Saya menekankan kepada pemerintah, agar bagimana bisa mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang lebih bijak lagi,” ujarnya.
Reza juga menjelaskan, kalau hari rayanya diundur lalu bertepatan dengan hari libur misalnya pada hari Sabtu atau Minggu, secara normatif masuk akal. Tetapi, kini hari rayanya Selasa diundur liburnya di hari Rabu, bukankah keduanya pada orbit yang sama yaitu sama-sama berada di hari kerja.
“Jadi, secara logika urgensi diundurnya hari tersebut tidak ada, sehingga terkesan pemerintah membuat kegaduhan dengan membuat kebijakan yang tidak ada pentingnya,” jelasnya.
“Saya juga melihat, ada kepanikan dalam tubuh pemerintah ini, adanya kepanikan berarti ada krisis didalamnya, cuma pemerintah tidak mau mengeksplor krisis tersebut,” ia menandaskan.
Reporter : Reza Saad