Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia telah menjadi dasar falsafah negara. “Sebagai pandangan hidup, pada dasarnya falsafah Pancasila itu terbuka. Pada 1950, Pancasila ditafsirkan secara luar biasa dari perspektif agama yang membuktikan adanya keterbukaan Pancasila,” ujar Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI, Prof. Dr. Firman Noor, dalam Webinar bertajuk “Polemik RUU BPIP Kembalinya Gaya Orde Baru”, pada Kamis (03/09/2020) lalu.
“Suatu sikap yang bijak karena Pancasila diharapkan tetap eksis sepanjang masa, dengan apa yang terjadi dimasa yang akan datang belum tentu sama dengan masa sebelumnya”, ungkap Firman. Menurutnya, falsafah yang tetap eksis dengan terus melakukan penyesuaian perkembangan zaman akan membangkitkan semangat nilai Pancasila dalam membangun bangsa. Ia berharap sudah saatnya Pancasila muncul sebagai ideologi terbuka yang dinamis tidak hanya di tingkat pemerintah saja, walau kini ada lembaga negara bernama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). “Berharap dari lembaga negara ini, penafsiran ideologi Pancasila harus disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila yang sesuai dengan perkembangan zaman”, terang Firman.
Peneliti Utama di Pusat Penelitian Politik LIPI, Lili Romli, mengatakan dibentuknya BPIP ini jangan dijadikan alat kekuasaan baru, misalkan untuk membendung organisasi yang anti-pemerintah, sehingga berpotensi menjadi super body yang mengatasi kekuasaan lembaga-lembaga negara dalam menyusun haluan negara yang semestinya menjadi wewenang MPR. “Keberadaan BPIP tidak menjadi super body dengan tugas-tugas yang bertentangan dengan lembaga itu sendiri. Kalau bisa BPIP menjadi lembaga independen dengan orang-orang yang independen”, jelasnya.
Pancasila dari Masa ke Masa
Pancasila sebagai ideologi dasar bangsa Indonesia diterapkan secara berbeda sesuai dengan perkembangan di setiap masa dalam mengartikan Pancasila itu sendiri. Hal ini berdasar pada catatan sejarah di era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. “Pancasila sudah menjadi konsensus kebangsaan untuk mempertemukan antara gagasan yang ingin memisahkan dan menyatukan agama dengan negara, antaara paham integrasi dan paham separasi, sejak ditetapkannya pada 18 Agustus 1945”, sebut Lili.
Lebih lanjut Lili mengemukakan, Pancasila sebagai titik temu antara dua kelompok tersebut dan bahwa Pancasila harus dipertahankan telah menjadi konsesus. “Kita harus mengakui Pancasila, meskipun berdasarkan praktik sejarah ketatanegaraan masih terjadi penyimpangan-penyimpangan”, tuturnya.
Masa Orde Lama, era pemerintahan Soekarno, Pancasila ditafsirkan dengan merujuk pada pidato 1 Juni 1945. “Pada eranya terjadi juga hegemoni tafsir indoktrinasi dengan paham Nasakom-nya. Ini menjadi catatan sejarah dalam hubungan Islam dengan negara dimana akhirnya menjadi tragis bagi rezim itu sendiri”, terang Lili.
Selanjutnya, pada masa Orde Baru, tafsir Pancasila didasarkan pada pemikiran Supomo waktu pengesahan Pancasila tanggal 18 Agustus 1945. Orde Baru melahirkan konsep Negara Integralistik, yaitu paham atas dasar keanekaragaman budaya bangsa, namun tetap mempersatukan satu kesatuan negara Indonesia.
“Era Orde Baru, kembalinya ke Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen, melahirkan TAP MPR juga asas tunggal dengan hegemoni monotafsir. Pada era Suharto, Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) dari tingkat pusat dan daerah, dibentuk untuk menjaga ideologi Pancasila melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4),” terang Lili. Seiring perkembangan bangsa Indonesia, di era Reformasi, TAP MPR tentang P4 dicabut, asas tunggal dibatalkan, termasuk lembaga BP7 dibubarkan pada 1998 melalui surat TAP MPR No XVIII/MPR/1998.
Masih menurut Lili, urgensi adanya kelembagaan Pancasila berarti selebrasi harus dijalankan. Persoalan ini krusial jangan sampai ada yang dirugikan satu sama lain. “Dilihat urgensinya dari lembaga Pancasila itu, cukup UUD 1945 dan lembaga MPR yang melaksanakannya”, tutup Lili. (suhe/ed:mtr)
Penulis : Suhendra Mulia, SE., M.Si. (Humas Madya LIPI)